Pendahuluan
Tujuan hidup dalam ajaran agama Hindu yaitu “Moksaartham jagaddhita ya ca iti dharma” yang artinya bahwa : tujuan hidup manusia adalah untuk kebahagiaan di dunia ini dan kehidupan di alam kebebasan dengan berlandaskan ajaran dharma” Jadi dalam adagium tersebut jelas dikatakan bahwa tujuan hidup manusia secara garis besar memiliki dua aspek yang saling berkaitan yaitu kebahagiaan semasih berada di dunia dan kebahagiaan setelah di dunia sana, di mana landasan utamanya adalah ajaran-ajaran dharma, yang dalam kitab Sarasamuscaya diibaratkan sebagai sebuah perahu untuk menyeberangi lautan samsara; dan juga seperti Sang Matahari yang dapat melenyapkan segala kegelapan.
Dua aspek tujuan yang bertolak belakang satu dengan yang lainnya kadang-kadang dapat membingungkan bagi mereka yang secara dangkal mengartikan hakekat keduanya. Oleh karena itu konsep dari catur purushartha harus benar-benar dihayati dan dipahami agar tidak terjadi benturan-benturan dalam mencapai tujuan tersebut. Tujuan hidup yang sekaligus merupakan dasar kehidupan ini adalah hal yang sangat hakiki dan bersifat universal. Di dalam mencapai tujuan itu hendaknya senantiasa berdasarkan dharma. Seperti diuraikan dalam Sarasamuscaya, 12, demikian :
“Pada hakekatnya, jika artha dan kama dituntut, maka seharusnya dharma hendaknya dilakukan lebih dulu, tak tersangsikan lagi, pasti akan diperoleh artha dan kama nanti, tidak akan ada artinya, jika artha dan kama itu diperoleh menyimpang dari dharma”.
Dan dalam Sarasamuscaya, 261, ditegaskan lagi demikian:
“…… caranya berusaha memperoleh sesuatu hendaknya berdasarkan dharma ……”
Sloka tersebut menyampaikan bahwa dalam mencapai atau mencari artha dan kama, terlebih lagi di dalam mencapai moksa, seseorang sama sekali tidak boleh mengingkari dharma. Baba (1995 : 4) menjelaskan bahwa dharma kelakuan yang benar atau kebajikan, artha harta, kama keinginan yang benar, dan moksa kebebasan dari lingkaran kelahiran dan kematian adalah keempat purushartha tujuan hidup manusia. Dengan membuang dharma yang ibarat kaki dan moksa yang dapat dibandingkan dengan kepala, manusia hanya mengejar artha dan kama sehingga mengakibatkan kekacauan dan keadaan tidak aman dalam masyarakat serta bangsa secara umum. Penyebab utama lenyapnya kedamaian dan keamanan adalah karena diabaikannya kebenaran (sathya) dan kebajikan (dharma) yang sangat dibutuhkan manusia.
Baba (1993 : 2) lebih menegaskan lagi bahwa dalam menapak kehidupan ini untuk sampai pada tujuan yang dicita-citakan dalam ajaran Hindu, setiap orang hendaknya mengetahui garis besar dharma yang terpapar dalam kitab-kitab Veda, Sastra maupun Purana. Salah pengertian akibat kurangnya kecerdasan emosi yang tidak terkendali, dan nalar yang tidak murni, telah mengakibatkan lunturnya wajah dharma dan menyurutnya kejayaannya.
Tentang keutamaan dharma itu dalam Sarasamuscaya 18 dinyatakan sebagai berikut :
“Dan keutamaan dharma itu sesungguhnya merupakan sumber datangnya kebahagiaan bagi yang melaksanakannya; lagi pula dharma itu merupakan perlindungan orang yang berilmu; tegasnya hanya dharma yang dapat melebur dosa triloka atau jagad tiga itu”.
Walmiki (dalam Lal, 1995 : ii) sebagai seorang Adi Kawi (penyair utama) juga menuangkan tentang keagungan dharma tersebut dalam karya besarnya yaitu Epos Ramayana sebagai berikut :
“Dari dharma datang sukses, dari dharma datang bahagia, dharma memberi segalanya, dharma adalah inti sari dunia”.
Bila diamati dari uraian di atas, akan diketahui bahwa Veda adalah merupakan pustaka suci yang paling kuno yang merupakan sumber segala cabang pengetahuan di dunia, dan semua dharma yang ada berlandaskan pada kebenaran yang ada di dalam Veda itu sendiri.
Jadi, agar seseorang dapat menikmati kedamaian dalam hidupnya, serta dapat mencapai tujuan akhir dari kehidupannya ia harus senantiasa mengabdikan dirinya kepada dharma dan senantiasa mengikuti serta mengamalkan dharma. Adalah tugas setiap manusia di mana pun ia berada dan pada setiap saat untuk menghormati Dharma Narayana, yakni ‘personifikasi dharma’(Baba, 1993 : 1). Tidak hanya umat manusia, bahkan burung dan marga satwa pun harus mengikuti dharma agar mereka dapat mengenyam kebahagiaan dan mampu mempertahankan hidup dengan senang dan sentosa.
Tanpa dharma, kehidupan manusia akan penuh dengan kebrutalan (yang kuat menindas yang lemah) di dalam mencapai kebahagiaan duniawi, sehingga hukum rimba akan berlaku dalam kehidupan. Dengan demikian dharma merupakan hal yang sangat penting dan bahkan sangat sentral di dalam ajaran Hindu. Dharma merupakan alat kendali manusia di dalam memenuhi keinginan dan kebutuhannya (kama) terhadap harta kekayaan dan kekuasaan (artha) sebagai sarana mencapai kebahagiaan duniawi.. Dalam hubungan dengan ini, disamping uraian Sarasamuscaya di atas, maka uraian mantram pada Atharvaveda,XX.18.3, berikut juga sangat penting untuk disimak dan dihayati maknanya :
“……. Mereka yang senantiasa sadar terhadap dharma akan mencapai kebahagiaan tertinggi” (dalam Gorda, 1997 : 14).
Kutipan mantran dan sloka di atas tersebut memberi informasi bahwa perilaku manusia di dalam mencapai tujuan hidup yang dilandasi oleh dharma akan mewujudkan suasana kebahagiaan duniawi. Bila pencapaian tujuan itu diwujudkan berdasarkan dharma secara sempurna maka akan tercapai tujuan hidup Jivan-Mukti (moksa semasih memiliki badan kasar) menuju Videha-mukti kelak setelah meninggalkan badan jasmani ini. Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa jagadhita (dharma- artha- kama) merupakan sarana menuju kebahagiaan abadi (moksa).
Jadi dharmalah yang merupakan landasan untuk mencapai kebenaran abadi adalah jalan yang harus dikuti oleh manusia. Dengan mengikuti dharma, orang akan mencapai kebebasan dari lingkaran samsara kelahiran dan kematian sebagai tujuan akhir dari kehidupan ini. Namun, bila kita perhatikan zaman sekarang, setiap orang berusaha memperoleh kekayaan, kekuasaan, harta, dan pemenuhan keinginan yang ibarat awan berlalu, sedang tidak seorang pun peduli untuk menegakkan dharma atau kebajikan yang akan membawanya menuju kebenaran abadi. Orang-orang masa kini lebih terpikat oleh modernisasi dan cenderung melupakan nilai-nilai kemanusiaan dan mereka mengabaikan sifat-sifat ketuhanan yang merupakan pembawaan dirinya sejak lahir.
Dalam kehidupan di dunia fana ini, para ahli ilmu pengetahuan material telah banyak menemukan fasilitas-fasilitas untuk memberikan kepuasan terhadap indra-indra bahkan tanpa mereka sadari juga berakibat menghancurkan peradaban umat manusia. Di satu mereka memberikan kenyamanan tetapi di sisi lainnya secara tidak kentara mereka juga menghadirkan kengerian (Maswinara, 2000 : 13).
Jaman terus bergulir menuju globalisasi membawa serta perubahan paradigma di masyarakat. Perubahan berupa pergeseran tatanan komune dalam masyarakat sosial menjadi liberal dalam masyarakat yang lebih menghargai hak-hak individual.Perubahan yang membuat permasalahan hidup menjadi semakin kompleks. Sedemikian rumit untuk diselesaikan berdasarkan superioritas. Otorita-otoritas dimasa lalu menjadi tidak mampu lagi berperan banyak. Kemampuan individu lebih lanjut menjadi penentu dalam menyelesaikan masalah (Sanjaya, 2002 : 2).
Angin puyuh kemajuan sains dan teknologi yang sangat pesat ditambah dengan industrialisasi, membawa perubahan yang tidak diinginkan dalam masyarakat, mencabut hingga ke akarnya nilai-nilai moral atau etika yang amat penting bagi kesejahteraan umat manusia. Ilmu dan teknologi tak pelak lagi telah menyumbang banyak sekali kemajuan material, tetapi bersamaan dengan itu juga telah meruntuhkan nilai-nilai rohani seperti tanpa pamrih, ketuhanan dan keluhuran yang selalu ada dalam diri manusia. Dengan kata lain, mereka telah merendahkan martabat umat manusia sedemikian rupa sehingga generasi pria dan wanita muda masa kini tidak mampu mengenali sifat mereka yang suci. Mereka menganggap sikap mementingkan diri sendiri sebagai tujuan hidup (Baba, 1995 :2).
Kini kita menyaksikan di mana agama hanya menjadi semacam “lipservice” belaka, sehingga kehancuran etika moral dan spiritual semakin besar. Oleh karena itu, untuk mengantisifasi dampak negative dari kemajuan sains dan teknologi yang sangat pesat ini merupakan tanggung jawab kita semua. Memang tidak semua orang mempunyai kepedulian terhadap masalah-masalah etika moral dan spiritual. Tetapi bagi mereka yang peduli dengan masalah ini setidaknya dapat memberikan imbas kepada orang lain untuk mengerem diri agar tidak terlalu jauh hanyut dalam glamour dunia material.
Lebih jauh Baba (1995 : 2) menekankan bahwa kebutuhan dan kewajiban utama dalam hidup manusia adalah menjadi manusiawi. Apa pun kesarjanaan, kedudukan atau wewenang kita, janganlah mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan. Kebudayaan kita (yang berlandaskan pada Pustaka suci Veda) tiada bandingnya dan sangat mengagumkan. Generasi muda masa kini terpikat oleh modernisasi dan melupakan keagungan dan kemuliaan budaya pusaka yang luhur itu. Mereka mengabaikan sifat-sifat ketuhanan yang merupakan pembawaan dirinya sejak lahir.
