Rabu, 18 Mei 2011

MAHATIKA (MENSTRUASI) MENURUT KONSEP AYURVEDA MAUPUN PENGETAHUAN KEDOKTERAN MODERN

              
Sebelum kita membahas mengenai mahatika (menstruasi), ada baiknya kita mengenal dulu tentang susunan organ reproduksi wanita atau yang dalam konsep Ayurveda dikenal dengan istilah Ojas-jeeva Shakti Mandala.

1.  Organ Repruduksi (Ojas-Jeeva Shakti Mandala)
            Sebelum melanjutkan tentang mahatika (menstruasi), perlu diketahui tentang organ reproduksi perempuan atau dalam Ayurveda organ reproduksi dikenal dengan istilah ojas-jeeva shakti mandala. Organ reproduksi (ojas-jeeva shakti mandala) meliputi :
a.      Indung telur (ovarium), berfungsi mengeluarkan sel telur (ovum atau sonita). Sebulan sekali, indung telur kiri dan kanan secara bergiliran mengeluarkan sel telur (sonita). Sonita atau sel telur adalah  sel yang dihasilkan oleh indung telur yang dapat dibuahi sperma (sukra). Bila tidak dibuahi, maka akan ikut keluar pada saat mahatika (menstruasi).
b.    Saluran telur (sonita) atau disebut juga tuba fallopii, yaitu saluran kiri dan kanan rahim. Ujungnya berbentuk fimbrae.
c.   Fimbria atau fimbrae (disebut juga umbai-umbai), yang mirip dengan jari tangan. Umbai-umbai ini berfungsi untuk menangkap telur (ovum, sonita) yang dikeluarkan indung telur.
d.     Rahim (uterus, garbhasaya, kacupu manik), yaitu tempat calon bayi (bhruna) dibesarkan, bentuknya seperti buah alpukat, gepeng dan berat normalnya 30-50 gram. Pada saat tidak hamil besar rahim (garbhasaya) kurang lebih sebesar telur ayam kampung.
e.      Mulut rahim (Cervix), yaitu bagian bawah rahim, pada waktu persalinan leher rahim ini membuka sehingga bayi (sisuka) dapat keluar.
f.      Vagina (yoni), yaitu saluran yang berbentuk silinder dengan diameter dinding depan + 6,5 cm dan dinding belakang + 9 cm yang bersifat elastis. Fungsinya sebagai tempat senggama (maithuna), tempat keluarnya menstruasi (mahatika) dan bayi (sisuka).
g.   Mulut vagina (yoni) disebut juga vulva, merupakan rongga penghubung rahim (uterus, garbhasaya, kacupu manik) dengan bagian luar tubuh. Lubang vagina (yoni) ini ditutupi oleh selaput dara.
h.   Selaput Dara (Hymen), yaitu selaput tipis yang terdapat di muka liang vagina. Selaput vagina tidak mengandung pembuluh darah. Selaput dara ini dari sananya sudah mempunyai lubang.

           
2.  Mahatika (Menstruasi)
Mahatika (menstruasi) adalah peristiwa keluarnya darah (arttava) dari vagina (yoni) karena luruhnya lapisan dinding rahim yang banyak mengandung pembuluh darah (endometrium, istilah dalam ilmu kedokteran modern) saat sonita (sel telur) tidak dibuahi. Arttava (darah haid) keluar akibat tidak terjadinya pembuahan. Tidak bertemunya  sonita (sel telur) dengan sukra (sperma).
Dalam Ayurveda disebutkan bahwa arttava (darah menstruasi) ini yang merupakan salah satu  bagian dari mala memiliki sifat agneya (panas) serta berbau visra (busuk). Berbeda halnya dengan rakta (darah biasa) yang termasuk sapta dhatu, jaringan tubuh.  Rakta ini mempunyai sifat usna (panas) dan shita (dingin) serta tidak berbau busuk (avisra) seperti arttava.
Dalam ilmu kedokteran modern, arttava (darah menstruasi) disebutkan berbeda dengan penjelasan  di atas. Disebutkan  bahwa arttava (darah menstruasi) ini tidak berbau dan bebas hama, jadi tidak dikotori oleh bakteri atau kuman lain. Namun, jika arttava (cairan mens) itu kena udara, dapat menimbulkan bau tidak sedap. Bila sudah ada di luar, arttava (darah haid)  ini rentan terhadap kuman dan bakteri lainnya.
Cairan menstruasi (arttava)  terdiri dari darah dan berbagai bagian jaringan dari selaput lendir rahim yang telah dilepaskan, banyaknya  sekitar 50 cc-150 cc. Darah mens (arttava) tidak selalu cair. Kadang-kadang berbentuk gumpalan kecil dari darah.  
Menurut Reshi Verddhatreya, disebutkan bahwa arttava (darah haid) di dalam tubuh wanita mula-mula mengumpul di kandung peranakan (garbhasaya, matrgarbha, kacupumanik). Akibat dorongan dari unsur vatta atau vayu, maka mengalirlah darah ini ke luar tubuh melalui yoni (kemaluan, vagina) selama 3-5 hari dalam sebulan. Dan menurut reshi ini, tidak semua darah arttava ke luar tubuh. Ada sisa darah yang tertinggal di dalam tubuh, banyaknya kira-kira satu prastha (768 ml). darah ini katanya menjadi bersih kalau bertemu dengan air mani laki-laki (sukra). Itulah sebabnya tidak terjadi pengeluaran darah arttava setiap bulan selama hamil (dalam Nala, 2001 : 158).
Dalam ilmu kedokteran modern,  proses mahatika atau menstruasi secara singkat disebutkan sebagai berikut : “Lewat pesan kimiawi hormon mengirimkan isyarat ke otak untuk mengeluarkan sebuah hormon tertentu (follicle stimulating hormone/FSH). Hormon ini merangsang indung telur untuk menyiapkan sel telur yang matang. Menjelang sel telur akan matang, cangkang sel telur akan mengeluarkan hormon perempuan (estrogen). Hormon estrogen ini menghentikan kerja hormon perangsang indung telur tadi (FSH) sehingga tidak mematangkan sel telur lainnya. Karena untuk ini cuma diperlukan satu sel telur yang siap dibuahi setiap daur/siklus. Kadar hormon perangsang indung telur menurun, dan dikeluarkan hormon yang lain (Luteinizing Hormone/LH). Hormon baru ini bertugas melepaskan sel telur matang (ovulasi), yang lalu ditangkap oleh  fimbrae atau fimbria yang fungsi dan bentuknya seperti tangan untuk memasukkan sel telur melalui tuba fallopii untuk menuju rahim. Sementara itu, dikeluarkan hormon progesterone untuk menghentikan kerja hormon pelepas sel telur matang sehingga tidak terjadi lagi pelepasan sel telur” (Utamadi, 2001).
Kedua hormon itu (estrogen dan progesterone) pada saat bersamaan menyiapkan jaringan pembuluh darah (endometrium) pada rongga rahim. Jaringan pembuluh darah ini dibikin untuk persiapan bila terjadi pembuahan. Kalau tidak terjadi pembuahan, maka sel telur dan lapisan itu luruh berupa darah menstruasi. Peristiwa ini terjadi tiap bulan, berlangsung selama kurang lebih tiga hari-tujuh hari.
Karena pembuahan tidak terjadi, hormon perempuan yang menyuburkan lapisan rongga rahim produksinya akan menurun, akibatnya otak akan memerintahkan kembali produksi hormon perangsang indung telur (FSH) untuk menyiapkan kembali telur yang matang buat daur berikutnya. Demikian secara berkala daur haid berulang secara teratur.
Sel telur (sonita) disimpan dalam dua indung telur yang terletak di kiri-kanan rahim (garbhasaya, matrgarbha,  kacupu manik), yang bisa menampung sekitar 750.000 kepompong telur (follicle de graaf) lalu menyusut menjadi 400.000. Namun, dari sekian banyak kepompong telur yang berhasil matang dan dikeluarkan hanya 300-400-an saja yang ditempuh perempuan selama masa reproduksinya (masa reproduktif) yang rata-rata 35 tahun panjangnya.
Jarak satu mahatika (mens)  ke mens berikutnya atau yang disebut siklus menstruasi pada setiap perempuan tidak sama. Hal ini biasanya berlangsung kurang lebih 28 hari (antara 21 hari – 35 hari). Siklus mahatika (menstruasi) dapat dipengaruhi oleh kondisi tertentu, seperti stress, pengobatan, dan latihan olah raga. Pada masa remaja, siklus ini  biasanya belum teratur terutama pada awal mahatika (haid). Namun setelah kurun waktu tertentu bakal teratur.
Dalam ilmu kedokteran modern, pada tiap siklus  mahatika (haid) dikenal tiga masa utama, yaitu sebagai berikut :
a.   Masa mahatika (haid) selama dua sampai delapan hari. Pada waktu itu endometrium di lepas, sedangkan pengeluaran hormon-hormon ovarium paling rendah (minimum).
b.     Masa proliferasi sampai hari keempat belas. Pada waktu itu endometrium tumbuh kembali, disebut juga endometrium mengadakan proliferasi. Antara hari kedua belas dan keempat belas dapat terjadi pelepasan ovum (sonita) dari ovarium yang disebut ovulasi.
c.    Sesudahnya dinamakan masa sekresi. Pada ketika itu korpus rubrum menjadi korpus luteum yang mengeluarkan progesterone. Di bawah pengaruh progesterone ini, kelenjar endometrium yang tumbuh bekeluk-keluk mulai berskresi dan mengeluarkan getah yang mengandung glikogen dan lemak. Pada akhir masa ini stroma endometrium berubah ke arah sel-sel desidua, terutama yang berada diseputar pembuluh-pembuluh arterial. Keadaan ini memudahkan adanya nidasi.

3.  Hormon Estrogen Dan Hormon Progesterone
            Istilah hormon estrogen dan hormon progesteron didapati dalam ilmu kedokteran modern. Adapun yang dimaksud dengan hormon estrogen dan hormon progesterone adalah sebagai berikut :

a. Hormon estrogen
            Estrogen adalah hormon yang terutama dibuat oleh indung telur. Dalam jumlah kecil dibuat juga oleh ginjal sehingga dalam jumlah kecil ada pula pada laki-laki. Hormon estrogen mempengaruhi semua sel dalam tubuh tanpa kecuali. Meski tidak semua sel dan organ sama pekanya terhadap hormon ini.
            Estrogen penting sekali terhadap perkembangan remaja perempuan selama masa remaja, untuk perkembangan alat-alat kelamin perempuan dan payudara, juga untuk perkembangan selaput lendir vagina supaya tetap licin dan tidak kering.
            Estrogen juga mempengaruhi beberapa organ, misalnya dalam masa pubertas, tulang bertambah panjang, tetapi jumlah kapur tetap cukup. Estrogen juga memelihara pertumbuhan kulit sehingga tetap elastis. Itu sebabnya rata-rata kulit perempuan lebih halus dibanding kulit laki-laki. Jika produksi estrogen berkurang, kulit menjadi tipis dan keriput. Penumpukan lemak di beberapa tempat tertentu di bawah kulit antara lain di pinggang yang khusus pada perempuan juga disebabkan karena pengaruh estrogen.

b. Hormon progesterone
            Hormon progesterone selain dibuat di indung telur untuk jumlah kecil juga dibuat di ginjal sehingga laki-laki juga mempunyai hormon ini dalam jumlah yang kecil. Pembuatan hormon progesterone oleh indung telur hanya terjadi selama dua minggu sesudah pelepasan telur dari indung telur.
Progesterone dan estrogen menjaga supaya endometrium (lapisan dinding rahim) siap untuk menerima dan memberi tempat tinggal bagi telur yang telah dibuahi. Kehamilan (garbhini) dapat berlangsung terus berkat adanya progesterone. Bahan makanan untuk telur yang telah dibuahi dikeluarkan oleh endometrium berkat progesterone. Hormon ini juga menjaga agar otot-otot rahim tidak berkontraksi.

DAFTAR PUSTAKA

Lad, Vasant & Svoboda, Robert E., 2000. Ayurveda. Surabaya : Paramita.
Nala, Ngurah, 2001. Ayurveda Ilmu Kedokteran Hindu 1. Denpasar : Upada Sastra.
_______ ,  2002.  Ayurveda Ilmu Kedokteran Hindu 2. Denpasar : Upada Sastra.
Majalah Lisa,  25 Februari 2003.
_______ ,  28 April 2003.
_______ ,  Edisi Nopember 2003.
Majalah Prodo,  4 Februari 2002.
Utamadi, Guntoro, 2001. “Bila Hormon Perempuan Tidak Seimbang”. Dalam Majalah Nirmala Edisi 11 Desember.
_______ ,  2001. “Misteri Menstruasi”. Dalam Modul Kesehatan Reproduksi Remaja PKBI Jabar, Edisi 8 Juni.
Wahyurini, Chatarina., Ramona, 2001. “Gangguan Menstruasi”. Dalam Modul Kesehatan Reproduksi Remaja PKBI Pusat,  Edisi 21 Juni.

HAKEKAT DHARMA DAN NILAI-NILAI KEMANUSIAAN

Pendahuluan
            Tujuan hidup dalam ajaran agama Hindu yaitu “Moksaartham jagaddhita ya ca iti dharma” yang artinya bahwa : tujuan hidup manusia  adalah untuk kebahagiaan di dunia ini dan kehidupan di alam kebebasan dengan berlandaskan ajaran dharma” Jadi dalam adagium tersebut jelas dikatakan bahwa tujuan hidup manusia secara garis besar memiliki dua aspek yang saling berkaitan yaitu kebahagiaan semasih berada di dunia dan kebahagiaan setelah di dunia sana, di mana landasan utamanya adalah ajaran-ajaran dharma, yang dalam kitab Sarasamuscaya diibaratkan sebagai sebuah perahu untuk menyeberangi lautan samsara; dan juga seperti Sang Matahari yang dapat melenyapkan segala kegelapan.
            Dua aspek tujuan yang bertolak belakang satu dengan yang lainnya kadang-kadang dapat membingungkan bagi mereka yang secara dangkal mengartikan hakekat keduanya. Oleh karena itu konsep dari catur purushartha harus benar-benar dihayati dan dipahami agar tidak terjadi benturan-benturan dalam mencapai tujuan tersebut. Tujuan hidup yang sekaligus merupakan dasar kehidupan ini adalah hal yang sangat hakiki dan bersifat universal. Di dalam mencapai tujuan itu hendaknya senantiasa berdasarkan dharma. Seperti diuraikan dalam Sarasamuscaya, 12, demikian :
            “Pada hakekatnya, jika artha dan kama dituntut, maka seharusnya dharma hendaknya dilakukan lebih dulu, tak tersangsikan lagi, pasti akan diperoleh artha dan kama nanti, tidak akan ada artinya, jika artha dan kama itu diperoleh menyimpang dari dharma”.
Dan dalam Sarasamuscaya, 261, ditegaskan lagi demikian:
            “…… caranya berusaha memperoleh sesuatu hendaknya berdasarkan dharma ……”

            Sloka tersebut menyampaikan bahwa dalam mencapai atau mencari artha dan kama, terlebih lagi di dalam mencapai moksa, seseorang sama sekali tidak boleh mengingkari dharma.    Baba (1995 : 4) menjelaskan bahwa dharma kelakuan yang benar atau kebajikan, artha harta, kama keinginan yang benar, dan moksa kebebasan dari lingkaran kelahiran dan kematian adalah keempat purushartha tujuan hidup manusia. Dengan membuang dharma yang ibarat kaki dan moksa yang dapat dibandingkan dengan kepala, manusia hanya mengejar artha dan kama sehingga mengakibatkan kekacauan dan keadaan tidak aman dalam masyarakat serta bangsa secara umum. Penyebab utama lenyapnya kedamaian dan keamanan adalah karena diabaikannya kebenaran (sathya) dan kebajikan (dharma) yang sangat dibutuhkan manusia.
            Baba (1993 : 2) lebih menegaskan lagi bahwa dalam menapak kehidupan ini untuk sampai pada tujuan yang dicita-citakan dalam ajaran Hindu, setiap orang hendaknya mengetahui garis besar dharma yang terpapar dalam kitab-kitab Veda, Sastra maupun Purana. Salah pengertian akibat kurangnya kecerdasan emosi yang tidak terkendali, dan nalar yang tidak murni, telah mengakibatkan lunturnya wajah dharma dan menyurutnya kejayaannya.
   Tentang keutamaan dharma itu dalam Sarasamuscaya 18 dinyatakan sebagai berikut :
            “Dan keutamaan dharma itu sesungguhnya merupakan sumber datangnya kebahagiaan bagi yang melaksanakannya; lagi pula dharma itu merupakan perlindungan orang yang berilmu; tegasnya hanya dharma yang dapat melebur dosa triloka atau jagad tiga itu”.
            Walmiki (dalam Lal, 1995 : ii) sebagai seorang Adi Kawi (penyair utama) juga menuangkan tentang keagungan dharma tersebut dalam karya besarnya  yaitu Epos Ramayana sebagai berikut :
         “Dari dharma datang sukses, dari dharma datang bahagia, dharma memberi segalanya, dharma adalah inti sari dunia”.
            Bila diamati dari uraian di atas, akan diketahui bahwa Veda adalah merupakan pustaka suci yang paling kuno yang merupakan sumber segala cabang pengetahuan di dunia, dan semua dharma yang ada berlandaskan pada kebenaran yang ada di dalam Veda itu sendiri.
            Jadi, agar seseorang dapat menikmati kedamaian dalam hidupnya, serta dapat mencapai tujuan akhir dari kehidupannya ia harus senantiasa mengabdikan dirinya kepada dharma dan senantiasa mengikuti serta mengamalkan dharma. Adalah tugas setiap manusia di mana pun ia berada dan pada setiap saat untuk menghormati Dharma Narayana, yakni ‘personifikasi dharma’(Baba, 1993 : 1). Tidak hanya umat manusia, bahkan burung dan marga satwa pun harus mengikuti dharma agar mereka dapat mengenyam kebahagiaan dan mampu mempertahankan hidup dengan senang dan sentosa.
            Tanpa dharma, kehidupan manusia akan penuh dengan kebrutalan (yang kuat menindas yang lemah) di dalam mencapai kebahagiaan duniawi, sehingga hukum rimba akan berlaku dalam kehidupan. Dengan demikian dharma merupakan hal yang sangat penting dan bahkan sangat sentral di dalam ajaran Hindu. Dharma merupakan alat kendali manusia di dalam memenuhi keinginan dan kebutuhannya (kama) terhadap harta kekayaan dan kekuasaan (artha) sebagai sarana mencapai kebahagiaan duniawi.. Dalam hubungan dengan ini, disamping uraian Sarasamuscaya  di atas, maka uraian mantram pada Atharvaveda,XX.18.3, berikut juga sangat penting untuk disimak dan dihayati maknanya :
            “……. Mereka yang senantiasa sadar terhadap dharma akan mencapai kebahagiaan tertinggi” (dalam Gorda, 1997 : 14).
           
            Kutipan mantran dan sloka di atas tersebut memberi informasi bahwa perilaku manusia di dalam mencapai tujuan hidup yang dilandasi oleh dharma akan mewujudkan suasana kebahagiaan duniawi. Bila pencapaian tujuan itu diwujudkan berdasarkan dharma secara sempurna maka akan tercapai tujuan hidup Jivan-Mukti (moksa semasih memiliki badan kasar) menuju Videha-mukti kelak setelah meninggalkan badan jasmani ini. Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa jagadhita (dharma- artha- kama) merupakan sarana menuju kebahagiaan abadi (moksa).           
            Jadi dharmalah yang merupakan landasan untuk mencapai kebenaran abadi adalah jalan yang harus dikuti oleh manusia. Dengan mengikuti dharma, orang akan mencapai kebebasan dari lingkaran samsara kelahiran dan kematian sebagai tujuan akhir dari kehidupan ini. Namun, bila kita perhatikan zaman sekarang, setiap orang berusaha memperoleh kekayaan, kekuasaan, harta, dan pemenuhan keinginan yang ibarat awan berlalu, sedang tidak seorang pun peduli untuk menegakkan dharma atau kebajikan yang akan membawanya menuju kebenaran abadi. Orang-orang masa kini lebih  terpikat oleh modernisasi dan cenderung melupakan nilai-nilai kemanusiaan dan mereka mengabaikan sifat-sifat ketuhanan yang merupakan pembawaan dirinya sejak lahir.
            Dalam kehidupan di dunia fana ini, para ahli ilmu pengetahuan material telah banyak menemukan fasilitas-fasilitas untuk memberikan  kepuasan terhadap indra-indra bahkan tanpa mereka sadari juga berakibat menghancurkan peradaban umat manusia. Di satu mereka memberikan kenyamanan tetapi di sisi lainnya secara tidak kentara mereka juga menghadirkan kengerian (Maswinara, 2000 : 13).
            Jaman terus bergulir menuju globalisasi membawa serta perubahan paradigma di masyarakat. Perubahan berupa  pergeseran tatanan komune dalam masyarakat sosial menjadi liberal dalam masyarakat yang lebih menghargai hak-hak individual.Perubahan yang membuat permasalahan hidup menjadi semakin kompleks. Sedemikian rumit untuk diselesaikan berdasarkan superioritas. Otorita-otoritas dimasa lalu menjadi tidak mampu lagi berperan banyak. Kemampuan individu lebih lanjut menjadi penentu dalam menyelesaikan masalah (Sanjaya, 2002 : 2).
            Angin puyuh kemajuan sains dan teknologi yang sangat pesat ditambah dengan industrialisasi, membawa perubahan yang tidak diinginkan dalam masyarakat, mencabut hingga ke akarnya nilai-nilai moral atau etika yang amat penting bagi kesejahteraan umat manusia. Ilmu dan teknologi tak pelak lagi telah menyumbang banyak sekali kemajuan material, tetapi bersamaan dengan itu juga telah meruntuhkan nilai-nilai rohani seperti tanpa pamrih, ketuhanan dan keluhuran yang selalu ada dalam diri manusia. Dengan kata lain, mereka telah merendahkan martabat umat manusia sedemikian rupa sehingga generasi pria dan wanita muda masa kini tidak mampu mengenali sifat mereka yang suci.  Mereka menganggap sikap mementingkan diri sendiri sebagai tujuan hidup (Baba, 1995 :2).
          Kini kita menyaksikan di mana agama hanya menjadi semacam “lipservice”  belaka, sehingga kehancuran etika moral dan spiritual semakin besar. Oleh karena itu, untuk mengantisifasi dampak negative dari kemajuan sains dan teknologi yang sangat pesat ini merupakan tanggung jawab kita semua. Memang tidak semua orang mempunyai kepedulian terhadap masalah-masalah etika moral dan spiritual. Tetapi bagi mereka yang peduli dengan masalah ini setidaknya dapat memberikan imbas kepada orang lain untuk mengerem diri agar tidak terlalu jauh hanyut dalam glamour dunia material.
         Lebih jauh Baba (1995 : 2) menekankan bahwa kebutuhan dan kewajiban utama dalam hidup manusia adalah menjadi manusiawi. Apa pun kesarjanaan, kedudukan atau wewenang kita, janganlah mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan. Kebudayaan kita (yang berlandaskan pada Pustaka suci Veda) tiada bandingnya dan sangat mengagumkan. Generasi muda masa kini terpikat oleh modernisasi dan melupakan keagungan dan kemuliaan budaya pusaka yang luhur itu. Mereka mengabaikan sifat-sifat ketuhanan yang merupakan pembawaan dirinya sejak lahir.
            Keberhasilan tugas ini hanya dapat dicapai melalui Brahma Vidya (Pengetahuan tentang Brahman) (Baba, 1992 : 44). Tetapi orang kini hanya mempunyai keyakinan yang teguh dalam mencari dan mengumpulkan harta. Ia tidak dapat melepaskan atau meninggalkannya. Ia tidak percaya pada kebenaran. Ia tertarik pada kebohongan dan menganggap kebenaran sebagai penghambat. Manusia mengabaikan cara-cara untuk menyadari keabadian dalam dirinya. Ia tergila-gila pada  pengetahuan mengenai dunia yang kasat mata. Mereka menyerah pada godaan yang gampang ini dapat dimisalkan seperti orang yang meninggalkan taman surgawi dan bergegas memasuki hutan tanaman beracun. Mereka menolak yang sejati (bimba), sang atma. Mereka tertarik pada bayangan (prathi bimba), pada yang kasat mata, pada hal-hal yang dapat dilihat (drsya). Sikap ini memperlihatkan bahwa mereka adalah orang-orang bodoh yang berada dalam kekaburan batin, bukannya orang yang mengetahui atau mencari kebenaran.
            Agar seseorang dapat mengenali nilai-nilai kemanusiaannya yang merupakan keunggulan manusia itu sendiri dan agar dapat menemukan  jati diri-nya (ketuhanan dalam dirinya) kembali, maka ia dituntut untuk arif dan bijaksana dalam memilah-milah dan memilih sesuatu yang bermanfaat bagi dirinya. Baba (1992 : 47) mengatakan bahwa manusia harus mempelajari atma vidya, yaitu proses untuk menyadari dirinya sebagai kenyataan atma. Hanya dengan mempelajari dan menghayati hal itu, ia akan dapat memuaskan dahaganya dan menolong memuaskan dahaga seluruh umat manusia.
         Jadi, satu-satunya jalan yaitu seseorang harus berpaling kembali kepada Veda sebagai sumber dari Brahma vidya maupun Atma Vidya, sumber dari segala dharma yang merupakan dasar moralitas di dunia ini. Hanya dengan demikian manusia akan dapat memainkan peranannya  sebaik mungkin dalam pentas panggung dunia ini dengan menegakkan dharma. Bila seseorang telah dapat mengikuti dharma dengan sempurna maka pintu menuju moksa (bersatunya atman dengan paramaatman) akan terbuka untuknya.
                                               
Hakekat Dharma
            Manusia harus mengabdikan dirinya kepada dharma dan senantiasa mengikuti serta mengamalkan dharma sehingga ia dapat hidup dengan damai dan dunia pun dapat menikmati kedamaian. Manusia tidak akan pernah memperoleh kedamaian yang sejati atau memperoleh rahmat Tuhan melalui sarana apa pun juga selain kehidupan yang berdharma. Dharma adalah landasan bagi kesejahteraan umat manusia, dharma adalah kebenaran yang tidak tergoyahkan sepanjang masa. Bila dharma tidak berhasil mengubah kehidupan manusia, dunia akan dirundung penderitaan dan ketakutan, dihantam oleh berbagai badai revolusi. Bila kecemerlangan dharma gagal menerangi hubungan antar manusia, maka umat manusia akan terselubung dalam kegelapan duka dan penderitaan (Baba, 1993 : 1)
            Kitab-kitab Sastra mengandung makna yang sangat mendalam. Tujuan dharma adalah membuat jiwa melepaskan kelekatannya pada alam lahiriah dan pada kekeliruan pengertian yang ditimbulkan oleh alam lahir itu. Selain itu, dharma bertujuan mengungkapkan sifat sesungguhnya dari hal-hal yang sekarang dianggap sebagai nyata oleh jiwa, agar hal itu terungkap dalam identitasnya yang sejati. Orang orang zaman sekarang betapa rendahnya memberi nilai kepada dharma. Ia lahir, dewasa, menikah, punya anak, punya harta, memiliki kedudukan, melaksanakan upacara, dan lain-lain menganggap dirinya telah melaksanakan dhrama.      
            Sri Bhagawan Sathya Narayana, yang oleh sebagian besar umat di dunia diyakini sebagai Avatar yang telah lahir menjelma ke dunia untuk menegakkan kembali dharma seperti apa yang diungkapkan dalam Bhagawadgita, bahwa bila kedudukan dharma merosot, dimana adharma yang merajalela, maka Tuhan sendiri dalam wujud Awatar akan turun ke dunia untuk menegakkan dharma kembali. Maka Beliau sendiri  mengatakan (dalam Jendra, 1996 : 20) bahwa tugas Beliau adalah : (1) Veda phosana ‘melindungi atau menjaga Veda’, (2) Vidhvath phosana  ‘melindungi orang-orang suci ahli Veda’, (3) Dharma raksaka ‘melindungi dharma’, (4) Bhakta raksaka ‘melindungi bhakta-Nya), menguraikan tentang dharma dalam wejanganan-Nya yang diberi judul Dharma Vahini (Pancaran Dharma) sebagai berikut :
            “Begitu mendengar kata dharma, orang awam mengartikannya sebagai : bersedekah,memberi makan dan tempat berteduh, kepada peziarah, menekuni bidang pekerjaan tradisional atau keahlian masing-masing, membeda-bedakan antara yang benar dan yang salah, upaya menemukan diri sendiri atau jalan pikiran sendiri, perwujudan hal-hal yang sangat didambakan, dan lain-lainnya.
            Tentu sudah sejak dahulu kemurnian dharma itu ternoda sehingga tidak dikenali lagi. Ladang dan pepohonan yang indah menjadi liar tidak terawat dan segera menjadi semak belukar serta hutan beronak yang tidak dapat dikenali lagi. Pepohonan yang rimbun ditebangi oleh orang-orang yang rakus dan wajah bentang alam menjadi berubah. Dengan berlalunya waktu, manusia menjadi terbiasa dengan lingkungannya yang baru dan mereka tidak merasakan atau melihat perubahan dan kemundurannya. Hal semacam ini dialami pula oleh dharma”(Baba, 1992 : 2).
            Demikianlah dikatakan bahwa dharma itu telah memudar dari waktu yang sudah cukup lama sehingga manusia masa kini tidak mengenali lagi perubahan dan kemunduran dharma itu sendiri. Oleh karena itu Beliau menekankan kembali bahwa manusia harus mengetahui garis besar dharma yang terpapar dalam kitab-kitab Veda, Sastra, serta Purana. Dan untuk menyembuhkan kebutaan sekarang ini, manusia harus membinasakan enam macam binatang buas Sadripu. Dalam segala aktivitas duniawi manusia harus berhati-hati agar tidak sampai melanggar asa moral kesopanan, atau asas kepatutan yang berlaku dalam masyarakat, dan asas sifat yang baik. Jangan mengingkari suara hati, setiap saat orang harus bersedia menghormati bisikan hati nuraninya. Orang  harus berjalan dengan hati-hati, jangan sampai ia melangkah di alur orang lain. Seseorang harus waspada agar menemukan kebenaran di balik segala sesuatu yang gemerlapan ini. Inilah seluruh kewajiban manusia, dharma yang harus diikuti. Kobaran api jnana (pengetahuan spiritual) akan membuat manusia yakin (dan sadar) bahwa semua ini adalah Brahman (sarvam khalvidam Brahman). Keyakinan ini akan membakar habis hingga menjadi abu seluruh egoisme serta keterikatan pada segala sesuatu yang bersifat duniawi. Manusia harus mabuk oleh madu kemanunggalan dengan Tuhan; itulah tujuan akhir dharma dan karma yang dijiwai oleh dharma.
            Barang siapa mampu menundukkan egoismenya, menaklukkan keinginan-keinginan yang mementingkan diri sendiri, membinasakan perasaan serta dorongan kebinatangannya, dan melepaskan kecenderungan alami untuk menganggap badan sebagai dirinya, pastilah ia berada di jalan dharma; ia tahu bahwa tujuan dharma adalah manunggalnya ombak dengan samudra, manunggalnya dirinya dengan Tuhan (Baba, 1993 : 4).
            Dharma mengungkapkan dirinya dalam berbagai bentuk yang terkadang dikenal sesuai dengan nama orang-orang yang menyusunnya., seperti Manudharma; terkadang oleh kelompok penganutnya, seperti Varnadharma; kadang-kadang oleh tahap kehidupan yang menerapkannya, seperti Grihasta-dharma dan sebagainya. Tetapi semua itu merupakan rincian praktis tambahan, bukan norma dasarnya. Atmadharma atau dharma ketuhanan itulah sebenarnya pokok pembicaraan yang berkaitan dengan moralitas spiritual.
            Baba (1993 : 8) menjelaskan demikian ; “ Acharadharma atau ‘dharma praktis’ bertalian dengan berbagai kebutuhan jasmani yang sifatnya sementara; dengan hubungan yang tidak langgeng antara manusia dengan dunia kebendaan. Alat untuk melaksanakan aturan-aturan tersebut yakni badan manusia itu sendiri tidak langgeng; jadi bagaimana dharma ini dapat langgeng? Bagaimana mungkin dharma praktis ini  dinyatakan sebagai dharma sejati? Yang langgeng tidak dapat dinyatakan dengan segala sesuatu yang bersifat sementara; kebenaran tidak dapat mengungkapkan diri dalam ketidakbenaran; terang tidak dapat diperoleh dari kegelapan. Yang langgeng hanya timbul dari yang langgeng; kebenaran hanya timbul dari kebenaran. Karena itu, peraturan-peraturan objektif dharma yang berkenaan dengan berbagai kegiatan duniawi dan kehidupan sehari-nari memang penting dalam ruang lingkup tersebut. Tetapi hal ini harus diikuti dengan pengetahuan dan kesadaran penuh akan atmadharma yang merupakan dasar batiniahnya. Setelah itu dorongan-dorongan lahir dan batin baru dapat saling bekerja sama dan membuahkan kemajuan harmonis yang membawa kebahagiaan”.
            Manusia melakukan kesalahan besar karena menyamakan dirinya dengan badan. Ia mengumpulkan bermacam-macam benda untuk pemeliharaan dan kesenangan tubuhnya. Bila badannya menjadi lemah dan jompo karena pertambahan usia, ia berusaha mempertahankannya dengan berbagai cara. Tapi berapa laamkanh kita dapat menunda kematian? Bila malaikat maut memanggil, setiap orang harus meninggalkan badan ini. Kedudukan, kebanggaan, dan kekuasaan semuanya lenyap dihadapan maut. Kita harus menyadari hal ini. Dengan badan yang murni, pikiran yang murni, dan semangat yang murni, kita harus berusaha menyadari diri kita yang sejati. Bhaktikanlah dirimu untuk menolong semua mahluk hidup.Badan harus dipelihara sebagai alat untuk pengabdian ini. Tetapi ingat, engkau bukan badan ini; badan ini bukanlah engkau. Engkau adalah Itu (Tat Twam Asi). Inilah mahavakya, yaitu kebenaran spiritual yang tertinggi dan tersuci: engkau adalah diri abadi yang tidak dapat binasa. Badan ini adalah alat, suatu perkakas pemberian Tuhan. Biarlah badan ini memenuhi tujuannya (Baba, tt : 6).
            Dalam memahami dharma yang sejati ini, manusia harus memandang dirinya sebagai manusia yang utuh. Manusia secara utuh yaitu terdiri dari : badan fisik, badan halus yang terdiri dari badan mental (pikiran), dan badan roh (atma) yang menghidupkan badan jasmani, dan membuat badan mental menjadi berfungsi. Ketika manusia menyamakan dirinya dengan badan fisiknya, ia terbelenggu dalam ego (kesadaran badan). Dalam keadaan seperti ini, seseorang akan menilai segala sesuatu hanya sebatas pandangan fisik. Ia akan menemukan berbagai perbedaan sesuai dengan kemampuan penglihatan mata fisiknya. Ia akan menilai segala sesuatu di dunia ini hanya berdasarkan status fisik. Tetapi ketika manusia itu menyadari bahwa ia sebenarnya adalah sang atma yang berkedudukan di dalam badan, ia tahu bahwa pikiran itu adalah sarana yang dapat digunakan untuk menyatakan kehendak dirinya atau sang atma yang direalisasikan melalui badan fisiknya. Ketika itulah mata kebijaksanaannya terbuka. Ia menyadari guna dari badan ini, yaitu sebagai alat untuk menolong sang atma melepaskan diri dari lingkaran kelahiran dan kematian yang berulang-ulang, dengan mengendalikan pikirannya melalui kontrol kesadaran jiwanya. Apapun aktivitas yang ia lakukan, seperti bepikir, berkata dan berbuat, hanya berdasarkan kesadaran atma.  Ketika itu, ia akan menjadi tuan atas dirinya, bukan menjadi budak dari panca inderanya. Pikirannya akan bergerak mengikuti perintah sang atma. Dan hanya setelah mencapai kesadaran atma ini, seseorang akan dapat melangkah dengan bebas dengan mengunakan kemampuan wiwekanya (kemampuan untuk membedakan antara yang benar dan yang salah, yang kekal dan yang sementara, antara diri sejati dan yang bukan diri sejati). Dalam keadaan itu, ia tidak lagi dibingungkan oleh kekaburan batinnya. Orang tersebut telah menemukan dirinya yang sejati. Ia telah mengenali ketuhanan dalam dirinya. 
            Brhad Aranyaka Upanisad, IV.8, menyatakan tentang keutamaan diri sejati itu demikian, “Diri kita Yang Sejati itu lebih penting dari anak laki-laki, lebih penting dari kekayaan, lebih penting dari apa saja, karena diri kita Yang Sejati itu paling dekat dengan diri kita yang berkesadaran rendah ini. Apabila orang hanya mencintai sesuatu yang bukan Dirinya Yang Sejati, maka orang akan mengatakan : Dia kehilangan sesuatu yang berharga. Hendaklah orang hanya mencintai Diri kita Yang Sejati saja. Orang yang mencintai Dirinya Yang Sejati, maka dia berarti memcintai sesuatu yang bersifat abadi, yang tidak terkena kehancuran”. Dengan menyadari Dirinya Yang Sejati orang akan dapat melaksanakan dharma dengan benar.
            Menyinggung mengenai masalah dharma kembali,  menurut  Baba  dalam Dharma vahini (1993 : 22) disebutkan demikian : “dharma itu adalah jalur moral; jalur moral adalah terang; terang adalah kebahagiaan jiwa. Dharma ditandai oleh kesucian, kedamaian, kebenaran dan ketabahan. Dharma adalah yoga kemanunggalan, peleburan; dharma adalah kebenaran. Sifatnya adalah keadilan, pengendalian indera, rasa hormat, kasih, kewibawaan, kebaikan, meditasi, simpati, dan tanpa kekerasan. Dharma tersebut membimbing manusia maju menuju kasih dan kesatuan semesta. Semua perkembangan ini di awali dengan dharma, semua ini distabilkan oleh sathya ‘kebenaran’; kebenaran tidak terpisahkan dari dharma. Kebenaran (sathya) adalah hukum alam semesta yang membuat matahari dan bulan berputar pada orbitnya masing-masing. Dharma adalah Veda dan mantra, juga jnana yang ditimbulkannya. Dharma adalah tujuan, jalan dan hukum. Di mana saja manusia berpegang teguh pada moralitas, di situ kita dapat melihat sathyadharma sedang bersaksi. Dalam Bhagawadgita pun dikatakan , “Di mana ada dharma, di situ ada kemenangan”. Dharma adalah perwujudan Tuhan; karena dunia sendiri merupakan badan Tuhan. Dunia ini hanyalah sebutan lain untuk tata tertib moral; tidak sorangpun dapat mengingkarinya, sekarang atau kapan saja”.
            Dan yang disebutkan sebagai dharma sejati yaitu :  (1) berusaha agar selalu berada dalam kebahagiaaan atma, (2) tenggelam dalam pandangan batin, (3) memiliki keyakinan yang teguh bahwa hakikat kita yang sejati sama dengan (Tuhan) Yang Mahamutlak, (4) menyadari bahwa semuanya adalah Brahman ‘Tuhan yang tidak terlukiskan, Yang maha besar’. Keempat hal inilah merupakan dharma yang benar.
            Dan satu-satunya jalan untuk dapat melaksanakan dharma yang sejati ini yaitu dengan memahami, menghayati dan mengamalkan Brahma Vidya atau Atma Vidya. Untuk mempelajari pengetahuan ini orang tidak mesti menunggu sampai ketika ia lanjut usia. Tidak seperti yang dibayangkan banyak orang bahwa untuk mendalami Veda orang harus menunggu biar berumur dulu. Hal ini merupakan pandangan yang sangat keliru akibat dari kebeodohan itu sendiri. Justru dimasa mudalah orang sudah harus memulainya, agar ia dapat menjalani hidup ini dengan benar.

Nilai-Nilai Kemanusiaan
            Seperti diungkapkan dalam Sarasamuscaya, bahwa kelahiran manusia adalah merupakan kelahiran yang paling utama. Manusia mempunyai tiga kemampuan yang tidak dimiliki binatang, yaitu : daya penalaran, kemampuan meninggalkan (segala keinginan dan ketagihan), serta kemampuan menentukan yang benar dan yang salah. Ini adalah kemampuan khusus dalam diri manusia, tetapi apakah gunanya semua itu jika tidak diterapkan dalam perbuatan nyata? Jika kemampuan itu digunakan maka sebutan manusia tepat baginya, jika tidak ia sama dengan binatang. Jika manusia hidup hanya untuk makan, berkelana, tidur dan mencari kenikmatan, sama seperti marga satwa.
           
            Saat ini, di dalam situasi krisis moral ini, dimana kelakuan manusia hampir seperti binatang, bahkan kadang-kadang lebih sadis dari binatang, seperti banyaknya terjadi tindakan-tindakan kriminal, adanya tindak korupsi besar-besaran dan lain-lain yang menandakan merosotnya moral manusia, maka kita sangat membutuhkan nilai-nilai kemanusiaan sebagai pegangan hidup.
            Nilai kemanusiaan ini memberikan kita jaminan rasa aman dan tenang. Nilai-nilai kemanusiaan adalah teman sejati yang memberikan kebahagiaan dalam kehidupan. Seseorang yang menegakkan nilai kemanusiaannya, ia mempunyai  kehormatan diri dan martabat. Seseorang yang menegakkan nilai kemanusiaannya ini, dapat menjadi dekat dengan Tuhan sehingga kehidupannya menjadi nyata dan penuh arti. Nilai kemanusiaan memberikan kebebasan dan kemandirian. Dengan menegakkan nilai kemanusiaannya, seseorang dapat mengembangkan kemampuan untuk melihat kenyataan dan mengambil sikap sesuai dengan kenyataan. Nilai kemanusiaan memberikan perlindungan kepada seseorang dan juga membagi rasa aman kepada orang lain. Dengan demikian, seseorang dapat menciptakan kepribadian yang luhur sehingga ia dapat melaksanakan dharma dengan benar, dan hubungannya dengan Tuhan pun akan semakin kuat.
             Adapun yang termasuk nilai kemanusiaan yang harus dikenali agar seseorang dapat melaksakan dharma yang benar yaitu :
  1. Sikap yang benar.
            “Perlakukan orang lain seperti harapanmu orang lain memperlakukan dirimu – itulah Dharma” (Sri Sathya Sai Baba).
                        Untuk menciptakan sari kehidupan yang penuh dengan perasaan kemanusiaan, diperlukan kepekaan naluri, intuisi dan pemahaman, agar sikap kita tidak menyimpang dari kebenaran.
  1. Kedamaian.
            “Kedamaian adalah apa yang dicari oleh setiap orang, tetapi itu tak akan pernah dipastikan dari dunia luar. Tumpukan kekayaan dan kekuasaan tak dapat memberikan kedamaian. Kedamaian hanya dapat muncul dari sumber dalam diri” (Sri Sathya Sai Baba).
                        Kedamaian yang sejati adalah keheningan batiniah yang penuh dengan kekuatan kebenaran. Kedamaian adalah ciri utama dari apa yang kita sebut “masyarakat beradab” dan sifat sebuah masyarakat dapat dilihat dari kesadaran bersama warganya.
  1. Kebenaran.
            “Kebenaran adalah yang senantiasa tak berubah, yang abadi selamanya. Itulah realitas abadi” (Sri Sathya Sai Baba)
                        Kebenaran adalah sesuatu yang tidak berubah. Ia merupakan kebenaran hari ini, juga harus menjadi kebenaran esok hari, dan harus menjadi kebenaran besoknya lagi. Dengan kesimpulan logis, hari demi hari akan selalu menjadi kebenaran. Itu bebarti, di masa depan yang abadi, Kebenaran yang sama akan senantiasa menjadi kebenaran.
  1. Kasih Sayang.
            “Kebajikan terbesar adalah kasih Sayang. Kasih sayang merupakan dasar dari karakter” (Sri Sathya Sai Baba).
                        Kasing sayang adalah dasar yang menciptakan dan memelihara hubungan kemanusiaan secara mendalam dan mulia. Kasih sayang adalah kepercayaan dalam persamaan semangat dan rasa kemanusiaan. Kasing sayang membantu untuk mempercepat proses perubahan perkembangan dan pencapaian hasil.
                        Kasing sayang bukan sekedar keinginan, hasrat, suatu perasaan yang penuh emosi terhadap orang atau benda, tetapi suatu kesadaran yang sekaligus merupakan pemuasan diri dan tanpa pamrih. Kasih sayang bersumber pada kebenaran, yaitu kearifan. Kasih sayang yang berdasarkan kearifan adalah kasih sayang sejati, bukan kasih buta. Dan untuk menemukan rahasia kasih sayang sejati adalah dengan memperhatikan dengan seksama bagaimana rahasia kehidupan terungkap.
  1. Tanpa Kekerasan.
            “Ahimsa (tanpa kekerasan) berarti menghilangkan yang menyebabkan kekerasan terhadap siapapun, baik dengan pikiran, kata-kata atau perbuatan” (Sri Sathya Sai Baba)
                        Tanpa kekerasan sesungguhnya digunakan badan dan pikiran untuk hidup selaras dengan sekitar atau lingkungan kita.
                       
            Lima nilai  kemanusiaan ini adalah nilai-nilai luhur yang merupakan keunggulan dari manusia, memang sudah ada di dalam diri setiap orang. Hanya saja nilai kemanusiaan ini di zaman iptek yang serba canggih sekarang ini jauh terkubur dalam-dalam dan hampir tidak dapat dikenali lagi, karena telah diambil alih oleh semarak penampilan fisik namun kosong makna. Bila kita amati fenomena yang terjadi sekarang ini, hampir dalam seluruh bidang aspek kehidupan, orang hanya mementingkan penampilan luar saja tanpa memperhatikan yang di dalam, padahal keberadaan ini sesungguhnya didukung oleh dua eksistensi yaitu luar dan dalam (jasmani dan rohani).  Tanpa ada keseimbangan antara keduanya menyebabkan orang menjadi labil. Oleh karena itu menegakkan kembali nilai kemanusiaan ini adalah sangat penting agar seseorang dapat melaksanakan dharma.

           
Kaitan Dharma dengan Nilai-Nilai Kemanusiaan

Dharma yang sejati meliputi :
1.      Berusaha agar selalu berada dalam kebahagiaaan atma,
2.      Tenggelam dalam pandangan batin,
3.      Memiliki keyakinan yang teguh bahwa hakikat kita yang sejati sama dengan (Tuhan) Yang Mahamutlak,
4.      Menyadari bahwa semuanya adalah Brahman ‘Tuhan yang tidak terlukiskan, Yang maha besar’.
            Keempat dharma ini adalah merupakan jalur moral yang mencerminkan kebahagiaan jiwa, yang sifatnya adalah keadilan, pengendalian indera, rasa hormat, kasih, kewibawaan, kebaikan, meditasi, simpati, dan tanpa kekerasan, dan dharma inilah yang membimbing manusia maju menuju kasih dan kesatuan semesta.
            Dan lima nilai kemanusiaan yang terdiri dari  : (1)     Sikap yang benar,    (2) Kedamaian, (3) Kebenaran,  (4) Kasih Sayang, dan   (5)           Tanpa kekerasan, adalah nilai-nilai luhur yang merupakan keunggulan yang dimiliki oleh manusia,dimana nilai ini sudah melekat dan ada dalam diri setiap orang yang dibawanya dari sejak lahir.     
            Bila kita perhatikan  kaitan antara dharma dengan nilai kemanusiaan yaitu bahwa dharma dan nilai kemanusiaan, adalah saling ada keterkaiatan antara yang  satu dengan yang  lain. Di lain pihak, baik dalam memahami dharma ataupun nilai kemanusiaan, hanya melalui jalan dengan mendalami pengetahuan rohani (Brahma Vidya atau Atma Vidya). Melalui pendalaman rohani secara pelan-pelan kesadaran kita akan dibuka sehingga kita dapat mengenali eksistensi kita yang sesungguhnya. Tanpa mengenali nilai kemanusiaannya, seseorang sulit dapat melaksanakan dharma dengan benar. Dengan mengenali dan menyadari nilai kemanusiaan, dharma akan dengan mudah dapat dilaksanakan. Dharma yang agung ini hanya dapat dilaksanakan, setelah seseorang berada dalam kesadaran rohani (telah menghayati bahwa dirinya bukan badan jasmani, tetapi roh yang bersemayam di dalam badannya).
            Seperti yang dikemukakan oleh Baba di atas, agar orang dapat melaksanakan dharma dan menegakkan nilai-nilai kemanusiaannya, ia harus memerangi dan memusnahkan memusnahkan Sadripu (kama, krodha, lobha, moha, mada dan matsarya) yang merupakan musuh yang ada di dalam dirinya sendiri. Pertama-tama seseorang harus yakin bahwa dirinya adalah diri sejati yang bersifat universal dan kekal. Hal ini akan membuat semua latihan rohani yang dilakukan menjadi mudah. Sebaliknya bila seseorang membiarkan khayal bahwa dirinya adalah tubuh dan indera, bahwa dia hanyalah sang jiwa, diri pribadi ini, maka latihan rohani apapun yang dilakukan dapat diibaratkan dengan buah muda yang membusuk. Buah itu tidak akan pernah tumbuh menjadi ranum.
            Baba (1995 : 38) menyatakan bahwa, untuk menghayati diri sebagai pengejawantahan kedamaian, seseorang harus mulai dengan keyakinan bahwa ia adalah perwujudan kedamaian itu sendiri. Kedamaian batin juga dapat didefinisikan sebagai kasih sejati Tuhan, bagi kebenaran, dan bagi dharma yang benar. Kedamaian batin membuat seseorang mencapai kesadaran Tuhan. Karena itu tetapkan Tuhan sebagai satu-satunya tujuan. Seseorang harus membulatkan tekad untuk mencapai-Nya dalam hidupnya. Oleh karena itu seseorang jangan sampai terpengaruh oleh nafsu kama, keserakahan suka duka, pujian dan kecaman, atau hal-hal yang bertentangan semacam itu. Seseorang harus menetapkan niatnya bahwa tujuan kelahiran sebagai manusia adalah untuk mencapai tujuan melalui ibadah. Segala pengetahuan, pengalaman, kegiatan diarahkan untuk tujuan itu. Segala yang dimakan, didengar, harus diabdikan untuk tujuan itu. Hanya keteguhan hati semacam itu yang akan membawa seseorang ke tujuan.           



Penutup.
            Dharma seperti yang diagung-agungkan dalam beberapa kitab suci, adalah dharma yang telah dihayati melalui kesadaran atma dan dinyatakan bahwa dharma itu adalah jalur moral; jalur moral adalah terang; terang adalah kebahagiaan jiwa. Jadi, dharma itu ditandai oleh kesucian, kedamaian, kebenaran dan ketabahan. Dan dharma itu juga adalah yoga kemanunggalan, peleburan; dharma adalah kebenaran. Sifatnya adalah keadilan, pengendalian indera, rasa hormat, kasih, kewibawaan, kebaikan, meditasi, simpati, dan tanpa kekerasan. Yang merupakan dharma yang sejati disebutkan : (1) Berusaha agar selalu berada dalam kebahagiaaan atma, (2)   Tenggelam dalam pandangan batin,    (3)  Memiliki keyakinan yang teguh bahwa hakikat kita yang sejati sama dengan (Tuhan) Yang Mahamutlak, (4)        Menyadari bahwa semuanya adalah Brahman ‘Tuhan yang tidak terlukiskan, Yang maha besar’.
            Nilai kemanusiaan meliputi : (1)         Sikap yang benar,    (2) Kedamaian, (3) Kebenaran,  (4) Kasih Sayang, dan   (5)           Tanpa kekerasan.
            Kaitan dharma dengan nilai kemanusiaan adalah sangat erat sekali, dimana penegakan nilai kemanusiaan, merupakan landasan untuk dapat melaksanakan dharma. Tanpa memiliki nilai kemanusiaan itu betapapun hebatnya seseorang dari segi kemampuan fisik maupun intelek, ia tidak akan dapat melaksanakan dharma.


DAFTAR PUSTAKA
Ayudhya, Art-ong Jumsai Na, 2000. Lima Nilai Kemanusiaan dan Keunggulan Manusia. Surabaya : Paramita.
Baba, Bhagawan Sri Sathya Sai, 1992. Vidya Vahini (Pancaran Penerangan). Jakarta : Yayasan Sri Satya sai Indonesia,
Baba,1993. Dharma Vahini (Pancaran Dharma). Jakarta : Yayasan Sri Sathya Sai Indonesia.
Baba , 1995. Wacana Musim Panas 1990. Jakarta : Yayasan Sri Sathya Sai Indonesia.                       
Baba,  1995. Prasanthi Vahini (Pancaran Kedamaian). Jakarta : Yayasan Sri Sathya Sai Indonesia.
Baba,  tt. Prema Vahini (Pancaran Kasih Ilahi). Jakarta : Yayasan Sri Sathya sai Indonesia.
Jendra, I Wayan, 1996. Variasi Bahasa Kedudukan dan Peran Bhagawan Sri Sathya Sai Baba dalam Agama Hindu. Surabaya : Paramita.
Kajeng, I Nyoman, dkk, 1999. Sarasamuscaya. Surabaya : Paramita.
Lal, P, 1995. Ramayana. PT Dunia Pusataka Jaya.
Maswinara, I Wayan, 2000. Tujuan Pengembaraan Kehidupan Manusia. Surabaya : Paramita.
Sanjaya, IGMA, 2002. Mengangkat Nilai-nilai Agama dalam Menghadapi Globalisasi. Surabaya : Paramita.
Sudharta, Tjok. Rai, Pudja, G, 1977/1978. Manawa Dharmasastra atau Weda Smrti Compendium Hukum Hindu. Jakarta : Lembaga Penterjemah Kitab Suci Weda.
Somvir, 2001. 108 Mutiara Veda Untuk Kehidupan Sehari-hari. Surabaya : Paramita.

Minggu, 20 Maret 2011

KEDUDUKAN DAN TUGAS SERTA KEWAJIBAN BRAHMACĀRI MENURUT VEDA

        
Oleh : Ni Nyoman Purnami

A. Pendahuluan
        Kehidupan Aguron-guron atau Asewaka Guru untuk menjadi calon siswa kerohanian dalam agama Hindu  erat kaitannya dengan Catur Āśrama atau empat tingkat masa kehidupan. Dalam Agastya Parwa disebutkan bahwa, yang bernama  Catur Āśrama  ialah Brahmacāri, Grhasta, Wānaprastha, dan Bhiksuka. Brahmacāri  yaitu orang yang sedang menuntut ilmu pengetahuan. Sang Yogiśwara beliau Brahmacāri  di dalam berbagai ilmu (Śastrāntara), di dalam pengertian ilmu (Śāstrajna). Setelah puas mendalami semua ilmu yang dikehendaki, lalu beliau memasuki Grhastha yaitu mempunyai istri, anak  atau pelayan dan sebagainya, memupuk kebajikan yang berhubungan dengan diri pribadi (kāyikadharma) dengan kekuatan yang ada padanya (yathāśakti) (dalam Punyatmadja, 1992 : 11).
        Setelah dilakukannya Dharma Grhasta, lalu beliau memasuki Wānaprastha dengan meninggalkan desa pergi ke hutan mendirikan pertapaan sebagai tempat melakukan Pancakarma dan mengurangi nafsu keduniawian serta mengajarkan ajaran kerohanian. Setelah masa Wānaprastha dilewatkan akhirnya beliau memasuki Bhiksuka, dengan melepaskan segala keterikatan terhadap kehidupan keduniawian serta merasa tidak berpengetahuan.
            Bagian dari Catur Āśrama  yang erat kaitannya dengan Aguron-guron (kehidupan berguru) adalah masa Brahmacāri yaitu masa menuntut ilmu dan mendidik diri untuk mencapai kersempurnaan rohani. Berkaitan dengan hal ini,  Jābālaśrūti juga menyebutkan demikian : “Setelah tamat Brahmacāri, hendaklah menjadi Grhastha. Setelah menjadi Grhastha hendaklah menjadi Wanāprastha. Setelah menjadi Wanāprastha hendaklah menjadi Sannyasa (Bhiksuka); atau dari Brahmacāri langsung menjadi Sannyasa” (Ibid, 1992 : 19).

B.  Kedudukan Brahmacāri menurut Veda
            Brahmacāri adalah hidup dalam perkembangan dan pendidikan spiritual. Veda menyebutkan  bahwa Brahmacāri adalah mendahului pengetahuan ke-Ilahi-an dan hal-hal lain yang lebih tinggi dalam agama.
            pūrvo jāto brahman̩o brahmacāri gharmam̍ vasānas tapasodatis̩t̩hat, tasmāj jātam̍ brāhman̩am̍ brahma jyes̩t̩ham̍ devāśca sarve amr̩tena sākam.
                                                                                                        (Atharvaveda XI. 5. 5).
            Brahmacārin (siswa pengetahuan spiritual), yang lahir sebelum Brahman (pengetahuan spiritual), yang melakukan persembahan, yang melaksanakan disiplin spiritual (tapas); dari pribadinya timbul (terdapat wahyu) kebijaksanaan suci, (ilmu pengetahuan tentang) Brahman tertinggi dan Yang bersinar dengan kehidupan yang abadi” (Bose, 1999 : 100).

            Brahmacārya merupakan pelajar dalam tahap pembinaan dalam pengetahuan dan proses pengembangan kecerdasan dan moral. Tahap ini merupakan jenjang sistematis dari disiplin diri dan pendidikan untuk mencapai tingkat kehidupan spiritual yang lebih tinggi. Dalam istilah yang lebih khusus lagi, jenjang ini merupakan proses budaya diri dan sublimasi kecenderungan-kecenderungan seksual yang dilaksanakan oleh para siswa zaman dahulu yang bertujuan mempelajari ilmu pengetahuan Veda dan spiritual.
Mantram Atharvaveda tersebut menyajikan uraian yang panjang lebar pada kemuliaan kehidupan Brahmacārin. Hal ini merupakan pandangan Jñāna Yoga (jalan pengetahuan).  Dengan cara seperti itulah Jalan Ilmu Pengetahuan menurut Veda membawa pada konsep program kehidupan (āśrama vibhāga) “empat jenjang” atau yang lazim disebut dengan catur āśrama, di mana jenjang pertama meliputi pembinaan budaya diri (brahmacārya) yang sistematis. Dalam pembinaan budaya diri ini seseorang menjalani latihan-latihan untuk membangkitkan daya  spiritual yang ada di dalam dirinya sekaligus melatih ketrampilan fisik yang merupakan harta karun abadi yang dimiliki oleh seseorang. Hal ini dijelaskan dalam Atharvaveda sebagai berikut :
            arvāg anyah̩ paso anyo divas pr̩s̩t̩hāt guhā nidhī nihitau brāhman̩asya, tau raks̩ati tapasā brahmacārī tat kevalam̍ kr̩n̩ute brahma vidvān.
                                                                                                     (Atharvaveda XI. 5. 10).

            “Satu di sini, yang lain di alam lain; Dua harta karun sakral jaman dahulu tetap tersembunyi. Brahmacārin melindungi kedua-duanya dengan daya spiritualnya(tapas). Dengan mengetahui Brahman ia menjadikan semua itu miliknya” (Bose, 1999 : 101).

            Atharvaveda menjelaskan bahwa kedua bidang pengetahuan yaitu parā ‘tak terbatas’ (pengetahuan spiritual) dan aparā ‘yang terbatas (pengetahuan duniawi) adalah pengetahuan yang dipelajari oleh siswa spiritual. Keduanya itu adalah mistik (guhānihitau) yang mempengaruhi agama dan memerlukan kemantapan spiritual untuk mencapainya.
            Dalam masa Brahmacāri seorang siswa tidak hanya melulu diajarkan masalah spiritual saja, namun berbagai ketrampilan ilmu duniawi juga dipelajari dan dilatih. Sebagai bukti nyata di zaman ini seorang yogi besar yang menguasai parā dan aparā vidya yang terpadu  secara sempurna adalah Swāmī Rāma. Swāmī Rāma  yaitu salah seorang dari sekian banyak yogi yang telah mendapat pencerahan di bawah bimbingan para rsi atau yogi-yogi yang ada di Himalaya. Swāmī Rāma  adalah seorang pendeta dalam jajaran keturunan Śankarācārya, ia memiliki kedudukan yang tertinggi, dimana ia menarik diri dan melanjutkan tradisi Himalaya.        
Ia telah menyucikan hidupnya dengan menjalani disiplin spiritual yang ketat dan mengendalikan pikiran, perkataan dan perbuatannya melalui yoga. Ia adalah orang yang sangat hebat.  Kehidupannya adalah seperti kata, “Yoga yaitu tindakan yang sangat terampil”, dan ia membuktikan semua ilmu dan seni terbuka bagi yogi yang sempurna. Ia bukan saja seorang yogi yang seniman, ia juga adalah seorang filsuf yang telah menulis empat puluh lima buku, seorang penyair yang menterjemahkan sebuah epos dalam tiga bulan, seorang ilmuwan yang pada tahun 1970 yang menawarkan dirinya sebagai bahan percobaan di Yayasan Menninger di Amerika Serikat, Seorang ahli homeopathy dan Pengobatan Ayurveda, demikian juga olah tubuh, seorang arsitek, seorang pematung, pelukis, musisi, pelatih-anjing seorang pelatih kuda, seorang ahli holtikultura, dan lebih banyak lagi. Ia seorang pakar kemanusiaan yang mendirikan Himalayan International Institute of Yoga Science and Philosophy dan empat tahun kemudian ia mendirikan Kota Pengobatan dengan salah satu rumah-sakit di India. Di sana ia memberikan bimbingan tentang pembedahan pada para dokter yang berlatih di sana.
            Bagi yang membaca kisah kehidupan Swāmī Rāma  merupakan sebuah kisah nyata tentang suatu usaha seorang insan dan kuasa di tangan Tuhan. Usaha pencarian dan pendakian spiritual yang dilakukan oleh seorang serta campur tangan Tuhan dalam penetuan karma seseorang. Ini adalah sebuah kisah yang dimiliki oleh Swāmī Rāma. Ia lahir pada tahun 1925 dan tahun 1996, saat ia bersiap-siap untuk meninggalkan tubuhnya, ia meninggalkan sebuah instruksi yang sangat ketat kepada para muridnya bahwa tidak ada yang boleh membangun tempat suci atau melakukan sesuatu untuk memperingati dirinya.
            Apa yang telah dicapai oleh Swāmī Rāma  merupakan satu bukti nyata dari kebesaran dan keagungan jiwa dari seorang suci, jiwa seorang yogi atau seorang pendeta yang sejati. Apa yang telah diperolehnya adalah tak lepas dari ketaatannya  menjalani kehidupan brahmacāri dan melaksanakan yoga sepanjang hidupnya. Bila seseorang benar-benar mengamalkan apa yang diisyaratkan oleh Veda maka ia akan mencapai hasil seperti yang dijanjikan oleh Veda itu sendiri. Swāmī Rāma  berpegang teguh dalam kehidupan brahmacāri. Dengan kekuatan brahmacāri tersebut seorang suci dapat meraih cita-cita tertinggi.
            … brahmacāri siñcati sānau retah̩ pr̩thivyām̍ tena jīvanti pradiśaś catasrah̩.              
                                                                                                      (Atharvaveda XI. 5. 12).
            “Brahmacārin menggunakan daya kejantanannya di permukaan bumi ini, dan dengan demikian alam semesta ini tegak berdiri” (Bose, 1999 : 102).

        Hal ini menyatakan bahwa manusia yang memiliki pencerahan dan budaya spiritual merupakan pusat kehidupan yang lebih mulia. Dari dirinya memancar daya dan inspirasi spiritual. Dinyatakan bahwa bumi ini tegak berdiri adalah karena kekuatan dari brahmacāri.  Namun sebelum seseorang mulai menginjakkan kakinya dalam memasuki masa brahmacāri, yaitu masa perkembangan dan pendidikan spiritual, Veda menetapkan suatu proses dan tahapan-tahapan yang harus dilalui. Pada tahap awal akan memasuki masa brahmacāri seorang guru akan memberi dīks̩a atau inisiasi kepada calon siswanya.
            Setelah melaksanakan dīks̩a, seorang brahmacāri mulai melaksanakan tapas sebagai langkah selanjutnya. Tapas adalah usaha yang tak kenal lelah untuk mencapai yang lebih tinggi. Tapas merupakan awal dari segala sesuatu yang mulia. Kebenaran dan ketertiban, dikatakan berawal dari usaha spiritual yang sempurna (tapas).
            brahmacaryen̩a tapasā rājā rās̩t̩ram̍ vi raks̩ati,
ācāryo brahmacaryen̩a brahmacārin̩am icchate.
            brahmacaryen̩a kanyā yuvānam̍ vindate patim…
           
                                                                                                 (Atharvaveda XI. 5. 17-18).
            “Dengan disiplin (tapas) brahmacarya raja melindungi kerajaannya;
            Dengan disiplin brahmacarya guru mengharap keberhasilan siswanya;
Dengan disiplin brahmacarya seorang gadis mendapat suami yang tampan”  (Bose, 1999 : 103).

            Sifat yang mulia pada seseorang, yaitu kemampuan batinnya, menurut Veda merupakan hasil kegiatan brahmacarya. Dalam jaman Veda  wanita juga mendapat budaya yang lebih tinggi ini. Istilah ‘brahmacarya’ juga diartikan sebagai ‘masa mempelajari Veda’ (Whitney dalam Bose, 1999 : 103).
            Meskipun dikatakan bahwa dikalangan penganut ortodoks Hindu di India, wanita tiada mempunyai hak untuk menginjak alam Brahmacari dan menjadi Dwijāti, namun di zaman  Veda hak itu ada. Tokoh-tokoh wanita seperti Gārgi, Maitreyi, Kātyāyanī, Sarangi, Sulabha, Viśvaveda dan yang lain-lainnya adalah ahli dalam Brahmajñāna pada zaman Veda (Kasturi, 1998 : 55). Dan di Bali sendiri wanita biasa ditasbihkan (Diksa) dan menjadi Dwijāti.
            Dengan demikian, siapapun yang menginginkan kehidupan berarti harus menjadi brahmacāri. Dinyatakan lagi bahwa para raja atau pemimpin pun hanya bisa melindungi negara (rās̩t̩ra) melalui tapas atau kekuatan sebagai brahmacarya. Demikian juga para yogi serta ācārya menginginkan murid melalui brahmacarya. Mereka pertama-tama harus membuktikan diri sendiri mampu sebagai brahmacāri dan setelah itu baru mereka boleh mengajar  muridnya.  Gadis remaja mendapatkan suami muda juga melalui brahmacarya.
            Dari uraian diatas, jelas terlihat begitu pentingnya melaksanakan brahmacāri. Dalam Veda dijelaskan bahwa jika seorang  raja/pemimpin negara dan seorang guru bisa memahami makna brahmacāri, mereka akan bisa melindungi negara dan mengajar dengan baik. Sebaliknya jika tidak bisa memahami makna brahmacāri, mereka akan gagal melindungi negara, dan selanjutnya mereka akan hancur. Mengapa demikian, karena seorang pemimpin negara akan menjadi contoh bagi masyarakat, demikian juga seorang guru merupakan panutan dari anak didiknya, setelah itu barulah masyarakat akan mengikuti pemimpin dan murid mengikuti guru.
            śraddhāyā duhitā tapaso ‘dhijtā svasā r̩s̩īn̩ām̍ bhūtakr̩tām̍ babhūva,
            sā no mekhale matim ā dhehi meghām atho no dhehi tapa indriyam̍ ca.
                                                                                                    (Atharvaveda VI. 133. 4).
            “Ia (pengikat barahmacārin) telah menjadi putri Keyakinan, yang lahir dari disiplin spiritual, dan saudara dari r̩s̩i (orang bijak) penegak dunia. Dengan demikian, wahai sang Pengikat (Tuhan)! Berilah kami kemampuan berpikir dan bakat serta kekuatan spiritual dan keberanian mental” (Bose, 1999: 104).
            Pengikat merupakan  bagian seragam dari siswa Veda (yang menjalankan masa brahmacarya) di India zaman purba. Pengikat itu melambangkan  ‘śraddhā’ atau keyakinan akan nilai-nilai spiritual, dan pendidikan yang membantu kecerdasan dan perkembangan spiritual para r̩s̩i, yang menegakkan dunia dengan cita-cita mulia.
            brahmacaryen̩a tapasā devā mrtyum apāghnata,
            indro ha brahmacaryen̩a devebhyah̩ svar ābharat.
                                                                                                      (Atharvaveda XI. 5. 19).
            “Dengan kekuatan brahmacāri para dewa bertapa dan mengalahkan kematian. Dengan brahmacāri pula, Dewa Indra mendapatkan amr̩ta untuk para dewa-dewa” (Somvir, 2001 : 57).
            Dari mantram-mantram Veda tersebut di atas dijelaskan tentang keagungan dan keutamaan brahmacāri.  Secara tata bahasa,  dalam brahmacāri ada kata brahm yang berarti Tuhan dan cāri seorang yang ingin mencari. Jadi brahmacāri berarti seseorang yang ingin mencari Tuhan. Untuk itu, hampir dalam semua buku suci Veda, Upanisad dan lain-lainnya disarankan supaya pada masa brahmacāri seseorang harus mengendalikan sepuluh indera dan pikiran, supaya bisa mendapatkan ojas (cahaya) dengan melaksanakan tapa (Somvir, 2001 : 57). Swami Dayānanda Saraswatī menjelaskan seseorang yang bisa mengendalikan indera-indera tersebut adalah brahmacāri (dalam Somvir, 2001 : 58).
 Hampir dalam seluruh Veda keagungan brahmacāri dijelaskan. “Sesungguhnya Indra memberikan cahaya pada para dewa melalui brahmacarya” (Bose, 1999 : 49). Lebih lanjut dalam Atharvaveda dijelaskan “… tasmin devāh̩ sam̍ manaso bhavanti.”  Yang berarti bahwa semua dewa tinggal dalam brahmacāri dan “sa dādhāra pr̩thivīm̍ divam̍ ca” (Atharvaveda 11.5.1) yang berarti seorang brahmacāri dapat menguasai angkasa dan bumi. Dalam mantra di atas dijelaskan bahwa para dewa melaksanakan brahmacārya dan mampu mengalahkan kematian. Dewa Indra dengan kekuatan brahmacārya mendapatkan ānanda/amr̩ta yang diberikan kepada para dewa, yang nantinya menjadi kekal (Somvir, 2001 : 58 cf. Titib, 1996 : 393). Sesungguhnya Indra memberikan cahaya pada para dewa melalui brahmacārya. Dan brahmacārya terletak pada pusat Ilahi. “Yang Bersinar menghindari kematian dengan tapas brahmacārya. Setelah mandi (snātah̩), brahmacāri cerah berkilauan, menerangi dunia (Bose, 1999 : 49).
Brahmacāri yang diuraikan di atas adalah merupakan disiplin jasmani dan rohani dalam usaha pencarian kelayakan terhadap pengetahuan Veda. Dengan demikian, siapa pun yang menginginkan kehidupannya berarti harus menjadi brahmacāri.  
            Dalam Atharva Veda secara rinci diuraikan karakter dari brahmacāri (Ath. XI. 5). ‘Ia memuaskan sang ācārya dengan tapas’. ‘Dengan kayu suci (samidh), sabuk suci (mekhalā) dan kerja keras, brahmacāri memuaskan dunia. ‘Dengan tapas-nya ia meningkat terselimuti cahaya spiritual’. Pemuda mengawali karir intelektual dan spiritual dan setelah berumur dua puluh empat tahun, pemuda yang telah matang itu kembali ke masyarakat dengan baju serta kemampuan baru. ‘Brahmacāri menyempurnakan diri dengan samidh (kegiatan spiritual yang dilakukan dengan membakar kayu suci),  mengenakan pakaian kulit antilop hitam, diinisiasi (dīks̩ita), memelihara janggut : ia segera muncul (seperti matahari) dari laut timur ke laut utara dan dengan mengumpulkan orang ia segera membuktikan dirinya sendiri’. Daya kreatif yang dipupuk selama masa pematangan yang lama digunakan pada bidang spiritual : yang digerakkan oleh daya kreatif  ‘kehidupan semesta’-nya  (Bose, 1999 : 49).    
Dalam kitab Veda cita-cita brahmacārya dimaksudkan untuk persiapan awal kehidupan dan bukan untuk selama hidup. Brahmacāri adalah masa belajar, menuntut ilmu pengetahuan utamanya ilmu pengetahuan tentang ketuhanan (spiritual). Kata brahmacāri sering dijabarkan melalui pernyataan berikut : brahmacarati iti brahmacāri, mereka yang berkecimpung di bidang pengetahuan (mencari ilmu pengetahuan) disebut Brahmacāri (Titib, 1996 : 292). Pernyataan ini memperkuat pengertian kita tentang Brahmacāri. Seorang brahmacāri yang mampu mengendalikan dirinya (dari dorongan nafsu seks) dinyatakan memiliki kekuatan suci (cahaya) kedewataan.
Bila kita perhatikan tentang konsep-konsep  yang ada di dalam kitab suci Veda maupun śāstra-śāstra lainnya,  dīks̩a (inisiasi) tersebut dilakukan pada masa brahmacāri yaitu ketika seorang anak akan memulai tahapan belajar ilmu pengetahuan di bawah bimbingan seorang guru.
Seseorang dengan memiliki ilmu pengetahuan (jñāna) akan memperoleh kesejahteraan, ketenangan dan kebahagiaan. Ilmu pengetahuan memberikan bimbingan, pertimbangan terhadap yang baik dan buruk. Menghindarkan diri dari perbuatan yang buruk karena kegelapan senantiasa diamanatkan di dalam Veda.
Pengetahuan kerohaniaan, seperti halnya pengetahuan umumnya hanya dapat diperoleh melalui pendidikan. Dan Veda, menanamkan tentang disiplin jasmani maupun rohani mulai sejak masa kanak-kanak. Maksudnya adalah semua ilmu pengetahuan jasmani maupun rohani dan disiplin fisik maupun mental yang didapat pada masa brahmacāri adalah dipersiapkan sebagai bekal untuk memasuki tahapan hidup atau aśrama berikutnya.


C.  Tugas dan kewajiban Brahmacārin/ Brahmacārini
            Seorang brahmacārin/brahmacārini atau siswa/i menurut Veda (dalam Titib, 1996 : 437-439) memiliki beberapa tugas dan kewajiban yang harus dilaksanakan meliputi :
1.   Pertajamlah intelek-intelekmu.
            Śiśīhi mā śiśayam̍ tvā śr̩n̩omi.
                                                                                                                (R̩gveda X. 42. 3).
            “Wahai para guru, pertajamlah intelek-ku, aku dengar ajaran-ajaranmu dengan penuh perhatian.”

2.   Milikilah ingatan yang kuat.

            Mayyevāstu mayi śrutam.
                                                                                                           (Atharvaveda I. 1. 2).
            “Wahai para guru, semoga kami mempunyai ingatan yang kuat.”

3.   Ikutilah jalanan ajaran-ajaran Veda.

            Sam̍ śrutena gamemahi, mā śrutena vi rādhis̩i.
                                                                                                           (Atharvaveda I. 1. 4).
            “Wahai para guru, semoga kami mengikuti jalan ajaran-ajaran Veda. Kami seharusnya tidak mengabaiakn ajaran-ajaran itu.”

4.   Milikilah pikiran yang tekun.

            Apnasvatī mama dhīr astu śakra.
                                                                                                                (R̩gveda X. 42. 3).
            “Ya Tuhan Yang Maha Esa, semoga kami memiliki intelek yang tekun (aktif).”

5.   Siswa haruslah punya keingintahuan.
            Tān uśato vi bodhaya.
                                                                                                                  (R̩gveda I.12. 4).
            “Seorang guru seharusnya mencerahkan pikiran para siswa yang ingin tahu tersebut.”


            Sa śakra śiksa puruhūta no dhiyā.
                                                                                                             (R̩gveda VIII. 4.15).
            “Ya Tuhan Yang Maha Esa, tanamkanlah pengetahuan kepada kami dan berkahilah kami dengan intelek yang mulia.”

6.   Bimbinglah  kami ke jalan yang mulia.
            Sugān pathah̩ kr̩n̩uhi devayānān.
                                                                                                                (R̩gveda V. 51. 5).
            “Ya, Guru bimbinglah kami ke jalan yang mulia dan buatlah jalan itu lancer (mulus).”

7.   Penuh perhatianlah.

            Viprāso na manmabhih̩ svādhyah̩
                                                                                                              (R̩gveda X. 78. 14).
            “Para sarjana menjadi penuh perhatian dengan cara yang bijaksana.”

8.   Senangkanlah gurumu dengan ketaatan.
            Śumbhanti vipram̍ dhītibhih̩.
                                                                                                              (R̩gveda IX. 40. 1).
            “Mereka menyenangkan guru dengan ketaatan.”

9.   Ulangilah pelajaranmu.
                                                                                                                       
Śāktasyeva vadati śiks̩amān̩ah̩.
                                                                                                           (R̩gveda VII. 103. 5).
            “Seorang siswa menghafalkan pelajarannya seperti diajarkan (diinstruksikan) oleh guru.”

10.  Bagunlah pagi-pagi.

            Viśvān devān us̩arbudhah̩.
                                                                                                                 (R̩gveda I. 14. 9).
            “Orang yang bangun pagi-pagi, menyenangkan para dewa.”

11.  Jangan mengatuk (malas) dan banyak bicara.

            Mā no nidrā īśata mota jalpih̩
                                                                                                          (R̩gveda VIII. 48. 14). 
            “Hendaknyalah kami tidak dikuasai oleh tidur dan banyak bicara.”

            Seorang brahmacārin/brahmacārini hendaknya tiada henti-hentinya mempertajam intelek, memiliki ingatan yang kuat (melalui latihan), mengikuti ajaran suci Veda, memiliki ketekunan dan keingintahuan, melatih konsentrasi (penuh perhatian), menyenangkan hati guru (dengan mematuhi perintahnya), mengulang-ulangi pelajaran, jangan mengatuk (karena sebelumnya kurang tidur), malas dan banyak bicara (kosong).

KEDUDUKAN DAN TUGAS SERTA KEWAJIBAN BRAHMACĀRI MENURUT VEDA         
Oleh : Ni Nyoman Purnami, S.Ag., M.Ag.

A. Pendahuluan
        Kehidupan Aguron-guron atau Asewaka Guru untuk menjadi calon siswa kerohanian dalam agama Hindu  erat kaitannya dengan Catur Āśrama atau empat tingkat masa kehidupan. Dalam Agastya Parwa disebutkan bahwa, yang bernama  Catur Āśrama  ialah Brahmacāri, Grhasta, Wānaprastha, dan Bhiksuka. Brahmacāri  yaitu orang yang sedang menuntut ilmu pengetahuan. Sang Yogiśwara beliau Brahmacāri  di dalam berbagai ilmu (Śastrāntara), di dalam pengertian ilmu (Śāstrajna). Setelah puas mendalami semua ilmu yang dikehendaki, lalu beliau memasuki Grhastha yaitu mempunyai istri, anak  atau pelayan dan sebagainya, memupuk kebajikan yang berhubungan dengan diri pribadi (kāyikadharma) dengan kekuatan yang ada padanya (yathāśakti) (dalam Punyatmadja, 1992 : 11).
        Setelah dilakukannya Dharma Grhasta, lalu beliau memasuki Wānaprastha dengan meninggalkan desa pergi ke hutan mendirikan pertapaan sebagai tempat melakukan Pancakarma dan mengurangi nafsu keduniawian serta mengajarkan ajaran kerohanian. Setelah masa Wānaprastha dilewatkan akhirnya beliau memasuki Bhiksuka, dengan melepaskan segala keterikatan terhadap kehidupan keduniawian serta merasa tidak berpengetahuan.
            Bagian dari Catur Āśrama  yang erat kaitannya dengan Aguron-guron (kehidupan berguru) adalah masa Brahmacāri yaitu masa menuntut ilmu dan mendidik diri untuk mencapai kersempurnaan rohani. Berkaitan dengan hal ini,  Jābālaśrūti juga menyebutkan demikian : “Setelah tamat Brahmacāri, hendaklah menjadi Grhastha. Setelah menjadi Grhastha hendaklah menjadi Wanāprastha. Setelah menjadi Wanāprastha hendaklah menjadi Sannyasa (Bhiksuka); atau dari Brahmacāri langsung menjadi Sannyasa” (Ibid, 1992 : 19).

B.  Kedudukan Brahmacāri menurut Veda
            Brahmacāri adalah hidup dalam perkembangan dan pendidikan spiritual. Veda menyebutkan  bahwa Brahmacāri adalah mendahului pengetahuan ke-Ilahi-an dan hal-hal lain yang lebih tinggi dalam agama.
            pūrvo jāto brahman̩o brahmacāri gharmam̍ vasānas tapasodatis̩t̩hat, tasmāj jātam̍ brāhman̩am̍ brahma jyes̩t̩ham̍ devāśca sarve amr̩tena sākam.
                                                                                                        (Atharvaveda XI. 5. 5).
            Brahmacārin (siswa pengetahuan spiritual), yang lahir sebelum Brahman (pengetahuan spiritual), yang melakukan persembahan, yang melaksanakan disiplin spiritual (tapas); dari pribadinya timbul (terdapat wahyu) kebijaksanaan suci, (ilmu pengetahuan tentang) Brahman tertinggi dan Yang bersinar dengan kehidupan yang abadi” (Bose, 1999 : 100).

            Brahmacārya merupakan pelajar dalam tahap pembinaan dalam pengetahuan dan proses pengembangan kecerdasan dan moral. Tahap ini merupakan jenjang sistematis dari disiplin diri dan pendidikan untuk mencapai tingkat kehidupan spiritual yang lebih tinggi. Dalam istilah yang lebih khusus lagi, jenjang ini merupakan proses budaya diri dan sublimasi kecenderungan-kecenderungan seksual yang dilaksanakan oleh para siswa zaman dahulu yang bertujuan mempelajari ilmu pengetahuan Veda dan spiritual.
Mantram Atharvaveda tersebut menyajikan uraian yang panjang lebar pada kemuliaan kehidupan Brahmacārin. Hal ini merupakan pandangan Jñāna Yoga (jalan pengetahuan).  Dengan cara seperti itulah Jalan Ilmu Pengetahuan menurut Veda membawa pada konsep program kehidupan (āśrama vibhāga) “empat jenjang” atau yang lazim disebut dengan catur āśrama, di mana jenjang pertama meliputi pembinaan budaya diri (brahmacārya) yang sistematis. Dalam pembinaan budaya diri ini seseorang menjalani latihan-latihan untuk membangkitkan daya  spiritual yang ada di dalam dirinya sekaligus melatih ketrampilan fisik yang merupakan harta karun abadi yang dimiliki oleh seseorang. Hal ini dijelaskan dalam Atharvaveda sebagai berikut :
            arvāg anyah̩ paso anyo divas pr̩s̩t̩hāt guhā nidhī nihitau brāhman̩asya, tau raks̩ati tapasā brahmacārī tat kevalam̍ kr̩n̩ute brahma vidvān.
                                                                                                     (Atharvaveda XI. 5. 10).

            “Satu di sini, yang lain di alam lain; Dua harta karun sakral jaman dahulu tetap tersembunyi. Brahmacārin melindungi kedua-duanya dengan daya spiritualnya(tapas). Dengan mengetahui Brahman ia menjadikan semua itu miliknya” (Bose, 1999 : 101).

            Atharvaveda menjelaskan bahwa kedua bidang pengetahuan yaitu parā ‘tak terbatas’ (pengetahuan spiritual) dan aparā ‘yang terbatas (pengetahuan duniawi) adalah pengetahuan yang dipelajari oleh siswa spiritual. Keduanya itu adalah mistik (guhānihitau) yang mempengaruhi agama dan memerlukan kemantapan spiritual untuk mencapainya.
            Dalam masa Brahmacāri seorang siswa tidak hanya melulu diajarkan masalah spiritual saja, namun berbagai ketrampilan ilmu duniawi juga dipelajari dan dilatih. Sebagai bukti nyata di zaman ini seorang yogi besar yang menguasai parā dan aparā vidya yang terpadu  secara sempurna adalah Swāmī Rāma. Swāmī Rāma  yaitu salah seorang dari sekian banyak yogi yang telah mendapat pencerahan di bawah bimbingan para rsi atau yogi-yogi yang ada di Himalaya. Swāmī Rāma  adalah seorang pendeta dalam jajaran keturunan Śankarācārya, ia memiliki kedudukan yang tertinggi, dimana ia menarik diri dan melanjutkan tradisi Himalaya.        
Ia telah menyucikan hidupnya dengan menjalani disiplin spiritual yang ketat dan mengendalikan pikiran, perkataan dan perbuatannya melalui yoga. Ia adalah orang yang sangat hebat.  Kehidupannya adalah seperti kata, “Yoga yaitu tindakan yang sangat terampil”, dan ia membuktikan semua ilmu dan seni terbuka bagi yogi yang sempurna. Ia bukan saja seorang yogi yang seniman, ia juga adalah seorang filsuf yang telah menulis empat puluh lima buku, seorang penyair yang menterjemahkan sebuah epos dalam tiga bulan, seorang ilmuwan yang pada tahun 1970 yang menawarkan dirinya sebagai bahan percobaan di Yayasan Menninger di Amerika Serikat, Seorang ahli homeopathy dan Pengobatan Ayurveda, demikian juga olah tubuh, seorang arsitek, seorang pematung, pelukis, musisi, pelatih-anjing seorang pelatih kuda, seorang ahli holtikultura, dan lebih banyak lagi. Ia seorang pakar kemanusiaan yang mendirikan Himalayan International Institute of Yoga Science and Philosophy dan empat tahun kemudian ia mendirikan Kota Pengobatan dengan salah satu rumah-sakit di India. Di sana ia memberikan bimbingan tentang pembedahan pada para dokter yang berlatih di sana.
            Bagi yang membaca kisah kehidupan Swāmī Rāma  merupakan sebuah kisah nyata tentang suatu usaha seorang insan dan kuasa di tangan Tuhan. Usaha pencarian dan pendakian spiritual yang dilakukan oleh seorang serta campur tangan Tuhan dalam penetuan karma seseorang. Ini adalah sebuah kisah yang dimiliki oleh Swāmī Rāma. Ia lahir pada tahun 1925 dan tahun 1996, saat ia bersiap-siap untuk meninggalkan tubuhnya, ia meninggalkan sebuah instruksi yang sangat ketat kepada para muridnya bahwa tidak ada yang boleh membangun tempat suci atau melakukan sesuatu untuk memperingati dirinya.
            Apa yang telah dicapai oleh Swāmī Rāma  merupakan satu bukti nyata dari kebesaran dan keagungan jiwa dari seorang suci, jiwa seorang yogi atau seorang pendeta yang sejati. Apa yang telah diperolehnya adalah tak lepas dari ketaatannya  menjalani kehidupan brahmacāri dan melaksanakan yoga sepanjang hidupnya. Bila seseorang benar-benar mengamalkan apa yang diisyaratkan oleh Veda maka ia akan mencapai hasil seperti yang dijanjikan oleh Veda itu sendiri. Swāmī Rāma  berpegang teguh dalam kehidupan brahmacāri. Dengan kekuatan brahmacāri tersebut seorang suci dapat meraih cita-cita tertinggi.
            … brahmacāri siñcati sānau retah̩ pr̩thivyām̍ tena jīvanti pradiśaś catasrah̩.              
                                                                                                      (Atharvaveda XI. 5. 12).
            “Brahmacārin menggunakan daya kejantanannya di permukaan bumi ini, dan dengan demikian alam semesta ini tegak berdiri” (Bose, 1999 : 102).

        Hal ini menyatakan bahwa manusia yang memiliki pencerahan dan budaya spiritual merupakan pusat kehidupan yang lebih mulia. Dari dirinya memancar daya dan inspirasi spiritual. Dinyatakan bahwa bumi ini tegak berdiri adalah karena kekuatan dari brahmacāri.  Namun sebelum seseorang mulai menginjakkan kakinya dalam memasuki masa brahmacāri, yaitu masa perkembangan dan pendidikan spiritual, Veda menetapkan suatu proses dan tahapan-tahapan yang harus dilalui. Pada tahap awal akan memasuki masa brahmacāri seorang guru akan memberi dīks̩a atau inisiasi kepada calon siswanya.
            Setelah melaksanakan dīks̩a, seorang brahmacāri mulai melaksanakan tapas sebagai langkah selanjutnya. Tapas adalah usaha yang tak kenal lelah untuk mencapai yang lebih tinggi. Tapas merupakan awal dari segala sesuatu yang mulia. Kebenaran dan ketertiban, dikatakan berawal dari usaha spiritual yang sempurna (tapas).
            brahmacaryen̩a tapasā rājā rās̩t̩ram̍ vi raks̩ati,
ācāryo brahmacaryen̩a brahmacārin̩am icchate.
            brahmacaryen̩a kanyā yuvānam̍ vindate patim…
           
                                                                                                 (Atharvaveda XI. 5. 17-18).
            “Dengan disiplin (tapas) brahmacarya raja melindungi kerajaannya;
            Dengan disiplin brahmacarya guru mengharap keberhasilan siswanya;
Dengan disiplin brahmacarya seorang gadis mendapat suami yang tampan”  (Bose, 1999 : 103).

            Sifat yang mulia pada seseorang, yaitu kemampuan batinnya, menurut Veda merupakan hasil kegiatan brahmacarya. Dalam jaman Veda  wanita juga mendapat budaya yang lebih tinggi ini. Istilah ‘brahmacarya’ juga diartikan sebagai ‘masa mempelajari Veda’ (Whitney dalam Bose, 1999 : 103).
            Meskipun dikatakan bahwa dikalangan penganut ortodoks Hindu di India, wanita tiada mempunyai hak untuk menginjak alam Brahmacari dan menjadi Dwijāti, namun di zaman  Veda hak itu ada. Tokoh-tokoh wanita seperti Gārgi, Maitreyi, Kātyāyanī, Sarangi, Sulabha, Viśvaveda dan yang lain-lainnya adalah ahli dalam Brahmajñāna pada zaman Veda (Kasturi, 1998 : 55). Dan di Bali sendiri wanita biasa ditasbihkan (Diksa) dan menjadi Dwijāti.
            Dengan demikian, siapapun yang menginginkan kehidupan berarti harus menjadi brahmacāri. Dinyatakan lagi bahwa para raja atau pemimpin pun hanya bisa melindungi negara (rās̩t̩ra) melalui tapas atau kekuatan sebagai brahmacarya. Demikian juga para yogi serta ācārya menginginkan murid melalui brahmacarya. Mereka pertama-tama harus membuktikan diri sendiri mampu sebagai brahmacāri dan setelah itu baru mereka boleh mengajar  muridnya.  Gadis remaja mendapatkan suami muda juga melalui brahmacarya.
            Dari uraian diatas, jelas terlihat begitu pentingnya melaksanakan brahmacāri. Dalam Veda dijelaskan bahwa jika seorang  raja/pemimpin negara dan seorang guru bisa memahami makna brahmacāri, mereka akan bisa melindungi negara dan mengajar dengan baik. Sebaliknya jika tidak bisa memahami makna brahmacāri, mereka akan gagal melindungi negara, dan selanjutnya mereka akan hancur. Mengapa demikian, karena seorang pemimpin negara akan menjadi contoh bagi masyarakat, demikian juga seorang guru merupakan panutan dari anak didiknya, setelah itu barulah masyarakat akan mengikuti pemimpin dan murid mengikuti guru.
            śraddhāyā duhitā tapaso ‘dhijtā svasā r̩s̩īn̩ām̍ bhūtakr̩tām̍ babhūva,
            sā no mekhale matim ā dhehi meghām atho no dhehi tapa indriyam̍ ca.
                                                                                                    (Atharvaveda VI. 133. 4).
            “Ia (pengikat barahmacārin) telah menjadi putri Keyakinan, yang lahir dari disiplin spiritual, dan saudara dari r̩s̩i (orang bijak) penegak dunia. Dengan demikian, wahai sang Pengikat (Tuhan)! Berilah kami kemampuan berpikir dan bakat serta kekuatan spiritual dan keberanian mental” (Bose, 1999: 104).
            Pengikat merupakan  bagian seragam dari siswa Veda (yang menjalankan masa brahmacarya) di India zaman purba. Pengikat itu melambangkan  ‘śraddhā’ atau keyakinan akan nilai-nilai spiritual, dan pendidikan yang membantu kecerdasan dan perkembangan spiritual para r̩s̩i, yang menegakkan dunia dengan cita-cita mulia.
            brahmacaryen̩a tapasā devā mrtyum apāghnata,
            indro ha brahmacaryen̩a devebhyah̩ svar ābharat.
                                                                                                      (Atharvaveda XI. 5. 19).
            “Dengan kekuatan brahmacāri para dewa bertapa dan mengalahkan kematian. Dengan brahmacāri pula, Dewa Indra mendapatkan amr̩ta untuk para dewa-dewa” (Somvir, 2001 : 57).
            Dari mantram-mantram Veda tersebut di atas dijelaskan tentang keagungan dan keutamaan brahmacāri.  Secara tata bahasa,  dalam brahmacāri ada kata brahm yang berarti Tuhan dan cāri seorang yang ingin mencari. Jadi brahmacāri berarti seseorang yang ingin mencari Tuhan. Untuk itu, hampir dalam semua buku suci Veda, Upanisad dan lain-lainnya disarankan supaya pada masa brahmacāri seseorang harus mengendalikan sepuluh indera dan pikiran, supaya bisa mendapatkan ojas (cahaya) dengan melaksanakan tapa (Somvir, 2001 : 57). Swami Dayānanda Saraswatī menjelaskan seseorang yang bisa mengendalikan indera-indera tersebut adalah brahmacāri (dalam Somvir, 2001 : 58).
 Hampir dalam seluruh Veda keagungan brahmacāri dijelaskan. “Sesungguhnya Indra memberikan cahaya pada para dewa melalui brahmacarya” (Bose, 1999 : 49). Lebih lanjut dalam Atharvaveda dijelaskan “… tasmin devāh̩ sam̍ manaso bhavanti.”  Yang berarti bahwa semua dewa tinggal dalam brahmacāri dan “sa dādhāra pr̩thivīm̍ divam̍ ca” (Atharvaveda 11.5.1) yang berarti seorang brahmacāri dapat menguasai angkasa dan bumi. Dalam mantra di atas dijelaskan bahwa para dewa melaksanakan brahmacārya dan mampu mengalahkan kematian. Dewa Indra dengan kekuatan brahmacārya mendapatkan ānanda/amr̩ta yang diberikan kepada para dewa, yang nantinya menjadi kekal (Somvir, 2001 : 58 cf. Titib, 1996 : 393). Sesungguhnya Indra memberikan cahaya pada para dewa melalui brahmacārya. Dan brahmacārya terletak pada pusat Ilahi. “Yang Bersinar menghindari kematian dengan tapas brahmacārya. Setelah mandi (snātah̩), brahmacāri cerah berkilauan, menerangi dunia (Bose, 1999 : 49).
Brahmacāri yang diuraikan di atas adalah merupakan disiplin jasmani dan rohani dalam usaha pencarian kelayakan terhadap pengetahuan Veda. Dengan demikian, siapa pun yang menginginkan kehidupannya berarti harus menjadi brahmacāri.  
            Dalam Atharva Veda secara rinci diuraikan karakter dari brahmacāri (Ath. XI. 5). ‘Ia memuaskan sang ācārya dengan tapas’. ‘Dengan kayu suci (samidh), sabuk suci (mekhalā) dan kerja keras, brahmacāri memuaskan dunia. ‘Dengan tapas-nya ia meningkat terselimuti cahaya spiritual’. Pemuda mengawali karir intelektual dan spiritual dan setelah berumur dua puluh empat tahun, pemuda yang telah matang itu kembali ke masyarakat dengan baju serta kemampuan baru. ‘Brahmacāri menyempurnakan diri dengan samidh (kegiatan spiritual yang dilakukan dengan membakar kayu suci),  mengenakan pakaian kulit antilop hitam, diinisiasi (dīks̩ita), memelihara janggut : ia segera muncul (seperti matahari) dari laut timur ke laut utara dan dengan mengumpulkan orang ia segera membuktikan dirinya sendiri’. Daya kreatif yang dipupuk selama masa pematangan yang lama digunakan pada bidang spiritual : yang digerakkan oleh daya kreatif  ‘kehidupan semesta’-nya  (Bose, 1999 : 49).    
Dalam kitab Veda cita-cita brahmacārya dimaksudkan untuk persiapan awal kehidupan dan bukan untuk selama hidup. Brahmacāri adalah masa belajar, menuntut ilmu pengetahuan utamanya ilmu pengetahuan tentang ketuhanan (spiritual). Kata brahmacāri sering dijabarkan melalui pernyataan berikut : brahmacarati iti brahmacāri, mereka yang berkecimpung di bidang pengetahuan (mencari ilmu pengetahuan) disebut Brahmacāri (Titib, 1996 : 292). Pernyataan ini memperkuat pengertian kita tentang Brahmacāri. Seorang brahmacāri yang mampu mengendalikan dirinya (dari dorongan nafsu seks) dinyatakan memiliki kekuatan suci (cahaya) kedewataan.
Bila kita perhatikan tentang konsep-konsep  yang ada di dalam kitab suci Veda maupun śāstra-śāstra lainnya,  dīks̩a (inisiasi) tersebut dilakukan pada masa brahmacāri yaitu ketika seorang anak akan memulai tahapan belajar ilmu pengetahuan di bawah bimbingan seorang guru.
Seseorang dengan memiliki ilmu pengetahuan (jñāna) akan memperoleh kesejahteraan, ketenangan dan kebahagiaan. Ilmu pengetahuan memberikan bimbingan, pertimbangan terhadap yang baik dan buruk. Menghindarkan diri dari perbuatan yang buruk karena kegelapan senantiasa diamanatkan di dalam Veda.
Pengetahuan kerohaniaan, seperti halnya pengetahuan umumnya hanya dapat diperoleh melalui pendidikan. Dan Veda, menanamkan tentang disiplin jasmani maupun rohani mulai sejak masa kanak-kanak. Maksudnya adalah semua ilmu pengetahuan jasmani maupun rohani dan disiplin fisik maupun mental yang didapat pada masa brahmacāri adalah dipersiapkan sebagai bekal untuk memasuki tahapan hidup atau aśrama berikutnya.


C.  Tugas dan kewajiban Brahmacārin/ Brahmacārini
            Seorang brahmacārin/brahmacārini atau siswa/i menurut Veda (dalam Titib, 1996 : 437-439) memiliki beberapa tugas dan kewajiban yang harus dilaksanakan meliputi :
1.   Pertajamlah intelek-intelekmu.
            Śiśīhi mā śiśayam̍ tvā śr̩n̩omi.
                                                                                                                (R̩gveda X. 42. 3).
            “Wahai para guru, pertajamlah intelek-ku, aku dengar ajaran-ajaranmu dengan penuh perhatian.”

2.   Milikilah ingatan yang kuat.

            Mayyevāstu mayi śrutam.
                                                                                                           (Atharvaveda I. 1. 2).
            “Wahai para guru, semoga kami mempunyai ingatan yang kuat.”

3.   Ikutilah jalanan ajaran-ajaran Veda.

            Sam̍ śrutena gamemahi, mā śrutena vi rādhis̩i.
                                                                                                           (Atharvaveda I. 1. 4).
            “Wahai para guru, semoga kami mengikuti jalan ajaran-ajaran Veda. Kami seharusnya tidak mengabaiakn ajaran-ajaran itu.”

4.   Milikilah pikiran yang tekun.

            Apnasvatī mama dhīr astu śakra.
                                                                                                                (R̩gveda X. 42. 3).
            “Ya Tuhan Yang Maha Esa, semoga kami memiliki intelek yang tekun (aktif).”

5.   Siswa haruslah punya keingintahuan.
            Tān uśato vi bodhaya.
                                                                                                                  (R̩gveda I.12. 4).
            “Seorang guru seharusnya mencerahkan pikiran para siswa yang ingin tahu tersebut.”


            Sa śakra śiksa puruhūta no dhiyā.
                                                                                                             (R̩gveda VIII. 4.15).
            “Ya Tuhan Yang Maha Esa, tanamkanlah pengetahuan kepada kami dan berkahilah kami dengan intelek yang mulia.”

6.   Bimbinglah  kami ke jalan yang mulia.
            Sugān pathah̩ kr̩n̩uhi devayānān.
                                                                                                                (R̩gveda V. 51. 5).
            “Ya, Guru bimbinglah kami ke jalan yang mulia dan buatlah jalan itu lancer (mulus).”

7.   Penuh perhatianlah.

            Viprāso na manmabhih̩ svādhyah̩
                                                                                                              (R̩gveda X. 78. 14).
            “Para sarjana menjadi penuh perhatian dengan cara yang bijaksana.”

8.   Senangkanlah gurumu dengan ketaatan.
            Śumbhanti vipram̍ dhītibhih̩.
                                                                                                              (R̩gveda IX. 40. 1).
            “Mereka menyenangkan guru dengan ketaatan.”

9.   Ulangilah pelajaranmu.
                                                                                                                       
Śāktasyeva vadati śiks̩amān̩ah̩.
                                                                                                           (R̩gveda VII. 103. 5).
            “Seorang siswa menghafalkan pelajarannya seperti diajarkan (diinstruksikan) oleh guru.”

10.  Bagunlah pagi-pagi.

            Viśvān devān us̩arbudhah̩.
                                                                                                                 (R̩gveda I. 14. 9).
            “Orang yang bangun pagi-pagi, menyenangkan para dewa.”

11.  Jangan mengatuk (malas) dan banyak bicara.

            Mā no nidrā īśata mota jalpih̩
                                                                                                          (R̩gveda VIII. 48. 14). 
            “Hendaknyalah kami tidak dikuasai oleh tidur dan banyak bicara.”

            Seorang brahmacārin/brahmacārini hendaknya tiada henti-hentinya mempertajam intelek, memiliki ingatan yang kuat (melalui latihan), mengikuti ajaran suci Veda, memiliki ketekunan dan keingintahuan, melatih konsentrasi (penuh perhatian), menyenangkan hati guru (dengan mematuhi perintahnya), mengulang-ulangi pelajaran, jangan mengatuk (karena sebelumnya kurang tidur), malas dan banyak bicara (kosong).