Minggu, 20 Maret 2011

TANTRISME DAN JEJAK-JEJAKNYA DI INDONESIA ATAU DI BALI.

Oleh : Ni Nyoman Purnami
        a.  Tantrisme.
                    Beberapa Indolog  beranggapan bahwa ada hubungan antara Konsep-Dewi (Mother Goddes) yang bukti-buktinya terdapat dalam suatu zeal di Lembah Sindhu dalam kurun waktu sebelum zaman Veda, dengan konsep Mahānirwāna Tantra. Dari konsep Dewi itu muncullah  Saktiisme. Dalam perkembangan lebih lanjut daripada Saktiisme ini, maka muncullah Tantrisme yaitu suatu paham yang memuja Sakti secara ekstrim. Para penganut paham ini disebut Tantrayana.
                    Kata ‘Tantra’ terdiri dari dua kata, yaitu Tana dan trai. Itu berarti bahwa melalui pelaksanaan sādhanā pūjā, bhakti dan metode yang lainnya seseorang bisa mengelola alam dan kekuatan Tuhan sesuai dengan keinginannya. Semua metode sādhanā pada hakekatnya adalah Tantra. Kata ini dalam Śāstra dijelaskan sebagai berikut :
            Sarwa'rtha yena tanyante trāyante ca bhayājjanān,
            Iti tantrasya tantratvam tantrajñā, parakkse te.
                    Jika seseorang mengetahui mantra secara mendetail dan juga penggunaannya maka ia bisa menggunakannya untuk melindungi orang-orang dari ketakutan dan melakukan kebaikan untuk mereka (Chawdri, 2003 :159).
                    Ajaran Tantra ini pertama kali diturunkan oleh Śiva dipegunungan Himalaya, tempat salju abadi, daerah yang suci yang penuh dengan tradisi bangsa Ārya. Śiva menurunkan ajaran-ajaran-Nya di sana, kemudian dicatat di dalam berbagai Yāmala, Dāmara, Śiva Sutra, dan diberbagai pustaka Tantra yang disusun dalam bentuk tanya jawab di antara dewata dengan Shakti-Nya, yaitu dewī yang mewujudkan diri-Nya sebagai Pārvatī. Menurut catatan Gayatri Tantra, Ganesha yang pertama kali mengajarkan Tantra itu kepada dewayoni di Gunung Kailāsa, setelah Ganesha sendiri menerimanya langsung dari Śiva (Avalon`s, 1997 : 2).
                    Di dalam pustaka Mahānirwāna Tantra, setelah dilukiskan keadaan Gunung Kailāsa, pelajaran dibuka dengan sebuah pertanyaan yang diajukan oleh  Pārvatī, dan  Śiva menjawab pertanyaan ini juga pertanyaan selanjutnya.
                    Kitab-kitab yang memuat ajaran Tantra banyak sekali, kurang lebih ada 64 macam antara lain : Mahānirwāna Tantra, Kulanarwana tantra Bidhana, Yoginihrdaya Tantra, Tantrasara dan sebagainya (Ida Pedanda Gede Pemaron Mandhara, dalam WHD Edisi April 2003 : 8). Di India penganut Tantrisme lebih banyak terdapat di India Selatan daripada di India Utara. Tantrayana berkembang luas sampai ke Cina, Tibet dan Indonesia. Dari Tantrisme muncullah paham Bhairawa.
                    Dalam Mahānirwāna Tantra disebutkan bahwa Tantra Śāstra ini merupakan Kitab Suci untuk zaman Kaliyuga. Namun, Tantra itu tetap merupakan transformasi dari Vaidika Karmakanda yang dirumuskan untuk memenuhi tuntutan zaman. Dari pengetahuan-pengetahuan Tantra ini seseorang akan bisa memahami apa arti dan tujuan dari ritual itu, yoga dan berbagai bentuk sādhanā yang lain., demikian pula memahami berbagai prinsip-prinsip  serta praktek-praktek yang bernilai sangat ekspresif objektif (Avalon`s, 1997 : v). Dalam Mahānirwāna Tantra Bab IX bait 12, Śiva bersabda :
                    “Untuk menyempurnakan manusia di zaman Kaliyuga, pada ketika manusia menjadi sangat lemah dan hidupnya hanya tergantung kepada makanan-makanan saja, maka O Dewi, dirumuskanlah ajaran-ajaran daripada kaula.”

                        Bila kita simak bait Mahānirwāna Tantra di atas, sesungguhnya bahwa ajaran Tantra  ini diturunkan oleh Śiva adalah diperuntukkan bagi orang-orang dizaman Kali ini. Tetapi sayang sekali dari berbagai Śāstra Hindu yang ada, justeru Tantra Śāstra tidak banyak dikenal apalagi dipahami saat ini. Namun hal ini adalah wajar karena ajaran Tantra memang sulit, diperlukan tingkat evolusi berpikir untuk bisa menyerap dan memahaminya. Di samping itu, karena arti terhadap berbagai istilah serta metode yang dilaksanakan terus dijaga kerahasiaannya oleh para penganutnya.
                    Di antara orang-orang kebanyakan terdapat sebuah kesalahpahaman secara umum tentang Tantra dan Tantrika. Sangat diyakini bahwa di dalam pelaksanaan pengalaman ajaran Tantra, seseorang meggunakan rumus mistik atau mantra, memuja roh halus dan dewa-dewa mistik, dan sebagai hasilnya mendapatkan kekuatan-kekuatan gaib dan pengalaman-pengalaman aneh. Pengertian Tantra seperti itu adalah benar-benar naif, karena Tantra memiliki sebuah makna tersirat yang lebih luas. Tantra bermakna sebuah gambaran khusus tentang Realitas (metafisik) dari sebuah pandangan hidup yang khusus setelah itu (agama dan kebudayaan) (Misra dalam WHD Edisi April 2003 : 4).
                    Nilai-nilai kehidupan dalam  ajaran Tantra bersifat sangat menyeluruh dan luas di mana tidak ada satu aspek kehidupanpun yang tidak tersentuh. Ajaran Tantra menunjukkan cara menerima dan menggunakan dunia ini (dan nilai-nilai duniawi) dalam sebuah cara yang sedemikian rupa sebagai yang terjadi atas sebuah arti dan Kesadaran Diri. Hal tersebut menyajikan sebuah pandangan integral tentang kehidupan yang mempersatukan Bhoga (Kesenangan) dan Moksa (Pembebasan), sebagaimana juga Pravrtti (Kehidupan di dunia) dan Nivrtti (Pembebasan Diri) yang menganjurkan suatu Yoga yang positif yang merangkul semuanya serta membuat segalanya menjadi suci dan baik.
                    Dikatakan bahwa Tantra itu mengandung inti-pati Veda, yang secara khusus membahas hubungan antara Parāmātma dengan Jīwātmā. Demikian juga Kaulāchāra merupakan inti-pati dari apa yang disebut Vedāchāra, setiap āchāra yang dilakukan mengikuti jalan kaulāchāra semakin meningkat kehalusannya, yaitu menembus selubung-selubung jasad yang lebih halus (Avalon`s, 1997 : 38). 
                    Nama lain dari Tantra adalah Āgama ( Aagm ). Dua hal ini saling berhubungan erat satu sama lain. Dalam sloka, Āgama dijelaskan sebagai berikut :                              

                    Āgama Śivavakratrebhyo, gatam  ca girijāmukhe
                    Matam ca Vāsudevasya, tata agana ucyate

                    Āgama adalah kata yang diturunkan oleh dewa Śiva kepada Pārvatī dan diterima oleh dewa Visnu. Maka asal asli dari Tantra bisa ditelusuri berawal dari dewa Śiva, mendapat dukungan dari dewa Visnu dan kemudian diturunkan kepada umat manusia melalui dewi Pārvatī. Maka demikianlah jalan untuk mencapai Moksa dan pemenuhan kebutuhan duniawi ada pada Āgama dan Tantra (Chawdhri, 2003 : 161).
                    Para Tantrika ini memuja Brahma, tetapi sistem pemujaannya itu dilakukan sedemikian rupa, dan banyak prinsip-prinsip dan praktek-prakteknya sangat dirahasiakan. Tantra mengajarkan suatu brata yang patut dilakukan yang disebut dengan ‘Pancatattwa’ yang terdiri dari : (1) Matsya ‘memakan ikan’,(2) Mamsa ‘memakan daging’, (3) Madhya ‘meminum minuman yang menghangatkan badan’, (4) Maithuna ‘melakukan hubungan seks yang benar’, dan (5) Mudra ‘melakukan sikap tangan yang mengandung kekuatan gaib.
                    Sesungguhnya Pancatattwa ini adalah rasional dan alamiah serta mengandung filosofi yang dalam. Arthur Avalon`s mengkaji hal ini secara panjang lebar dan mendalam dalam bukunya Sakti and Sakta (Ida Pedanda Gede Pemaron Mandhara dalam WHD Edisi April 2003 : 10). Pada prinsipnya Pancatattwa ini merupakan suatu filosofi hubungan bhuwana agung dan bhuwana alit yang mengandung nilai selaras, serasi dan seimbang. Kendatipun demikian, namun penerapan Pancatattwa ini sering menyimpang dari filosofinya, dikarenakan oleh kelemahan  manusia menghadapi pengaruh sad ripu, sehingga seringkali Pancatattwa itu diartikan sebagai Mahakamapancikam yaitu pemenuhan lima macam nafsu yang amat besar.
                    Karena Tantra ini tidak dipraktekkan dengan ilmiah dan beberapa oknum praktisi yang menyesatkan orang lain untuk keperluannya, maka publik mulai kehilangan kepercayaannya pada aliran ini. Dan Tantrisme sesungguhnya adalah sebuah sādhanā, bukan magis. Tantra adalah sebuah sādhanā, Śāstra, yang berisikan ajaran Āgama yang disusun oleh dewa Śiva yang berisikan berbagai mantra untuk mencapai kekuatan supranatural. Jadi Tantra bukan ‘agama’ (Chawdhri, 2003 : 161).
                    Pelajaran-pelajaran  tentang  Tantra hanya diberikan kepada “orang yang mempunyai keyakinan kepada akar, dan mengetahui kegunaan cabang-cabang serta daun-daun”. Keyakinan-keyakinan dan kemurnian-kemurnian dari jiwa, itulah persyarannya yang diperlukan. Hal ini secara jelas diuraikan dalam teks Mahānirwāna Tantra. 

      b.   Jejak-jejak Tantrisme di Indonesia atau di Bali.
            Di Indonesia masuknya Saktiisme, Tantrisme dan Bhairawa dimulai sejak abad ke 7 melalui kerajaan Sriwijaya di Sumatera sebagaimana diberi persaksian oleh prasasti Palembang tahun 684, berasal dari India selatan dan Tibet. Dari peninggalan purbakala dapat diketahui ada tiga macam Bhairawa yaitu : bairawa Heruka yang terdapat di padang Lawas-Sumatera barat, Bhairawa Kalacakra yang dianut oleh Kertanegara, raja Singosari-Jawa Timur serta Oleh Adhityawarman pada zaman gajah Mada di Majapahit dan Bhairawa Bhima di Bali yang arcanya kini ada di pura Kebo Edan-Bedulu Gianyar.
                    Di Bali, perkembangan daripada Konsepsi-Dewi itu nyata sekali berupa pemujaaan terhadap Dewi atau Bhatari seperti : pemujaan terhadap Dewi Saraswati, Dewi Durga, Dewi Sri, Dewi Gangga, Dewi Danuh dan lain sebagainya. Di dalam sistem kekerabatan di Bali, banyak sekali terdapat Pura Ibu yang mempunyai konotasi terhadap Konsep-Dewi.
                    Perkembangan Saktiisme di Bali juga menjurus kepada dua aliran mistik yaitu : Pangiwa dan Panengen. Dari Pangiwa munculah pengetahuan tentang Leyak, Desti, Teluh, Taranjana dan Wegig. Sedangkan dari Panengen munculah pengetahuan tentang Kawisesan dan Pragolan. Pangiwa berasal dari sistem Nivrtti dalam doktrin Bhairawa.
                    Adapun kitab-kitab Tantrayana di Indonesia antara lain adalah Tantrawajradhatusubuti, Candra Bhairawa dan Semara Tantra. Demikianlah sekilas tentang Tantrisme dan jejak-jejaknya di Indonesia atau di Bali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar