Minggu, 20 Maret 2011

KEDUDUKAN DAN TUGAS SERTA KEWAJIBAN BRAHMACĀRI MENURUT VEDA

        
Oleh : Ni Nyoman Purnami

A. Pendahuluan
        Kehidupan Aguron-guron atau Asewaka Guru untuk menjadi calon siswa kerohanian dalam agama Hindu  erat kaitannya dengan Catur Āśrama atau empat tingkat masa kehidupan. Dalam Agastya Parwa disebutkan bahwa, yang bernama  Catur Āśrama  ialah Brahmacāri, Grhasta, Wānaprastha, dan Bhiksuka. Brahmacāri  yaitu orang yang sedang menuntut ilmu pengetahuan. Sang Yogiśwara beliau Brahmacāri  di dalam berbagai ilmu (Śastrāntara), di dalam pengertian ilmu (Śāstrajna). Setelah puas mendalami semua ilmu yang dikehendaki, lalu beliau memasuki Grhastha yaitu mempunyai istri, anak  atau pelayan dan sebagainya, memupuk kebajikan yang berhubungan dengan diri pribadi (kāyikadharma) dengan kekuatan yang ada padanya (yathāśakti) (dalam Punyatmadja, 1992 : 11).
        Setelah dilakukannya Dharma Grhasta, lalu beliau memasuki Wānaprastha dengan meninggalkan desa pergi ke hutan mendirikan pertapaan sebagai tempat melakukan Pancakarma dan mengurangi nafsu keduniawian serta mengajarkan ajaran kerohanian. Setelah masa Wānaprastha dilewatkan akhirnya beliau memasuki Bhiksuka, dengan melepaskan segala keterikatan terhadap kehidupan keduniawian serta merasa tidak berpengetahuan.
            Bagian dari Catur Āśrama  yang erat kaitannya dengan Aguron-guron (kehidupan berguru) adalah masa Brahmacāri yaitu masa menuntut ilmu dan mendidik diri untuk mencapai kersempurnaan rohani. Berkaitan dengan hal ini,  Jābālaśrūti juga menyebutkan demikian : “Setelah tamat Brahmacāri, hendaklah menjadi Grhastha. Setelah menjadi Grhastha hendaklah menjadi Wanāprastha. Setelah menjadi Wanāprastha hendaklah menjadi Sannyasa (Bhiksuka); atau dari Brahmacāri langsung menjadi Sannyasa” (Ibid, 1992 : 19).

B.  Kedudukan Brahmacāri menurut Veda
            Brahmacāri adalah hidup dalam perkembangan dan pendidikan spiritual. Veda menyebutkan  bahwa Brahmacāri adalah mendahului pengetahuan ke-Ilahi-an dan hal-hal lain yang lebih tinggi dalam agama.
            pūrvo jāto brahman̩o brahmacāri gharmam̍ vasānas tapasodatis̩t̩hat, tasmāj jātam̍ brāhman̩am̍ brahma jyes̩t̩ham̍ devāśca sarve amr̩tena sākam.
                                                                                                        (Atharvaveda XI. 5. 5).
            Brahmacārin (siswa pengetahuan spiritual), yang lahir sebelum Brahman (pengetahuan spiritual), yang melakukan persembahan, yang melaksanakan disiplin spiritual (tapas); dari pribadinya timbul (terdapat wahyu) kebijaksanaan suci, (ilmu pengetahuan tentang) Brahman tertinggi dan Yang bersinar dengan kehidupan yang abadi” (Bose, 1999 : 100).

            Brahmacārya merupakan pelajar dalam tahap pembinaan dalam pengetahuan dan proses pengembangan kecerdasan dan moral. Tahap ini merupakan jenjang sistematis dari disiplin diri dan pendidikan untuk mencapai tingkat kehidupan spiritual yang lebih tinggi. Dalam istilah yang lebih khusus lagi, jenjang ini merupakan proses budaya diri dan sublimasi kecenderungan-kecenderungan seksual yang dilaksanakan oleh para siswa zaman dahulu yang bertujuan mempelajari ilmu pengetahuan Veda dan spiritual.
Mantram Atharvaveda tersebut menyajikan uraian yang panjang lebar pada kemuliaan kehidupan Brahmacārin. Hal ini merupakan pandangan Jñāna Yoga (jalan pengetahuan).  Dengan cara seperti itulah Jalan Ilmu Pengetahuan menurut Veda membawa pada konsep program kehidupan (āśrama vibhāga) “empat jenjang” atau yang lazim disebut dengan catur āśrama, di mana jenjang pertama meliputi pembinaan budaya diri (brahmacārya) yang sistematis. Dalam pembinaan budaya diri ini seseorang menjalani latihan-latihan untuk membangkitkan daya  spiritual yang ada di dalam dirinya sekaligus melatih ketrampilan fisik yang merupakan harta karun abadi yang dimiliki oleh seseorang. Hal ini dijelaskan dalam Atharvaveda sebagai berikut :
            arvāg anyah̩ paso anyo divas pr̩s̩t̩hāt guhā nidhī nihitau brāhman̩asya, tau raks̩ati tapasā brahmacārī tat kevalam̍ kr̩n̩ute brahma vidvān.
                                                                                                     (Atharvaveda XI. 5. 10).

            “Satu di sini, yang lain di alam lain; Dua harta karun sakral jaman dahulu tetap tersembunyi. Brahmacārin melindungi kedua-duanya dengan daya spiritualnya(tapas). Dengan mengetahui Brahman ia menjadikan semua itu miliknya” (Bose, 1999 : 101).

            Atharvaveda menjelaskan bahwa kedua bidang pengetahuan yaitu parā ‘tak terbatas’ (pengetahuan spiritual) dan aparā ‘yang terbatas (pengetahuan duniawi) adalah pengetahuan yang dipelajari oleh siswa spiritual. Keduanya itu adalah mistik (guhānihitau) yang mempengaruhi agama dan memerlukan kemantapan spiritual untuk mencapainya.
            Dalam masa Brahmacāri seorang siswa tidak hanya melulu diajarkan masalah spiritual saja, namun berbagai ketrampilan ilmu duniawi juga dipelajari dan dilatih. Sebagai bukti nyata di zaman ini seorang yogi besar yang menguasai parā dan aparā vidya yang terpadu  secara sempurna adalah Swāmī Rāma. Swāmī Rāma  yaitu salah seorang dari sekian banyak yogi yang telah mendapat pencerahan di bawah bimbingan para rsi atau yogi-yogi yang ada di Himalaya. Swāmī Rāma  adalah seorang pendeta dalam jajaran keturunan Śankarācārya, ia memiliki kedudukan yang tertinggi, dimana ia menarik diri dan melanjutkan tradisi Himalaya.        
Ia telah menyucikan hidupnya dengan menjalani disiplin spiritual yang ketat dan mengendalikan pikiran, perkataan dan perbuatannya melalui yoga. Ia adalah orang yang sangat hebat.  Kehidupannya adalah seperti kata, “Yoga yaitu tindakan yang sangat terampil”, dan ia membuktikan semua ilmu dan seni terbuka bagi yogi yang sempurna. Ia bukan saja seorang yogi yang seniman, ia juga adalah seorang filsuf yang telah menulis empat puluh lima buku, seorang penyair yang menterjemahkan sebuah epos dalam tiga bulan, seorang ilmuwan yang pada tahun 1970 yang menawarkan dirinya sebagai bahan percobaan di Yayasan Menninger di Amerika Serikat, Seorang ahli homeopathy dan Pengobatan Ayurveda, demikian juga olah tubuh, seorang arsitek, seorang pematung, pelukis, musisi, pelatih-anjing seorang pelatih kuda, seorang ahli holtikultura, dan lebih banyak lagi. Ia seorang pakar kemanusiaan yang mendirikan Himalayan International Institute of Yoga Science and Philosophy dan empat tahun kemudian ia mendirikan Kota Pengobatan dengan salah satu rumah-sakit di India. Di sana ia memberikan bimbingan tentang pembedahan pada para dokter yang berlatih di sana.
            Bagi yang membaca kisah kehidupan Swāmī Rāma  merupakan sebuah kisah nyata tentang suatu usaha seorang insan dan kuasa di tangan Tuhan. Usaha pencarian dan pendakian spiritual yang dilakukan oleh seorang serta campur tangan Tuhan dalam penetuan karma seseorang. Ini adalah sebuah kisah yang dimiliki oleh Swāmī Rāma. Ia lahir pada tahun 1925 dan tahun 1996, saat ia bersiap-siap untuk meninggalkan tubuhnya, ia meninggalkan sebuah instruksi yang sangat ketat kepada para muridnya bahwa tidak ada yang boleh membangun tempat suci atau melakukan sesuatu untuk memperingati dirinya.
            Apa yang telah dicapai oleh Swāmī Rāma  merupakan satu bukti nyata dari kebesaran dan keagungan jiwa dari seorang suci, jiwa seorang yogi atau seorang pendeta yang sejati. Apa yang telah diperolehnya adalah tak lepas dari ketaatannya  menjalani kehidupan brahmacāri dan melaksanakan yoga sepanjang hidupnya. Bila seseorang benar-benar mengamalkan apa yang diisyaratkan oleh Veda maka ia akan mencapai hasil seperti yang dijanjikan oleh Veda itu sendiri. Swāmī Rāma  berpegang teguh dalam kehidupan brahmacāri. Dengan kekuatan brahmacāri tersebut seorang suci dapat meraih cita-cita tertinggi.
            … brahmacāri siñcati sānau retah̩ pr̩thivyām̍ tena jīvanti pradiśaś catasrah̩.              
                                                                                                      (Atharvaveda XI. 5. 12).
            “Brahmacārin menggunakan daya kejantanannya di permukaan bumi ini, dan dengan demikian alam semesta ini tegak berdiri” (Bose, 1999 : 102).

        Hal ini menyatakan bahwa manusia yang memiliki pencerahan dan budaya spiritual merupakan pusat kehidupan yang lebih mulia. Dari dirinya memancar daya dan inspirasi spiritual. Dinyatakan bahwa bumi ini tegak berdiri adalah karena kekuatan dari brahmacāri.  Namun sebelum seseorang mulai menginjakkan kakinya dalam memasuki masa brahmacāri, yaitu masa perkembangan dan pendidikan spiritual, Veda menetapkan suatu proses dan tahapan-tahapan yang harus dilalui. Pada tahap awal akan memasuki masa brahmacāri seorang guru akan memberi dīks̩a atau inisiasi kepada calon siswanya.
            Setelah melaksanakan dīks̩a, seorang brahmacāri mulai melaksanakan tapas sebagai langkah selanjutnya. Tapas adalah usaha yang tak kenal lelah untuk mencapai yang lebih tinggi. Tapas merupakan awal dari segala sesuatu yang mulia. Kebenaran dan ketertiban, dikatakan berawal dari usaha spiritual yang sempurna (tapas).
            brahmacaryen̩a tapasā rājā rās̩t̩ram̍ vi raks̩ati,
ācāryo brahmacaryen̩a brahmacārin̩am icchate.
            brahmacaryen̩a kanyā yuvānam̍ vindate patim…
           
                                                                                                 (Atharvaveda XI. 5. 17-18).
            “Dengan disiplin (tapas) brahmacarya raja melindungi kerajaannya;
            Dengan disiplin brahmacarya guru mengharap keberhasilan siswanya;
Dengan disiplin brahmacarya seorang gadis mendapat suami yang tampan”  (Bose, 1999 : 103).

            Sifat yang mulia pada seseorang, yaitu kemampuan batinnya, menurut Veda merupakan hasil kegiatan brahmacarya. Dalam jaman Veda  wanita juga mendapat budaya yang lebih tinggi ini. Istilah ‘brahmacarya’ juga diartikan sebagai ‘masa mempelajari Veda’ (Whitney dalam Bose, 1999 : 103).
            Meskipun dikatakan bahwa dikalangan penganut ortodoks Hindu di India, wanita tiada mempunyai hak untuk menginjak alam Brahmacari dan menjadi Dwijāti, namun di zaman  Veda hak itu ada. Tokoh-tokoh wanita seperti Gārgi, Maitreyi, Kātyāyanī, Sarangi, Sulabha, Viśvaveda dan yang lain-lainnya adalah ahli dalam Brahmajñāna pada zaman Veda (Kasturi, 1998 : 55). Dan di Bali sendiri wanita biasa ditasbihkan (Diksa) dan menjadi Dwijāti.
            Dengan demikian, siapapun yang menginginkan kehidupan berarti harus menjadi brahmacāri. Dinyatakan lagi bahwa para raja atau pemimpin pun hanya bisa melindungi negara (rās̩t̩ra) melalui tapas atau kekuatan sebagai brahmacarya. Demikian juga para yogi serta ācārya menginginkan murid melalui brahmacarya. Mereka pertama-tama harus membuktikan diri sendiri mampu sebagai brahmacāri dan setelah itu baru mereka boleh mengajar  muridnya.  Gadis remaja mendapatkan suami muda juga melalui brahmacarya.
            Dari uraian diatas, jelas terlihat begitu pentingnya melaksanakan brahmacāri. Dalam Veda dijelaskan bahwa jika seorang  raja/pemimpin negara dan seorang guru bisa memahami makna brahmacāri, mereka akan bisa melindungi negara dan mengajar dengan baik. Sebaliknya jika tidak bisa memahami makna brahmacāri, mereka akan gagal melindungi negara, dan selanjutnya mereka akan hancur. Mengapa demikian, karena seorang pemimpin negara akan menjadi contoh bagi masyarakat, demikian juga seorang guru merupakan panutan dari anak didiknya, setelah itu barulah masyarakat akan mengikuti pemimpin dan murid mengikuti guru.
            śraddhāyā duhitā tapaso ‘dhijtā svasā r̩s̩īn̩ām̍ bhūtakr̩tām̍ babhūva,
            sā no mekhale matim ā dhehi meghām atho no dhehi tapa indriyam̍ ca.
                                                                                                    (Atharvaveda VI. 133. 4).
            “Ia (pengikat barahmacārin) telah menjadi putri Keyakinan, yang lahir dari disiplin spiritual, dan saudara dari r̩s̩i (orang bijak) penegak dunia. Dengan demikian, wahai sang Pengikat (Tuhan)! Berilah kami kemampuan berpikir dan bakat serta kekuatan spiritual dan keberanian mental” (Bose, 1999: 104).
            Pengikat merupakan  bagian seragam dari siswa Veda (yang menjalankan masa brahmacarya) di India zaman purba. Pengikat itu melambangkan  ‘śraddhā’ atau keyakinan akan nilai-nilai spiritual, dan pendidikan yang membantu kecerdasan dan perkembangan spiritual para r̩s̩i, yang menegakkan dunia dengan cita-cita mulia.
            brahmacaryen̩a tapasā devā mrtyum apāghnata,
            indro ha brahmacaryen̩a devebhyah̩ svar ābharat.
                                                                                                      (Atharvaveda XI. 5. 19).
            “Dengan kekuatan brahmacāri para dewa bertapa dan mengalahkan kematian. Dengan brahmacāri pula, Dewa Indra mendapatkan amr̩ta untuk para dewa-dewa” (Somvir, 2001 : 57).
            Dari mantram-mantram Veda tersebut di atas dijelaskan tentang keagungan dan keutamaan brahmacāri.  Secara tata bahasa,  dalam brahmacāri ada kata brahm yang berarti Tuhan dan cāri seorang yang ingin mencari. Jadi brahmacāri berarti seseorang yang ingin mencari Tuhan. Untuk itu, hampir dalam semua buku suci Veda, Upanisad dan lain-lainnya disarankan supaya pada masa brahmacāri seseorang harus mengendalikan sepuluh indera dan pikiran, supaya bisa mendapatkan ojas (cahaya) dengan melaksanakan tapa (Somvir, 2001 : 57). Swami Dayānanda Saraswatī menjelaskan seseorang yang bisa mengendalikan indera-indera tersebut adalah brahmacāri (dalam Somvir, 2001 : 58).
 Hampir dalam seluruh Veda keagungan brahmacāri dijelaskan. “Sesungguhnya Indra memberikan cahaya pada para dewa melalui brahmacarya” (Bose, 1999 : 49). Lebih lanjut dalam Atharvaveda dijelaskan “… tasmin devāh̩ sam̍ manaso bhavanti.”  Yang berarti bahwa semua dewa tinggal dalam brahmacāri dan “sa dādhāra pr̩thivīm̍ divam̍ ca” (Atharvaveda 11.5.1) yang berarti seorang brahmacāri dapat menguasai angkasa dan bumi. Dalam mantra di atas dijelaskan bahwa para dewa melaksanakan brahmacārya dan mampu mengalahkan kematian. Dewa Indra dengan kekuatan brahmacārya mendapatkan ānanda/amr̩ta yang diberikan kepada para dewa, yang nantinya menjadi kekal (Somvir, 2001 : 58 cf. Titib, 1996 : 393). Sesungguhnya Indra memberikan cahaya pada para dewa melalui brahmacārya. Dan brahmacārya terletak pada pusat Ilahi. “Yang Bersinar menghindari kematian dengan tapas brahmacārya. Setelah mandi (snātah̩), brahmacāri cerah berkilauan, menerangi dunia (Bose, 1999 : 49).
Brahmacāri yang diuraikan di atas adalah merupakan disiplin jasmani dan rohani dalam usaha pencarian kelayakan terhadap pengetahuan Veda. Dengan demikian, siapa pun yang menginginkan kehidupannya berarti harus menjadi brahmacāri.  
            Dalam Atharva Veda secara rinci diuraikan karakter dari brahmacāri (Ath. XI. 5). ‘Ia memuaskan sang ācārya dengan tapas’. ‘Dengan kayu suci (samidh), sabuk suci (mekhalā) dan kerja keras, brahmacāri memuaskan dunia. ‘Dengan tapas-nya ia meningkat terselimuti cahaya spiritual’. Pemuda mengawali karir intelektual dan spiritual dan setelah berumur dua puluh empat tahun, pemuda yang telah matang itu kembali ke masyarakat dengan baju serta kemampuan baru. ‘Brahmacāri menyempurnakan diri dengan samidh (kegiatan spiritual yang dilakukan dengan membakar kayu suci),  mengenakan pakaian kulit antilop hitam, diinisiasi (dīks̩ita), memelihara janggut : ia segera muncul (seperti matahari) dari laut timur ke laut utara dan dengan mengumpulkan orang ia segera membuktikan dirinya sendiri’. Daya kreatif yang dipupuk selama masa pematangan yang lama digunakan pada bidang spiritual : yang digerakkan oleh daya kreatif  ‘kehidupan semesta’-nya  (Bose, 1999 : 49).    
Dalam kitab Veda cita-cita brahmacārya dimaksudkan untuk persiapan awal kehidupan dan bukan untuk selama hidup. Brahmacāri adalah masa belajar, menuntut ilmu pengetahuan utamanya ilmu pengetahuan tentang ketuhanan (spiritual). Kata brahmacāri sering dijabarkan melalui pernyataan berikut : brahmacarati iti brahmacāri, mereka yang berkecimpung di bidang pengetahuan (mencari ilmu pengetahuan) disebut Brahmacāri (Titib, 1996 : 292). Pernyataan ini memperkuat pengertian kita tentang Brahmacāri. Seorang brahmacāri yang mampu mengendalikan dirinya (dari dorongan nafsu seks) dinyatakan memiliki kekuatan suci (cahaya) kedewataan.
Bila kita perhatikan tentang konsep-konsep  yang ada di dalam kitab suci Veda maupun śāstra-śāstra lainnya,  dīks̩a (inisiasi) tersebut dilakukan pada masa brahmacāri yaitu ketika seorang anak akan memulai tahapan belajar ilmu pengetahuan di bawah bimbingan seorang guru.
Seseorang dengan memiliki ilmu pengetahuan (jñāna) akan memperoleh kesejahteraan, ketenangan dan kebahagiaan. Ilmu pengetahuan memberikan bimbingan, pertimbangan terhadap yang baik dan buruk. Menghindarkan diri dari perbuatan yang buruk karena kegelapan senantiasa diamanatkan di dalam Veda.
Pengetahuan kerohaniaan, seperti halnya pengetahuan umumnya hanya dapat diperoleh melalui pendidikan. Dan Veda, menanamkan tentang disiplin jasmani maupun rohani mulai sejak masa kanak-kanak. Maksudnya adalah semua ilmu pengetahuan jasmani maupun rohani dan disiplin fisik maupun mental yang didapat pada masa brahmacāri adalah dipersiapkan sebagai bekal untuk memasuki tahapan hidup atau aśrama berikutnya.


C.  Tugas dan kewajiban Brahmacārin/ Brahmacārini
            Seorang brahmacārin/brahmacārini atau siswa/i menurut Veda (dalam Titib, 1996 : 437-439) memiliki beberapa tugas dan kewajiban yang harus dilaksanakan meliputi :
1.   Pertajamlah intelek-intelekmu.
            Śiśīhi mā śiśayam̍ tvā śr̩n̩omi.
                                                                                                                (R̩gveda X. 42. 3).
            “Wahai para guru, pertajamlah intelek-ku, aku dengar ajaran-ajaranmu dengan penuh perhatian.”

2.   Milikilah ingatan yang kuat.

            Mayyevāstu mayi śrutam.
                                                                                                           (Atharvaveda I. 1. 2).
            “Wahai para guru, semoga kami mempunyai ingatan yang kuat.”

3.   Ikutilah jalanan ajaran-ajaran Veda.

            Sam̍ śrutena gamemahi, mā śrutena vi rādhis̩i.
                                                                                                           (Atharvaveda I. 1. 4).
            “Wahai para guru, semoga kami mengikuti jalan ajaran-ajaran Veda. Kami seharusnya tidak mengabaiakn ajaran-ajaran itu.”

4.   Milikilah pikiran yang tekun.

            Apnasvatī mama dhīr astu śakra.
                                                                                                                (R̩gveda X. 42. 3).
            “Ya Tuhan Yang Maha Esa, semoga kami memiliki intelek yang tekun (aktif).”

5.   Siswa haruslah punya keingintahuan.
            Tān uśato vi bodhaya.
                                                                                                                  (R̩gveda I.12. 4).
            “Seorang guru seharusnya mencerahkan pikiran para siswa yang ingin tahu tersebut.”


            Sa śakra śiksa puruhūta no dhiyā.
                                                                                                             (R̩gveda VIII. 4.15).
            “Ya Tuhan Yang Maha Esa, tanamkanlah pengetahuan kepada kami dan berkahilah kami dengan intelek yang mulia.”

6.   Bimbinglah  kami ke jalan yang mulia.
            Sugān pathah̩ kr̩n̩uhi devayānān.
                                                                                                                (R̩gveda V. 51. 5).
            “Ya, Guru bimbinglah kami ke jalan yang mulia dan buatlah jalan itu lancer (mulus).”

7.   Penuh perhatianlah.

            Viprāso na manmabhih̩ svādhyah̩
                                                                                                              (R̩gveda X. 78. 14).
            “Para sarjana menjadi penuh perhatian dengan cara yang bijaksana.”

8.   Senangkanlah gurumu dengan ketaatan.
            Śumbhanti vipram̍ dhītibhih̩.
                                                                                                              (R̩gveda IX. 40. 1).
            “Mereka menyenangkan guru dengan ketaatan.”

9.   Ulangilah pelajaranmu.
                                                                                                                       
Śāktasyeva vadati śiks̩amān̩ah̩.
                                                                                                           (R̩gveda VII. 103. 5).
            “Seorang siswa menghafalkan pelajarannya seperti diajarkan (diinstruksikan) oleh guru.”

10.  Bagunlah pagi-pagi.

            Viśvān devān us̩arbudhah̩.
                                                                                                                 (R̩gveda I. 14. 9).
            “Orang yang bangun pagi-pagi, menyenangkan para dewa.”

11.  Jangan mengatuk (malas) dan banyak bicara.

            Mā no nidrā īśata mota jalpih̩
                                                                                                          (R̩gveda VIII. 48. 14). 
            “Hendaknyalah kami tidak dikuasai oleh tidur dan banyak bicara.”

            Seorang brahmacārin/brahmacārini hendaknya tiada henti-hentinya mempertajam intelek, memiliki ingatan yang kuat (melalui latihan), mengikuti ajaran suci Veda, memiliki ketekunan dan keingintahuan, melatih konsentrasi (penuh perhatian), menyenangkan hati guru (dengan mematuhi perintahnya), mengulang-ulangi pelajaran, jangan mengatuk (karena sebelumnya kurang tidur), malas dan banyak bicara (kosong).

KEDUDUKAN DAN TUGAS SERTA KEWAJIBAN BRAHMACĀRI MENURUT VEDA         
Oleh : Ni Nyoman Purnami, S.Ag., M.Ag.

A. Pendahuluan
        Kehidupan Aguron-guron atau Asewaka Guru untuk menjadi calon siswa kerohanian dalam agama Hindu  erat kaitannya dengan Catur Āśrama atau empat tingkat masa kehidupan. Dalam Agastya Parwa disebutkan bahwa, yang bernama  Catur Āśrama  ialah Brahmacāri, Grhasta, Wānaprastha, dan Bhiksuka. Brahmacāri  yaitu orang yang sedang menuntut ilmu pengetahuan. Sang Yogiśwara beliau Brahmacāri  di dalam berbagai ilmu (Śastrāntara), di dalam pengertian ilmu (Śāstrajna). Setelah puas mendalami semua ilmu yang dikehendaki, lalu beliau memasuki Grhastha yaitu mempunyai istri, anak  atau pelayan dan sebagainya, memupuk kebajikan yang berhubungan dengan diri pribadi (kāyikadharma) dengan kekuatan yang ada padanya (yathāśakti) (dalam Punyatmadja, 1992 : 11).
        Setelah dilakukannya Dharma Grhasta, lalu beliau memasuki Wānaprastha dengan meninggalkan desa pergi ke hutan mendirikan pertapaan sebagai tempat melakukan Pancakarma dan mengurangi nafsu keduniawian serta mengajarkan ajaran kerohanian. Setelah masa Wānaprastha dilewatkan akhirnya beliau memasuki Bhiksuka, dengan melepaskan segala keterikatan terhadap kehidupan keduniawian serta merasa tidak berpengetahuan.
            Bagian dari Catur Āśrama  yang erat kaitannya dengan Aguron-guron (kehidupan berguru) adalah masa Brahmacāri yaitu masa menuntut ilmu dan mendidik diri untuk mencapai kersempurnaan rohani. Berkaitan dengan hal ini,  Jābālaśrūti juga menyebutkan demikian : “Setelah tamat Brahmacāri, hendaklah menjadi Grhastha. Setelah menjadi Grhastha hendaklah menjadi Wanāprastha. Setelah menjadi Wanāprastha hendaklah menjadi Sannyasa (Bhiksuka); atau dari Brahmacāri langsung menjadi Sannyasa” (Ibid, 1992 : 19).

B.  Kedudukan Brahmacāri menurut Veda
            Brahmacāri adalah hidup dalam perkembangan dan pendidikan spiritual. Veda menyebutkan  bahwa Brahmacāri adalah mendahului pengetahuan ke-Ilahi-an dan hal-hal lain yang lebih tinggi dalam agama.
            pūrvo jāto brahman̩o brahmacāri gharmam̍ vasānas tapasodatis̩t̩hat, tasmāj jātam̍ brāhman̩am̍ brahma jyes̩t̩ham̍ devāśca sarve amr̩tena sākam.
                                                                                                        (Atharvaveda XI. 5. 5).
            Brahmacārin (siswa pengetahuan spiritual), yang lahir sebelum Brahman (pengetahuan spiritual), yang melakukan persembahan, yang melaksanakan disiplin spiritual (tapas); dari pribadinya timbul (terdapat wahyu) kebijaksanaan suci, (ilmu pengetahuan tentang) Brahman tertinggi dan Yang bersinar dengan kehidupan yang abadi” (Bose, 1999 : 100).

            Brahmacārya merupakan pelajar dalam tahap pembinaan dalam pengetahuan dan proses pengembangan kecerdasan dan moral. Tahap ini merupakan jenjang sistematis dari disiplin diri dan pendidikan untuk mencapai tingkat kehidupan spiritual yang lebih tinggi. Dalam istilah yang lebih khusus lagi, jenjang ini merupakan proses budaya diri dan sublimasi kecenderungan-kecenderungan seksual yang dilaksanakan oleh para siswa zaman dahulu yang bertujuan mempelajari ilmu pengetahuan Veda dan spiritual.
Mantram Atharvaveda tersebut menyajikan uraian yang panjang lebar pada kemuliaan kehidupan Brahmacārin. Hal ini merupakan pandangan Jñāna Yoga (jalan pengetahuan).  Dengan cara seperti itulah Jalan Ilmu Pengetahuan menurut Veda membawa pada konsep program kehidupan (āśrama vibhāga) “empat jenjang” atau yang lazim disebut dengan catur āśrama, di mana jenjang pertama meliputi pembinaan budaya diri (brahmacārya) yang sistematis. Dalam pembinaan budaya diri ini seseorang menjalani latihan-latihan untuk membangkitkan daya  spiritual yang ada di dalam dirinya sekaligus melatih ketrampilan fisik yang merupakan harta karun abadi yang dimiliki oleh seseorang. Hal ini dijelaskan dalam Atharvaveda sebagai berikut :
            arvāg anyah̩ paso anyo divas pr̩s̩t̩hāt guhā nidhī nihitau brāhman̩asya, tau raks̩ati tapasā brahmacārī tat kevalam̍ kr̩n̩ute brahma vidvān.
                                                                                                     (Atharvaveda XI. 5. 10).

            “Satu di sini, yang lain di alam lain; Dua harta karun sakral jaman dahulu tetap tersembunyi. Brahmacārin melindungi kedua-duanya dengan daya spiritualnya(tapas). Dengan mengetahui Brahman ia menjadikan semua itu miliknya” (Bose, 1999 : 101).

            Atharvaveda menjelaskan bahwa kedua bidang pengetahuan yaitu parā ‘tak terbatas’ (pengetahuan spiritual) dan aparā ‘yang terbatas (pengetahuan duniawi) adalah pengetahuan yang dipelajari oleh siswa spiritual. Keduanya itu adalah mistik (guhānihitau) yang mempengaruhi agama dan memerlukan kemantapan spiritual untuk mencapainya.
            Dalam masa Brahmacāri seorang siswa tidak hanya melulu diajarkan masalah spiritual saja, namun berbagai ketrampilan ilmu duniawi juga dipelajari dan dilatih. Sebagai bukti nyata di zaman ini seorang yogi besar yang menguasai parā dan aparā vidya yang terpadu  secara sempurna adalah Swāmī Rāma. Swāmī Rāma  yaitu salah seorang dari sekian banyak yogi yang telah mendapat pencerahan di bawah bimbingan para rsi atau yogi-yogi yang ada di Himalaya. Swāmī Rāma  adalah seorang pendeta dalam jajaran keturunan Śankarācārya, ia memiliki kedudukan yang tertinggi, dimana ia menarik diri dan melanjutkan tradisi Himalaya.        
Ia telah menyucikan hidupnya dengan menjalani disiplin spiritual yang ketat dan mengendalikan pikiran, perkataan dan perbuatannya melalui yoga. Ia adalah orang yang sangat hebat.  Kehidupannya adalah seperti kata, “Yoga yaitu tindakan yang sangat terampil”, dan ia membuktikan semua ilmu dan seni terbuka bagi yogi yang sempurna. Ia bukan saja seorang yogi yang seniman, ia juga adalah seorang filsuf yang telah menulis empat puluh lima buku, seorang penyair yang menterjemahkan sebuah epos dalam tiga bulan, seorang ilmuwan yang pada tahun 1970 yang menawarkan dirinya sebagai bahan percobaan di Yayasan Menninger di Amerika Serikat, Seorang ahli homeopathy dan Pengobatan Ayurveda, demikian juga olah tubuh, seorang arsitek, seorang pematung, pelukis, musisi, pelatih-anjing seorang pelatih kuda, seorang ahli holtikultura, dan lebih banyak lagi. Ia seorang pakar kemanusiaan yang mendirikan Himalayan International Institute of Yoga Science and Philosophy dan empat tahun kemudian ia mendirikan Kota Pengobatan dengan salah satu rumah-sakit di India. Di sana ia memberikan bimbingan tentang pembedahan pada para dokter yang berlatih di sana.
            Bagi yang membaca kisah kehidupan Swāmī Rāma  merupakan sebuah kisah nyata tentang suatu usaha seorang insan dan kuasa di tangan Tuhan. Usaha pencarian dan pendakian spiritual yang dilakukan oleh seorang serta campur tangan Tuhan dalam penetuan karma seseorang. Ini adalah sebuah kisah yang dimiliki oleh Swāmī Rāma. Ia lahir pada tahun 1925 dan tahun 1996, saat ia bersiap-siap untuk meninggalkan tubuhnya, ia meninggalkan sebuah instruksi yang sangat ketat kepada para muridnya bahwa tidak ada yang boleh membangun tempat suci atau melakukan sesuatu untuk memperingati dirinya.
            Apa yang telah dicapai oleh Swāmī Rāma  merupakan satu bukti nyata dari kebesaran dan keagungan jiwa dari seorang suci, jiwa seorang yogi atau seorang pendeta yang sejati. Apa yang telah diperolehnya adalah tak lepas dari ketaatannya  menjalani kehidupan brahmacāri dan melaksanakan yoga sepanjang hidupnya. Bila seseorang benar-benar mengamalkan apa yang diisyaratkan oleh Veda maka ia akan mencapai hasil seperti yang dijanjikan oleh Veda itu sendiri. Swāmī Rāma  berpegang teguh dalam kehidupan brahmacāri. Dengan kekuatan brahmacāri tersebut seorang suci dapat meraih cita-cita tertinggi.
            … brahmacāri siñcati sānau retah̩ pr̩thivyām̍ tena jīvanti pradiśaś catasrah̩.              
                                                                                                      (Atharvaveda XI. 5. 12).
            “Brahmacārin menggunakan daya kejantanannya di permukaan bumi ini, dan dengan demikian alam semesta ini tegak berdiri” (Bose, 1999 : 102).

        Hal ini menyatakan bahwa manusia yang memiliki pencerahan dan budaya spiritual merupakan pusat kehidupan yang lebih mulia. Dari dirinya memancar daya dan inspirasi spiritual. Dinyatakan bahwa bumi ini tegak berdiri adalah karena kekuatan dari brahmacāri.  Namun sebelum seseorang mulai menginjakkan kakinya dalam memasuki masa brahmacāri, yaitu masa perkembangan dan pendidikan spiritual, Veda menetapkan suatu proses dan tahapan-tahapan yang harus dilalui. Pada tahap awal akan memasuki masa brahmacāri seorang guru akan memberi dīks̩a atau inisiasi kepada calon siswanya.
            Setelah melaksanakan dīks̩a, seorang brahmacāri mulai melaksanakan tapas sebagai langkah selanjutnya. Tapas adalah usaha yang tak kenal lelah untuk mencapai yang lebih tinggi. Tapas merupakan awal dari segala sesuatu yang mulia. Kebenaran dan ketertiban, dikatakan berawal dari usaha spiritual yang sempurna (tapas).
            brahmacaryen̩a tapasā rājā rās̩t̩ram̍ vi raks̩ati,
ācāryo brahmacaryen̩a brahmacārin̩am icchate.
            brahmacaryen̩a kanyā yuvānam̍ vindate patim…
           
                                                                                                 (Atharvaveda XI. 5. 17-18).
            “Dengan disiplin (tapas) brahmacarya raja melindungi kerajaannya;
            Dengan disiplin brahmacarya guru mengharap keberhasilan siswanya;
Dengan disiplin brahmacarya seorang gadis mendapat suami yang tampan”  (Bose, 1999 : 103).

            Sifat yang mulia pada seseorang, yaitu kemampuan batinnya, menurut Veda merupakan hasil kegiatan brahmacarya. Dalam jaman Veda  wanita juga mendapat budaya yang lebih tinggi ini. Istilah ‘brahmacarya’ juga diartikan sebagai ‘masa mempelajari Veda’ (Whitney dalam Bose, 1999 : 103).
            Meskipun dikatakan bahwa dikalangan penganut ortodoks Hindu di India, wanita tiada mempunyai hak untuk menginjak alam Brahmacari dan menjadi Dwijāti, namun di zaman  Veda hak itu ada. Tokoh-tokoh wanita seperti Gārgi, Maitreyi, Kātyāyanī, Sarangi, Sulabha, Viśvaveda dan yang lain-lainnya adalah ahli dalam Brahmajñāna pada zaman Veda (Kasturi, 1998 : 55). Dan di Bali sendiri wanita biasa ditasbihkan (Diksa) dan menjadi Dwijāti.
            Dengan demikian, siapapun yang menginginkan kehidupan berarti harus menjadi brahmacāri. Dinyatakan lagi bahwa para raja atau pemimpin pun hanya bisa melindungi negara (rās̩t̩ra) melalui tapas atau kekuatan sebagai brahmacarya. Demikian juga para yogi serta ācārya menginginkan murid melalui brahmacarya. Mereka pertama-tama harus membuktikan diri sendiri mampu sebagai brahmacāri dan setelah itu baru mereka boleh mengajar  muridnya.  Gadis remaja mendapatkan suami muda juga melalui brahmacarya.
            Dari uraian diatas, jelas terlihat begitu pentingnya melaksanakan brahmacāri. Dalam Veda dijelaskan bahwa jika seorang  raja/pemimpin negara dan seorang guru bisa memahami makna brahmacāri, mereka akan bisa melindungi negara dan mengajar dengan baik. Sebaliknya jika tidak bisa memahami makna brahmacāri, mereka akan gagal melindungi negara, dan selanjutnya mereka akan hancur. Mengapa demikian, karena seorang pemimpin negara akan menjadi contoh bagi masyarakat, demikian juga seorang guru merupakan panutan dari anak didiknya, setelah itu barulah masyarakat akan mengikuti pemimpin dan murid mengikuti guru.
            śraddhāyā duhitā tapaso ‘dhijtā svasā r̩s̩īn̩ām̍ bhūtakr̩tām̍ babhūva,
            sā no mekhale matim ā dhehi meghām atho no dhehi tapa indriyam̍ ca.
                                                                                                    (Atharvaveda VI. 133. 4).
            “Ia (pengikat barahmacārin) telah menjadi putri Keyakinan, yang lahir dari disiplin spiritual, dan saudara dari r̩s̩i (orang bijak) penegak dunia. Dengan demikian, wahai sang Pengikat (Tuhan)! Berilah kami kemampuan berpikir dan bakat serta kekuatan spiritual dan keberanian mental” (Bose, 1999: 104).
            Pengikat merupakan  bagian seragam dari siswa Veda (yang menjalankan masa brahmacarya) di India zaman purba. Pengikat itu melambangkan  ‘śraddhā’ atau keyakinan akan nilai-nilai spiritual, dan pendidikan yang membantu kecerdasan dan perkembangan spiritual para r̩s̩i, yang menegakkan dunia dengan cita-cita mulia.
            brahmacaryen̩a tapasā devā mrtyum apāghnata,
            indro ha brahmacaryen̩a devebhyah̩ svar ābharat.
                                                                                                      (Atharvaveda XI. 5. 19).
            “Dengan kekuatan brahmacāri para dewa bertapa dan mengalahkan kematian. Dengan brahmacāri pula, Dewa Indra mendapatkan amr̩ta untuk para dewa-dewa” (Somvir, 2001 : 57).
            Dari mantram-mantram Veda tersebut di atas dijelaskan tentang keagungan dan keutamaan brahmacāri.  Secara tata bahasa,  dalam brahmacāri ada kata brahm yang berarti Tuhan dan cāri seorang yang ingin mencari. Jadi brahmacāri berarti seseorang yang ingin mencari Tuhan. Untuk itu, hampir dalam semua buku suci Veda, Upanisad dan lain-lainnya disarankan supaya pada masa brahmacāri seseorang harus mengendalikan sepuluh indera dan pikiran, supaya bisa mendapatkan ojas (cahaya) dengan melaksanakan tapa (Somvir, 2001 : 57). Swami Dayānanda Saraswatī menjelaskan seseorang yang bisa mengendalikan indera-indera tersebut adalah brahmacāri (dalam Somvir, 2001 : 58).
 Hampir dalam seluruh Veda keagungan brahmacāri dijelaskan. “Sesungguhnya Indra memberikan cahaya pada para dewa melalui brahmacarya” (Bose, 1999 : 49). Lebih lanjut dalam Atharvaveda dijelaskan “… tasmin devāh̩ sam̍ manaso bhavanti.”  Yang berarti bahwa semua dewa tinggal dalam brahmacāri dan “sa dādhāra pr̩thivīm̍ divam̍ ca” (Atharvaveda 11.5.1) yang berarti seorang brahmacāri dapat menguasai angkasa dan bumi. Dalam mantra di atas dijelaskan bahwa para dewa melaksanakan brahmacārya dan mampu mengalahkan kematian. Dewa Indra dengan kekuatan brahmacārya mendapatkan ānanda/amr̩ta yang diberikan kepada para dewa, yang nantinya menjadi kekal (Somvir, 2001 : 58 cf. Titib, 1996 : 393). Sesungguhnya Indra memberikan cahaya pada para dewa melalui brahmacārya. Dan brahmacārya terletak pada pusat Ilahi. “Yang Bersinar menghindari kematian dengan tapas brahmacārya. Setelah mandi (snātah̩), brahmacāri cerah berkilauan, menerangi dunia (Bose, 1999 : 49).
Brahmacāri yang diuraikan di atas adalah merupakan disiplin jasmani dan rohani dalam usaha pencarian kelayakan terhadap pengetahuan Veda. Dengan demikian, siapa pun yang menginginkan kehidupannya berarti harus menjadi brahmacāri.  
            Dalam Atharva Veda secara rinci diuraikan karakter dari brahmacāri (Ath. XI. 5). ‘Ia memuaskan sang ācārya dengan tapas’. ‘Dengan kayu suci (samidh), sabuk suci (mekhalā) dan kerja keras, brahmacāri memuaskan dunia. ‘Dengan tapas-nya ia meningkat terselimuti cahaya spiritual’. Pemuda mengawali karir intelektual dan spiritual dan setelah berumur dua puluh empat tahun, pemuda yang telah matang itu kembali ke masyarakat dengan baju serta kemampuan baru. ‘Brahmacāri menyempurnakan diri dengan samidh (kegiatan spiritual yang dilakukan dengan membakar kayu suci),  mengenakan pakaian kulit antilop hitam, diinisiasi (dīks̩ita), memelihara janggut : ia segera muncul (seperti matahari) dari laut timur ke laut utara dan dengan mengumpulkan orang ia segera membuktikan dirinya sendiri’. Daya kreatif yang dipupuk selama masa pematangan yang lama digunakan pada bidang spiritual : yang digerakkan oleh daya kreatif  ‘kehidupan semesta’-nya  (Bose, 1999 : 49).    
Dalam kitab Veda cita-cita brahmacārya dimaksudkan untuk persiapan awal kehidupan dan bukan untuk selama hidup. Brahmacāri adalah masa belajar, menuntut ilmu pengetahuan utamanya ilmu pengetahuan tentang ketuhanan (spiritual). Kata brahmacāri sering dijabarkan melalui pernyataan berikut : brahmacarati iti brahmacāri, mereka yang berkecimpung di bidang pengetahuan (mencari ilmu pengetahuan) disebut Brahmacāri (Titib, 1996 : 292). Pernyataan ini memperkuat pengertian kita tentang Brahmacāri. Seorang brahmacāri yang mampu mengendalikan dirinya (dari dorongan nafsu seks) dinyatakan memiliki kekuatan suci (cahaya) kedewataan.
Bila kita perhatikan tentang konsep-konsep  yang ada di dalam kitab suci Veda maupun śāstra-śāstra lainnya,  dīks̩a (inisiasi) tersebut dilakukan pada masa brahmacāri yaitu ketika seorang anak akan memulai tahapan belajar ilmu pengetahuan di bawah bimbingan seorang guru.
Seseorang dengan memiliki ilmu pengetahuan (jñāna) akan memperoleh kesejahteraan, ketenangan dan kebahagiaan. Ilmu pengetahuan memberikan bimbingan, pertimbangan terhadap yang baik dan buruk. Menghindarkan diri dari perbuatan yang buruk karena kegelapan senantiasa diamanatkan di dalam Veda.
Pengetahuan kerohaniaan, seperti halnya pengetahuan umumnya hanya dapat diperoleh melalui pendidikan. Dan Veda, menanamkan tentang disiplin jasmani maupun rohani mulai sejak masa kanak-kanak. Maksudnya adalah semua ilmu pengetahuan jasmani maupun rohani dan disiplin fisik maupun mental yang didapat pada masa brahmacāri adalah dipersiapkan sebagai bekal untuk memasuki tahapan hidup atau aśrama berikutnya.


C.  Tugas dan kewajiban Brahmacārin/ Brahmacārini
            Seorang brahmacārin/brahmacārini atau siswa/i menurut Veda (dalam Titib, 1996 : 437-439) memiliki beberapa tugas dan kewajiban yang harus dilaksanakan meliputi :
1.   Pertajamlah intelek-intelekmu.
            Śiśīhi mā śiśayam̍ tvā śr̩n̩omi.
                                                                                                                (R̩gveda X. 42. 3).
            “Wahai para guru, pertajamlah intelek-ku, aku dengar ajaran-ajaranmu dengan penuh perhatian.”

2.   Milikilah ingatan yang kuat.

            Mayyevāstu mayi śrutam.
                                                                                                           (Atharvaveda I. 1. 2).
            “Wahai para guru, semoga kami mempunyai ingatan yang kuat.”

3.   Ikutilah jalanan ajaran-ajaran Veda.

            Sam̍ śrutena gamemahi, mā śrutena vi rādhis̩i.
                                                                                                           (Atharvaveda I. 1. 4).
            “Wahai para guru, semoga kami mengikuti jalan ajaran-ajaran Veda. Kami seharusnya tidak mengabaiakn ajaran-ajaran itu.”

4.   Milikilah pikiran yang tekun.

            Apnasvatī mama dhīr astu śakra.
                                                                                                                (R̩gveda X. 42. 3).
            “Ya Tuhan Yang Maha Esa, semoga kami memiliki intelek yang tekun (aktif).”

5.   Siswa haruslah punya keingintahuan.
            Tān uśato vi bodhaya.
                                                                                                                  (R̩gveda I.12. 4).
            “Seorang guru seharusnya mencerahkan pikiran para siswa yang ingin tahu tersebut.”


            Sa śakra śiksa puruhūta no dhiyā.
                                                                                                             (R̩gveda VIII. 4.15).
            “Ya Tuhan Yang Maha Esa, tanamkanlah pengetahuan kepada kami dan berkahilah kami dengan intelek yang mulia.”

6.   Bimbinglah  kami ke jalan yang mulia.
            Sugān pathah̩ kr̩n̩uhi devayānān.
                                                                                                                (R̩gveda V. 51. 5).
            “Ya, Guru bimbinglah kami ke jalan yang mulia dan buatlah jalan itu lancer (mulus).”

7.   Penuh perhatianlah.

            Viprāso na manmabhih̩ svādhyah̩
                                                                                                              (R̩gveda X. 78. 14).
            “Para sarjana menjadi penuh perhatian dengan cara yang bijaksana.”

8.   Senangkanlah gurumu dengan ketaatan.
            Śumbhanti vipram̍ dhītibhih̩.
                                                                                                              (R̩gveda IX. 40. 1).
            “Mereka menyenangkan guru dengan ketaatan.”

9.   Ulangilah pelajaranmu.
                                                                                                                       
Śāktasyeva vadati śiks̩amān̩ah̩.
                                                                                                           (R̩gveda VII. 103. 5).
            “Seorang siswa menghafalkan pelajarannya seperti diajarkan (diinstruksikan) oleh guru.”

10.  Bagunlah pagi-pagi.

            Viśvān devān us̩arbudhah̩.
                                                                                                                 (R̩gveda I. 14. 9).
            “Orang yang bangun pagi-pagi, menyenangkan para dewa.”

11.  Jangan mengatuk (malas) dan banyak bicara.

            Mā no nidrā īśata mota jalpih̩
                                                                                                          (R̩gveda VIII. 48. 14). 
            “Hendaknyalah kami tidak dikuasai oleh tidur dan banyak bicara.”

            Seorang brahmacārin/brahmacārini hendaknya tiada henti-hentinya mempertajam intelek, memiliki ingatan yang kuat (melalui latihan), mengikuti ajaran suci Veda, memiliki ketekunan dan keingintahuan, melatih konsentrasi (penuh perhatian), menyenangkan hati guru (dengan mematuhi perintahnya), mengulang-ulangi pelajaran, jangan mengatuk (karena sebelumnya kurang tidur), malas dan banyak bicara (kosong).