Keberhasilan tugas ini hanya dapat dicapai melalui Brahma Vidya (Pengetahuan tentang Brahman) (Baba, 1992 : 44). Tetapi orang kini hanya mempunyai keyakinan yang teguh dalam mencari dan mengumpulkan harta. Ia tidak dapat melepaskan atau meninggalkannya. Ia tidak percaya pada kebenaran. Ia tertarik pada kebohongan dan menganggap kebenaran sebagai penghambat. Manusia mengabaikan cara-cara untuk menyadari keabadian dalam dirinya. Ia tergila-gila pada pengetahuan mengenai dunia yang kasat mata. Mereka menyerah pada godaan yang gampang ini dapat dimisalkan seperti orang yang meninggalkan taman surgawi dan bergegas memasuki hutan tanaman beracun. Mereka menolak yang sejati (bimba), sang atma. Mereka tertarik pada bayangan (prathi bimba), pada yang kasat mata, pada hal-hal yang dapat dilihat (drsya). Sikap ini memperlihatkan bahwa mereka adalah orang-orang bodoh yang berada dalam kekaburan batin, bukannya orang yang mengetahui atau mencari kebenaran.
Agar seseorang dapat mengenali nilai-nilai kemanusiaannya yang merupakan keunggulan manusia itu sendiri dan agar dapat menemukan jati diri-nya (ketuhanan dalam dirinya) kembali, maka ia dituntut untuk arif dan bijaksana dalam memilah-milah dan memilih sesuatu yang bermanfaat bagi dirinya. Baba (1992 : 47) mengatakan bahwa manusia harus mempelajari atma vidya, yaitu proses untuk menyadari dirinya sebagai kenyataan atma. Hanya dengan mempelajari dan menghayati hal itu, ia akan dapat memuaskan dahaganya dan menolong memuaskan dahaga seluruh umat manusia.
Jadi, satu-satunya jalan yaitu seseorang harus berpaling kembali kepada Veda sebagai sumber dari Brahma vidya maupun Atma Vidya, sumber dari segala dharma yang merupakan dasar moralitas di dunia ini. Hanya dengan demikian manusia akan dapat memainkan peranannya sebaik mungkin dalam pentas panggung dunia ini dengan menegakkan dharma. Bila seseorang telah dapat mengikuti dharma dengan sempurna maka pintu menuju moksa (bersatunya atman dengan paramaatman) akan terbuka untuknya.
Hakekat Dharma
Manusia harus mengabdikan dirinya kepada dharma dan senantiasa mengikuti serta mengamalkan dharma sehingga ia dapat hidup dengan damai dan dunia pun dapat menikmati kedamaian. Manusia tidak akan pernah memperoleh kedamaian yang sejati atau memperoleh rahmat Tuhan melalui sarana apa pun juga selain kehidupan yang berdharma. Dharma adalah landasan bagi kesejahteraan umat manusia, dharma adalah kebenaran yang tidak tergoyahkan sepanjang masa. Bila dharma tidak berhasil mengubah kehidupan manusia, dunia akan dirundung penderitaan dan ketakutan, dihantam oleh berbagai badai revolusi. Bila kecemerlangan dharma gagal menerangi hubungan antar manusia, maka umat manusia akan terselubung dalam kegelapan duka dan penderitaan (Baba, 1993 : 1)
Kitab-kitab Sastra mengandung makna yang sangat mendalam. Tujuan dharma adalah membuat jiwa melepaskan kelekatannya pada alam lahiriah dan pada kekeliruan pengertian yang ditimbulkan oleh alam lahir itu. Selain itu, dharma bertujuan mengungkapkan sifat sesungguhnya dari hal-hal yang sekarang dianggap sebagai nyata oleh jiwa, agar hal itu terungkap dalam identitasnya yang sejati. Orang orang zaman sekarang betapa rendahnya memberi nilai kepada dharma. Ia lahir, dewasa, menikah, punya anak, punya harta, memiliki kedudukan, melaksanakan upacara, dan lain-lain menganggap dirinya telah melaksanakan dhrama.
Sri Bhagawan Sathya Narayana, yang oleh sebagian besar umat di dunia diyakini sebagai Avatar yang telah lahir menjelma ke dunia untuk menegakkan kembali dharma seperti apa yang diungkapkan dalam Bhagawadgita, bahwa bila kedudukan dharma merosot, dimana adharma yang merajalela, maka Tuhan sendiri dalam wujud Awatar akan turun ke dunia untuk menegakkan dharma kembali. Maka Beliau sendiri mengatakan (dalam Jendra, 1996 : 20) bahwa tugas Beliau adalah : (1) Veda phosana ‘melindungi atau menjaga Veda’, (2) Vidhvath phosana ‘melindungi orang-orang suci ahli Veda’, (3) Dharma raksaka ‘melindungi dharma’, (4) Bhakta raksaka ‘melindungi bhakta-Nya), menguraikan tentang dharma dalam wejanganan-Nya yang diberi judul Dharma Vahini (Pancaran Dharma) sebagai berikut :
“Begitu mendengar kata dharma, orang awam mengartikannya sebagai : bersedekah,memberi makan dan tempat berteduh, kepada peziarah, menekuni bidang pekerjaan tradisional atau keahlian masing-masing, membeda-bedakan antara yang benar dan yang salah, upaya menemukan diri sendiri atau jalan pikiran sendiri, perwujudan hal-hal yang sangat didambakan, dan lain-lainnya.
Tentu sudah sejak dahulu kemurnian dharma itu ternoda sehingga tidak dikenali lagi. Ladang dan pepohonan yang indah menjadi liar tidak terawat dan segera menjadi semak belukar serta hutan beronak yang tidak dapat dikenali lagi. Pepohonan yang rimbun ditebangi oleh orang-orang yang rakus dan wajah bentang alam menjadi berubah. Dengan berlalunya waktu, manusia menjadi terbiasa dengan lingkungannya yang baru dan mereka tidak merasakan atau melihat perubahan dan kemundurannya. Hal semacam ini dialami pula oleh dharma”(Baba, 1992 : 2).
Demikianlah dikatakan bahwa dharma itu telah memudar dari waktu yang sudah cukup lama sehingga manusia masa kini tidak mengenali lagi perubahan dan kemunduran dharma itu sendiri. Oleh karena itu Beliau menekankan kembali bahwa manusia harus mengetahui garis besar dharma yang terpapar dalam kitab-kitab Veda, Sastra, serta Purana. Dan untuk menyembuhkan kebutaan sekarang ini, manusia harus membinasakan enam macam binatang buas Sadripu. Dalam segala aktivitas duniawi manusia harus berhati-hati agar tidak sampai melanggar asa moral kesopanan, atau asas kepatutan yang berlaku dalam masyarakat, dan asas sifat yang baik. Jangan mengingkari suara hati, setiap saat orang harus bersedia menghormati bisikan hati nuraninya. Orang harus berjalan dengan hati-hati, jangan sampai ia melangkah di alur orang lain. Seseorang harus waspada agar menemukan kebenaran di balik segala sesuatu yang gemerlapan ini. Inilah seluruh kewajiban manusia, dharma yang harus diikuti. Kobaran api jnana (pengetahuan spiritual) akan membuat manusia yakin (dan sadar) bahwa semua ini adalah Brahman (sarvam khalvidam Brahman). Keyakinan ini akan membakar habis hingga menjadi abu seluruh egoisme serta keterikatan pada segala sesuatu yang bersifat duniawi. Manusia harus mabuk oleh madu kemanunggalan dengan Tuhan; itulah tujuan akhir dharma dan karma yang dijiwai oleh dharma.
Barang siapa mampu menundukkan egoismenya, menaklukkan keinginan-keinginan yang mementingkan diri sendiri, membinasakan perasaan serta dorongan kebinatangannya, dan melepaskan kecenderungan alami untuk menganggap badan sebagai dirinya, pastilah ia berada di jalan dharma; ia tahu bahwa tujuan dharma adalah manunggalnya ombak dengan samudra, manunggalnya dirinya dengan Tuhan (Baba, 1993 : 4).
Dharma mengungkapkan dirinya dalam berbagai bentuk yang terkadang dikenal sesuai dengan nama orang-orang yang menyusunnya., seperti Manudharma; terkadang oleh kelompok penganutnya, seperti Varnadharma; kadang-kadang oleh tahap kehidupan yang menerapkannya, seperti Grihasta-dharma dan sebagainya. Tetapi semua itu merupakan rincian praktis tambahan, bukan norma dasarnya. Atmadharma atau dharma ketuhanan itulah sebenarnya pokok pembicaraan yang berkaitan dengan moralitas spiritual.
Baba (1993 : 8) menjelaskan demikian ; “ Acharadharma atau ‘dharma praktis’ bertalian dengan berbagai kebutuhan jasmani yang sifatnya sementara; dengan hubungan yang tidak langgeng antara manusia dengan dunia kebendaan. Alat untuk melaksanakan aturan-aturan tersebut yakni badan manusia itu sendiri tidak langgeng; jadi bagaimana dharma ini dapat langgeng? Bagaimana mungkin dharma praktis ini dinyatakan sebagai dharma sejati? Yang langgeng tidak dapat dinyatakan dengan segala sesuatu yang bersifat sementara; kebenaran tidak dapat mengungkapkan diri dalam ketidakbenaran; terang tidak dapat diperoleh dari kegelapan. Yang langgeng hanya timbul dari yang langgeng; kebenaran hanya timbul dari kebenaran. Karena itu, peraturan-peraturan objektif dharma yang berkenaan dengan berbagai kegiatan duniawi dan kehidupan sehari-nari memang penting dalam ruang lingkup tersebut. Tetapi hal ini harus diikuti dengan pengetahuan dan kesadaran penuh akan atmadharma yang merupakan dasar batiniahnya. Setelah itu dorongan-dorongan lahir dan batin baru dapat saling bekerja sama dan membuahkan kemajuan harmonis yang membawa kebahagiaan”.
Manusia melakukan kesalahan besar karena menyamakan dirinya dengan badan. Ia mengumpulkan bermacam-macam benda untuk pemeliharaan dan kesenangan tubuhnya. Bila badannya menjadi lemah dan jompo karena pertambahan usia, ia berusaha mempertahankannya dengan berbagai cara. Tapi berapa laamkanh kita dapat menunda kematian? Bila malaikat maut memanggil, setiap orang harus meninggalkan badan ini. Kedudukan, kebanggaan, dan kekuasaan semuanya lenyap dihadapan maut. Kita harus menyadari hal ini. Dengan badan yang murni, pikiran yang murni, dan semangat yang murni, kita harus berusaha menyadari diri kita yang sejati. Bhaktikanlah dirimu untuk menolong semua mahluk hidup.Badan harus dipelihara sebagai alat untuk pengabdian ini. Tetapi ingat, engkau bukan badan ini; badan ini bukanlah engkau. Engkau adalah Itu (Tat Twam Asi). Inilah mahavakya, yaitu kebenaran spiritual yang tertinggi dan tersuci: engkau adalah diri abadi yang tidak dapat binasa. Badan ini adalah alat, suatu perkakas pemberian Tuhan. Biarlah badan ini memenuhi tujuannya (Baba, tt : 6).
Dalam memahami dharma yang sejati ini, manusia harus memandang dirinya sebagai manusia yang utuh. Manusia secara utuh yaitu terdiri dari : badan fisik, badan halus yang terdiri dari badan mental (pikiran), dan badan roh (atma) yang menghidupkan badan jasmani, dan membuat badan mental menjadi berfungsi. Ketika manusia menyamakan dirinya dengan badan fisiknya, ia terbelenggu dalam ego (kesadaran badan). Dalam keadaan seperti ini, seseorang akan menilai segala sesuatu hanya sebatas pandangan fisik. Ia akan menemukan berbagai perbedaan sesuai dengan kemampuan penglihatan mata fisiknya. Ia akan menilai segala sesuatu di dunia ini hanya berdasarkan status fisik. Tetapi ketika manusia itu menyadari bahwa ia sebenarnya adalah sang atma yang berkedudukan di dalam badan, ia tahu bahwa pikiran itu adalah sarana yang dapat digunakan untuk menyatakan kehendak dirinya atau sang atma yang direalisasikan melalui badan fisiknya. Ketika itulah mata kebijaksanaannya terbuka. Ia menyadari guna dari badan ini, yaitu sebagai alat untuk menolong sang atma melepaskan diri dari lingkaran kelahiran dan kematian yang berulang-ulang, dengan mengendalikan pikirannya melalui kontrol kesadaran jiwanya. Apapun aktivitas yang ia lakukan, seperti bepikir, berkata dan berbuat, hanya berdasarkan kesadaran atma. Ketika itu, ia akan menjadi tuan atas dirinya, bukan menjadi budak dari panca inderanya. Pikirannya akan bergerak mengikuti perintah sang atma. Dan hanya setelah mencapai kesadaran atma ini, seseorang akan dapat melangkah dengan bebas dengan mengunakan kemampuan wiwekanya (kemampuan untuk membedakan antara yang benar dan yang salah, yang kekal dan yang sementara, antara diri sejati dan yang bukan diri sejati). Dalam keadaan itu, ia tidak lagi dibingungkan oleh kekaburan batinnya. Orang tersebut telah menemukan dirinya yang sejati. Ia telah mengenali ketuhanan dalam dirinya.
Brhad Aranyaka Upanisad, IV.8, menyatakan tentang keutamaan diri sejati itu demikian, “Diri kita Yang Sejati itu lebih penting dari anak laki-laki, lebih penting dari kekayaan, lebih penting dari apa saja, karena diri kita Yang Sejati itu paling dekat dengan diri kita yang berkesadaran rendah ini. Apabila orang hanya mencintai sesuatu yang bukan Dirinya Yang Sejati, maka orang akan mengatakan : Dia kehilangan sesuatu yang berharga. Hendaklah orang hanya mencintai Diri kita Yang Sejati saja. Orang yang mencintai Dirinya Yang Sejati, maka dia berarti memcintai sesuatu yang bersifat abadi, yang tidak terkena kehancuran”. Dengan menyadari Dirinya Yang Sejati orang akan dapat melaksanakan dharma dengan benar.
Menyinggung mengenai masalah dharma kembali, menurut Baba dalam Dharma vahini (1993 : 22) disebutkan demikian : “dharma itu adalah jalur moral; jalur moral adalah terang; terang adalah kebahagiaan jiwa. Dharma ditandai oleh kesucian, kedamaian, kebenaran dan ketabahan. Dharma adalah yoga kemanunggalan, peleburan; dharma adalah kebenaran. Sifatnya adalah keadilan, pengendalian indera, rasa hormat, kasih, kewibawaan, kebaikan, meditasi, simpati, dan tanpa kekerasan. Dharma tersebut membimbing manusia maju menuju kasih dan kesatuan semesta. Semua perkembangan ini di awali dengan dharma, semua ini distabilkan oleh sathya ‘kebenaran’; kebenaran tidak terpisahkan dari dharma. Kebenaran (sathya) adalah hukum alam semesta yang membuat matahari dan bulan berputar pada orbitnya masing-masing. Dharma adalah Veda dan mantra, juga jnana yang ditimbulkannya. Dharma adalah tujuan, jalan dan hukum. Di mana saja manusia berpegang teguh pada moralitas, di situ kita dapat melihat sathyadharma sedang bersaksi. Dalam Bhagawadgita pun dikatakan , “Di mana ada dharma, di situ ada kemenangan”. Dharma adalah perwujudan Tuhan; karena dunia sendiri merupakan badan Tuhan. Dunia ini hanyalah sebutan lain untuk tata tertib moral; tidak sorangpun dapat mengingkarinya, sekarang atau kapan saja”.
Dan yang disebutkan sebagai dharma sejati yaitu : (1) berusaha agar selalu berada dalam kebahagiaaan atma, (2) tenggelam dalam pandangan batin, (3) memiliki keyakinan yang teguh bahwa hakikat kita yang sejati sama dengan (Tuhan) Yang Mahamutlak, (4) menyadari bahwa semuanya adalah Brahman ‘Tuhan yang tidak terlukiskan, Yang maha besar’. Keempat hal inilah merupakan dharma yang benar.
Dan satu-satunya jalan untuk dapat melaksanakan dharma yang sejati ini yaitu dengan memahami, menghayati dan mengamalkan Brahma Vidya atau Atma Vidya. Untuk mempelajari pengetahuan ini orang tidak mesti menunggu sampai ketika ia lanjut usia. Tidak seperti yang dibayangkan banyak orang bahwa untuk mendalami Veda orang harus menunggu biar berumur dulu. Hal ini merupakan pandangan yang sangat keliru akibat dari kebeodohan itu sendiri. Justru dimasa mudalah orang sudah harus memulainya, agar ia dapat menjalani hidup ini dengan benar.
Nilai-Nilai Kemanusiaan
Seperti diungkapkan dalam Sarasamuscaya, bahwa kelahiran manusia adalah merupakan kelahiran yang paling utama. Manusia mempunyai tiga kemampuan yang tidak dimiliki binatang, yaitu : daya penalaran, kemampuan meninggalkan (segala keinginan dan ketagihan), serta kemampuan menentukan yang benar dan yang salah. Ini adalah kemampuan khusus dalam diri manusia, tetapi apakah gunanya semua itu jika tidak diterapkan dalam perbuatan nyata? Jika kemampuan itu digunakan maka sebutan manusia tepat baginya, jika tidak ia sama dengan binatang. Jika manusia hidup hanya untuk makan, berkelana, tidur dan mencari kenikmatan, sama seperti marga satwa.
Saat ini, di dalam situasi krisis moral ini, dimana kelakuan manusia hampir seperti binatang, bahkan kadang-kadang lebih sadis dari binatang, seperti banyaknya terjadi tindakan-tindakan kriminal, adanya tindak korupsi besar-besaran dan lain-lain yang menandakan merosotnya moral manusia, maka kita sangat membutuhkan nilai-nilai kemanusiaan sebagai pegangan hidup.
Nilai kemanusiaan ini memberikan kita jaminan rasa aman dan tenang. Nilai-nilai kemanusiaan adalah teman sejati yang memberikan kebahagiaan dalam kehidupan. Seseorang yang menegakkan nilai kemanusiaannya, ia mempunyai kehormatan diri dan martabat. Seseorang yang menegakkan nilai kemanusiaannya ini, dapat menjadi dekat dengan Tuhan sehingga kehidupannya menjadi nyata dan penuh arti. Nilai kemanusiaan memberikan kebebasan dan kemandirian. Dengan menegakkan nilai kemanusiaannya, seseorang dapat mengembangkan kemampuan untuk melihat kenyataan dan mengambil sikap sesuai dengan kenyataan. Nilai kemanusiaan memberikan perlindungan kepada seseorang dan juga membagi rasa aman kepada orang lain. Dengan demikian, seseorang dapat menciptakan kepribadian yang luhur sehingga ia dapat melaksanakan dharma dengan benar, dan hubungannya dengan Tuhan pun akan semakin kuat.
Adapun yang termasuk nilai kemanusiaan yang harus dikenali agar seseorang dapat melaksakan dharma yang benar yaitu :
- Sikap yang benar.
“Perlakukan orang lain seperti harapanmu orang lain memperlakukan dirimu – itulah Dharma” (Sri Sathya Sai Baba).
Untuk menciptakan sari kehidupan yang penuh dengan perasaan kemanusiaan, diperlukan kepekaan naluri, intuisi dan pemahaman, agar sikap kita tidak menyimpang dari kebenaran.
- Kedamaian.
“Kedamaian adalah apa yang dicari oleh setiap orang, tetapi itu tak akan pernah dipastikan dari dunia luar. Tumpukan kekayaan dan kekuasaan tak dapat memberikan kedamaian. Kedamaian hanya dapat muncul dari sumber dalam diri” (Sri Sathya Sai Baba).
Kedamaian yang sejati adalah keheningan batiniah yang penuh dengan kekuatan kebenaran. Kedamaian adalah ciri utama dari apa yang kita sebut “masyarakat beradab” dan sifat sebuah masyarakat dapat dilihat dari kesadaran bersama warganya.
- Kebenaran.
“Kebenaran adalah yang senantiasa tak berubah, yang abadi selamanya. Itulah realitas abadi” (Sri Sathya Sai Baba)
Kebenaran adalah sesuatu yang tidak berubah. Ia merupakan kebenaran hari ini, juga harus menjadi kebenaran esok hari, dan harus menjadi kebenaran besoknya lagi. Dengan kesimpulan logis, hari demi hari akan selalu menjadi kebenaran. Itu bebarti, di masa depan yang abadi, Kebenaran yang sama akan senantiasa menjadi kebenaran.
- Kasih Sayang.
“Kebajikan terbesar adalah kasih Sayang. Kasih sayang merupakan dasar dari karakter” (Sri Sathya Sai Baba).
Kasing sayang adalah dasar yang menciptakan dan memelihara hubungan kemanusiaan secara mendalam dan mulia. Kasih sayang adalah kepercayaan dalam persamaan semangat dan rasa kemanusiaan. Kasing sayang membantu untuk mempercepat proses perubahan perkembangan dan pencapaian hasil.
Kasing sayang bukan sekedar keinginan, hasrat, suatu perasaan yang penuh emosi terhadap orang atau benda, tetapi suatu kesadaran yang sekaligus merupakan pemuasan diri dan tanpa pamrih. Kasih sayang bersumber pada kebenaran, yaitu kearifan. Kasih sayang yang berdasarkan kearifan adalah kasih sayang sejati, bukan kasih buta. Dan untuk menemukan rahasia kasih sayang sejati adalah dengan memperhatikan dengan seksama bagaimana rahasia kehidupan terungkap.
- Tanpa Kekerasan.
“Ahimsa (tanpa kekerasan) berarti menghilangkan yang menyebabkan kekerasan terhadap siapapun, baik dengan pikiran, kata-kata atau perbuatan” (Sri Sathya Sai Baba)
Tanpa kekerasan sesungguhnya digunakan badan dan pikiran untuk hidup selaras dengan sekitar atau lingkungan kita.
Lima nilai kemanusiaan ini adalah nilai-nilai luhur yang merupakan keunggulan dari manusia, memang sudah ada di dalam diri setiap orang. Hanya saja nilai kemanusiaan ini di zaman iptek yang serba canggih sekarang ini jauh terkubur dalam-dalam dan hampir tidak dapat dikenali lagi, karena telah diambil alih oleh semarak penampilan fisik namun kosong makna. Bila kita amati fenomena yang terjadi sekarang ini, hampir dalam seluruh bidang aspek kehidupan, orang hanya mementingkan penampilan luar saja tanpa memperhatikan yang di dalam, padahal keberadaan ini sesungguhnya didukung oleh dua eksistensi yaitu luar dan dalam (jasmani dan rohani). Tanpa ada keseimbangan antara keduanya menyebabkan orang menjadi labil. Oleh karena itu menegakkan kembali nilai kemanusiaan ini adalah sangat penting agar seseorang dapat melaksanakan dharma.
Kaitan Dharma dengan Nilai-Nilai Kemanusiaan
Dharma yang sejati meliputi :
1. Berusaha agar selalu berada dalam kebahagiaaan atma,
2. Tenggelam dalam pandangan batin,
3. Memiliki keyakinan yang teguh bahwa hakikat kita yang sejati sama dengan (Tuhan) Yang Mahamutlak,
4. Menyadari bahwa semuanya adalah Brahman ‘Tuhan yang tidak terlukiskan, Yang maha besar’.
Keempat dharma ini adalah merupakan jalur moral yang mencerminkan kebahagiaan jiwa, yang sifatnya adalah keadilan, pengendalian indera, rasa hormat, kasih, kewibawaan, kebaikan, meditasi, simpati, dan tanpa kekerasan, dan dharma inilah yang membimbing manusia maju menuju kasih dan kesatuan semesta.
Dan lima nilai kemanusiaan yang terdiri dari : (1) Sikap yang benar, (2) Kedamaian, (3) Kebenaran, (4) Kasih Sayang, dan (5) Tanpa kekerasan, adalah nilai-nilai luhur yang merupakan keunggulan yang dimiliki oleh manusia,dimana nilai ini sudah melekat dan ada dalam diri setiap orang yang dibawanya dari sejak lahir.
Bila kita perhatikan kaitan antara dharma dengan nilai kemanusiaan yaitu bahwa dharma dan nilai kemanusiaan, adalah saling ada keterkaiatan antara yang satu dengan yang lain. Di lain pihak, baik dalam memahami dharma ataupun nilai kemanusiaan, hanya melalui jalan dengan mendalami pengetahuan rohani (Brahma Vidya atau Atma Vidya). Melalui pendalaman rohani secara pelan-pelan kesadaran kita akan dibuka sehingga kita dapat mengenali eksistensi kita yang sesungguhnya. Tanpa mengenali nilai kemanusiaannya, seseorang sulit dapat melaksanakan dharma dengan benar. Dengan mengenali dan menyadari nilai kemanusiaan, dharma akan dengan mudah dapat dilaksanakan. Dharma yang agung ini hanya dapat dilaksanakan, setelah seseorang berada dalam kesadaran rohani (telah menghayati bahwa dirinya bukan badan jasmani, tetapi roh yang bersemayam di dalam badannya).
Seperti yang dikemukakan oleh Baba di atas, agar orang dapat melaksanakan dharma dan menegakkan nilai-nilai kemanusiaannya, ia harus memerangi dan memusnahkan memusnahkan Sadripu (kama, krodha, lobha, moha, mada dan matsarya) yang merupakan musuh yang ada di dalam dirinya sendiri. Pertama-tama seseorang harus yakin bahwa dirinya adalah diri sejati yang bersifat universal dan kekal. Hal ini akan membuat semua latihan rohani yang dilakukan menjadi mudah. Sebaliknya bila seseorang membiarkan khayal bahwa dirinya adalah tubuh dan indera, bahwa dia hanyalah sang jiwa, diri pribadi ini, maka latihan rohani apapun yang dilakukan dapat diibaratkan dengan buah muda yang membusuk. Buah itu tidak akan pernah tumbuh menjadi ranum.
Baba (1995 : 38) menyatakan bahwa, untuk menghayati diri sebagai pengejawantahan kedamaian, seseorang harus mulai dengan keyakinan bahwa ia adalah perwujudan kedamaian itu sendiri. Kedamaian batin juga dapat didefinisikan sebagai kasih sejati Tuhan, bagi kebenaran, dan bagi dharma yang benar. Kedamaian batin membuat seseorang mencapai kesadaran Tuhan. Karena itu tetapkan Tuhan sebagai satu-satunya tujuan. Seseorang harus membulatkan tekad untuk mencapai-Nya dalam hidupnya. Oleh karena itu seseorang jangan sampai terpengaruh oleh nafsu kama, keserakahan suka duka, pujian dan kecaman, atau hal-hal yang bertentangan semacam itu. Seseorang harus menetapkan niatnya bahwa tujuan kelahiran sebagai manusia adalah untuk mencapai tujuan melalui ibadah. Segala pengetahuan, pengalaman, kegiatan diarahkan untuk tujuan itu. Segala yang dimakan, didengar, harus diabdikan untuk tujuan itu. Hanya keteguhan hati semacam itu yang akan membawa seseorang ke tujuan.
Penutup.
Dharma seperti yang diagung-agungkan dalam beberapa kitab suci, adalah dharma yang telah dihayati melalui kesadaran atma dan dinyatakan bahwa dharma itu adalah jalur moral; jalur moral adalah terang; terang adalah kebahagiaan jiwa. Jadi, dharma itu ditandai oleh kesucian, kedamaian, kebenaran dan ketabahan. Dan dharma itu juga adalah yoga kemanunggalan, peleburan; dharma adalah kebenaran. Sifatnya adalah keadilan, pengendalian indera, rasa hormat, kasih, kewibawaan, kebaikan, meditasi, simpati, dan tanpa kekerasan. Yang merupakan dharma yang sejati disebutkan : (1) Berusaha agar selalu berada dalam kebahagiaaan atma, (2) Tenggelam dalam pandangan batin, (3) Memiliki keyakinan yang teguh bahwa hakikat kita yang sejati sama dengan (Tuhan) Yang Mahamutlak, (4) Menyadari bahwa semuanya adalah Brahman ‘Tuhan yang tidak terlukiskan, Yang maha besar’.
Nilai kemanusiaan meliputi : (1) Sikap yang benar, (2) Kedamaian, (3) Kebenaran, (4) Kasih Sayang, dan (5) Tanpa kekerasan.
Kaitan dharma dengan nilai kemanusiaan adalah sangat erat sekali, dimana penegakan nilai kemanusiaan, merupakan landasan untuk dapat melaksanakan dharma. Tanpa memiliki nilai kemanusiaan itu betapapun hebatnya seseorang dari segi kemampuan fisik maupun intelek, ia tidak akan dapat melaksanakan dharma.
DAFTAR PUSTAKA
Ayudhya, Art-ong Jumsai Na, 2000. Lima Nilai Kemanusiaan dan Keunggulan Manusia. Surabaya : Paramita.
Baba, Bhagawan Sri Sathya Sai, 1992. Vidya Vahini (Pancaran Penerangan). Jakarta : Yayasan Sri Satya sai Indonesia,
Baba,1993. Dharma Vahini (Pancaran Dharma). Jakarta : Yayasan Sri Sathya Sai Indonesia.
Baba , 1995. Wacana Musim Panas 1990. Jakarta : Yayasan Sri Sathya Sai Indonesia.
Baba, 1995. Prasanthi Vahini (Pancaran Kedamaian). Jakarta : Yayasan Sri Sathya Sai Indonesia.
Baba, tt. Prema Vahini (Pancaran Kasih Ilahi). Jakarta : Yayasan Sri Sathya sai Indonesia.
Jendra, I Wayan, 1996. Variasi Bahasa Kedudukan dan Peran Bhagawan Sri Sathya Sai Baba dalam Agama Hindu. Surabaya : Paramita.
Kajeng, I Nyoman, dkk, 1999. Sarasamuscaya. Surabaya : Paramita.
Lal, P, 1995. Ramayana. PT Dunia Pusataka Jaya.
Maswinara, I Wayan, 2000. Tujuan Pengembaraan Kehidupan Manusia. Surabaya : Paramita.
Sanjaya, IGMA, 2002. Mengangkat Nilai-nilai Agama dalam Menghadapi Globalisasi. Surabaya : Paramita.
Sudharta, Tjok. Rai, Pudja, G, 1977/1978. Manawa Dharmasastra atau Weda Smrti Compendium Hukum Hindu. Jakarta : Lembaga Penterjemah Kitab Suci Weda.
Somvir, 2001. 108 Mutiara Veda Untuk Kehidupan Sehari-hari. Surabaya : Paramita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar