a. Teori Fungsional dan Struktural
Teori-teori Struktural dalam ilmu antropologi ada beberapa macam, tetapi konsepnya untuk pertama kali diajukan oleh A. R. Radcliff-Brown (1881-1955) (Koentjacaraningrat, 1980 : 172). Karya substansil Radcliff-Brown hanya ada dua, yaitu, mengenai konsep fungsi (1935) dan mengenai struktur sosial (1940) (Kuper, 1996 :58).
Sasaran pengkajian Radcliffe-Brown adalah sistem sosial atau proses sosial. Sistem yang dimaksud Radcliffe-Brown adalah mengenai “hubungan nyata di antara individu”, atau lebih tepatnya antara individu yang menduduki peranan sosial, yakni “antara persons”. Jalinan hubungan ini menjadi “struktur sosial” yang bukan abstraksi. Struktur sosial “terdiri dari” penjumlahan semua hubungan sosial dan individu pada saat tertentu. (Kuper, 1996 : 59).
Dalam keluarga ataupun dalam masyarakat sesungguhnya ada struktur atau hierarki yang berkaitan dengan “satatus dan kedudukan” yang dimainkan seseorang. Dalam keluarga misalnya, seorang ayah atau seorang ibu memiliki peranan dan kedudukannya masing-masing. Begitu pula halnya dengan anak laki-laki dan perempuan di dalam suatu keluarga masing-masing mempunyai kedudukan dan peranan yang berbeda pula.
Dalam kehidupan sosial bermasyarakat, struktur sosial yang terdiri dari jaringan hubungan antara individu dan kelompok individu. Semua hubungan ini melibatkan hak dan kewajiban tertentu, dan didefinisikan menurut cara tertentu. Agar konflik dapat dipecahkan tanpa merusak struktur, dipenuhi dengan pembentukan sistem peraturan perundang-undangan, peradilan dan institusi hokum lainnya, atau lebih sederhana tingkatannya seperti pembentukan dan pemberlakuan awig-awig pada desa adat di Bali.
Di samping pembentukan peraturan, juga ditetapkan norma-norma atau nilai-nilai yang secara umum diakui sebagai pengikat dalam kehidupan bermasyarakat maupun secara pribadi. Norma yang berlaku dimasyarakat memiliki ciri tertentu dan cirri itu berbeda antara masyarakat di suatu tempat dengan tempat yang lainnya. Penggunaannya diberi karakter dan bekerja untuk kepentingan warga masyarakat penggunanya sendiri.
Kebutuhan semua masyarakat adalah kepentingan para anggota masyarakat. Kebutuhan dasar ini menuntut standarisasi tertentu dari perilaku, dan disinilah “kebudayaan” berperan, karena kebudayaan merupakan cara berpikir, bertindak, merasakan yang diperoleh dari proses belajar. Di samping itu dituntut pula standarisasi kepercayaan, yang dipelihara agar tetap hidup melalui ritual dan simbol.
Suatu ritual berfungsi untuk memantapkan solidaritas sosial. Dan solidaritas ini dipertahankan untuk memungkinkan warga masyarakat memainkan peranannya yang telah dipsepakati bersama, yakni memelihara kadar kebersamaan yang menjadi landasan bagi berlangsungnya sistem sosial.
Di sisi lain dalam kehidupan sehari-hari, kata struktur juga digunakan dalam kaitannya dengan penanda dan petanda. Umpama bila dikatakan atau dituliskan kata tertentu, misalnya anjing, maka pikiran akan menghasilkan gambaran, konsep atau citra mental tentang seekor anjing. Hewan berakaki empat. Yang pertama ini disebut penanda (signifier) dan yang kedua petanda (signified). Hubungan antara penanda dan petanda itu tidak baku, manasuka dan mudah berubah-ubah. Kata atau tulisan “anjing” tidak selalu mengacu pada hewan anjing, dan tidak selalu mempunyai sifat mirip-mirip anjing. Hubungan antara penanda dan petanda di sini adalah tidak lain hasil dari konvensi/kesepakatan budaya. Karena budaya sangat majemuk, maka makna hubungan antara keduanya menjadi beragam. Dan contoh ini menunjukkan bahwa secara struktural cara kita mengkonseptualisasikan dunia itu sangat tergantung pada bahasa yang kita ucapkan, dan secara analogi tergantung pada ruang budaya yang kita diami.
b. Teori Fungsional Kebudayaan
Bronislaw Malinowski (1884-1942), merupakan tokoh yang mengembangkan teori fungsional tentang kebudayaan, atau a functional theory of culture (Koentjaraningrat, 1980 :162) . Inti dari teori fungsional Malinowski adalah bahwa segala aktivitas kebudayaan itu sebenarnya bermaksud memuaskan suatu rangkaian dari sejumlah kebutuhan naluri mahluk manusia yang berhubungan dengan seluruh kehidupannya. Kebutuhan itu meliputi kebutuhan biologis maupun skunder, kebutuhan mendasar yang muncul dari perkembangan kebudayaan itu sendiri.
Sebagai contoh, Malinowski menggambarkan bahwa cinta dan seks yang merupakan kebutuhan biologis manusia, harus diperhatikan bersama-sama dalam konteks pacaran, pacaran menuju perkawinan yang menciptakan keluarga, dan keluarga tercipta menjadi landasan bagi kekerabatan dan klen, dan bila kekerabatan telah tercipta akan ada sistem yang mengaturnya. Selanjutnya akan dibahas mengenai sistem kekerabatan dan fungsinya dalam kebudayaan.
Kesenian misalnya yang merupakan salah satu unsur kebudayaan, terjadi karena mula-mula manusia ingin memuaskan kebutuhan nalurinya akan keindahan. Ilmu pengetahuan juga timbul karena kebutuhan naluri manusia untuk tahu. Di samping itu, masih banyak aktivitas kebudayaan terjadi karena kombinasi dari beberapa kebutuhan masyarakat. Misalnya budaya yang muncul akibat kepentingan kelompok masyarakat tertentu, umpamanya kelompok masyarakat petani, nelayan, atau para politikus, akademisi dan lain-lain . Masing-masing dari kelompok tersebut akan selalu berusaha menjaga eksistensinya agar dapat menjalankan fungsinya untuk memenuhi kebutuhan dari kelompoknya sendiri.
Manusia, melalui instrumentalisasi kebudayaan, maka di dalam mengembangkan maupun memenuhi kebutuhannya, ia harus mengorganisasi peralatan, artefak, dan kegiatan menghasilkan makan melalui bimbingan pengetahuan, dengan kata lain yaitu melalui proses belajar manusia dapat meningkatkan eksistensinya. Jadi kebutuhan akan ilmu dalam proses belajar adalah mutlak. Dan di samping itu tindakan manusia juga harus dibimbing oleh keyakinan, demikian pula magik. Karena tatkala manusia mengembangkan sistem pengetahuan ia akan terikat dan dituntut untuk meneliti asal mula kemanusiaan, nasib, kehidupan, kematian dan alam semesta. Jadi, sebagai hasil langsung kebutuhan manusia untuk membangun sistem dan mengorganisasi pengetahuan, timbul pula kebutuhan akan agama.
Konsep kebudayaan terintegarasi secara menyeluruh dalam upaya pemenuhan kebutuhan manusia. Kebudayaan sebagai seperangkat sarana adalah masalah mendasar. Kepercayaan, dan magik sekalipun, harus mengandung inti utilitarian, karena ia memenuhi fungsi psikologis. Aturan-aturan dan ritual magik dan agama tertentu dapat memantapkan kerjasama yang diperlukan, di samping juga untuk memenuhi kepuasan pribadi sesorang.
Magik bagi sebagian masyarakat manusia di dunia ini diyakini memiliki daya kerja, meredam kecemasan terhadap masa depan yang tak dikendalikan. Dan dengan agama, magik dikembangkan dan berfungsi dalam situasi-situasi stress emosional, dan fungsi magik adalah “ritualisasi optimisme manusia, melancarkan keyakinannya dalam kemenangan harapan atas ketakutan”, dan ketakutan manusia itu meliputi ketakutan akan bencana alam, akan penyakit dan lain-lain, dan semua ketakutan itu berpangkal dari ketakutan manusia akan kematian.
Apa yang diuraikan di atas adalah teori fungsional kebudayaan sesuai dengan pemikiran Bronislaw Malinowski, yang menguraikan tentang kebutuhan manusia yang terdiri dari kebutuhan kebutuhan dasar dan kebutuhan sampingan. Sedangkan menurut Maslows Hierarchy of Needs, menguraikan tingkat kebutuhan yang dibutuhkan manusia ada lima tingkatan yaitu dari kebutuhan tingkat terendah sampai tingkat kebutuhan tertinggi meliputi :
1. Physiologi, kebutuhan faal tubuh meliputi pemenuhan kebutuhan akan rasa haus, lapar, istirahat dan aktivitas.
2. Safety –Scurity, yaitu kebutuhan akan rasa aman yang bebas dari takut dan cemas atau kekhawatiran.
3. Belongings and love, manusia membutuhkan harta benda dan kasing sayang untuk mendukung eksistensinya
4. Esteem – self and others, kebutuhan manusia akan penghargaan pribadi dan orang lain.
5. Self actualization, personal self fulfillment, kebutuhan akan aktualisasi diri, pemenuhan diri pribadi.
Apa yang diuraikan di atas adalah merupakan kebutuhan yang ideal. Namun dalam kenyataannya untuk memenuhi setiap kebutuhan itu harus disertai faktor pendukung. Bila kita amati dalam kehidupan masyarakat, masih banyak hal yang masih perlu diperbuat dan diusahakan oleh setiap individu maupun masyarakat agar dapat memenuhi kebutuhannya dari tingkat paling bawah sampai ketingkatan yang teratas.
DAFTAR PUSTAKA
Kuper, Adam. 1996. Pokok Dan Tokoh Antropologi. Jakarta : Bhratara.
Koentjaraningrat, 1980. Sejarah Antropologi I. Jakarta : Universitas Indonesia.
Poloma, Margaret, M. 2003. Sosiologi Kontemporer. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Sanderson, Stephen K. 2000. Makro Sosiologi. Jakarta : PT Raja Grafindo.
Storey, John. 2003. Teori Budaya dan Budaya Pop. Yogyakarta : Qalam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar