Minggu, 20 Maret 2011

HIDUP HARMONI DALAM BINGKAI TRI HITA KARANA

Oleh : Ni Nyoman Purnami

FILISOFI TRI HITA KARANA

            Tujuan hidup dalam ajaran agama Hindu yaitu “Moksārtham jagaddhita ya ca iti dharma” yang artinya bahwa : tujuan hidup manusia  adalah untuk kebahagiaan di dunia ini dan kehidupan di alam sana dengan berlandaskan ajaran dharma
            Sarasamuscaya, 12, menyatakan :
“Pada hakekatnya, jika artha dan kama dituntut, maka seharusnya dharma hendaknya dilakukan lebih dulu, tak tersangsikan lagi, pasti akan diperoleh artha dan kama nanti, tidak akan ada artinya, jika artha dan kama itu diperoleh menyimpang dari dharma”.
            Dari uraian tersebut diketahui bahwa konsepsi Catur Purusa-artha, adalah jabaran “tujuan hidup” menurut ajaran Hindu, sedangkan konsepsi Catur Àsrama adalah merupakan tahapan pencapaian dari tujuan tersebut, dan konsepsi Tri Hita Karana adalah sebagai landasan untuk mewujudkan tujuan tersebut.
            Berbicara tentang tri hita karana atau tiga unsur atau lapisan penyebab timbulnya kebahagiaan atau tiga faktor untuk mewujudkan kesejahteraan/kebahagiaan hidup lahir batin, dalam berbagai wacana kerapkali terdengar penyempitan pemaknaan terhadap konsep yang bernilai universal ini. Masih banyak yang beranggapan bahwa tri hita karana tersebut hanya semata-mata mencakup pemberdayaan urusan fisik teritorial desa adat/pakraman seperti :
i)     menjaga kesucian pura serta optimalisasi fungsi pura dalam mengimbangai tingkat pekembangan umat dan perubahan masyarakat, dianggap sebagai parhyangan;
ii)    meningkatkan pemahaman dan pendalaman ajaran Hindu bagi krama dan prajuru atau peningkatan kemampuan sosial control dari pemuka desa, dianggap sebagai pawongan; dan,
iii)   mempertahankan kesucian wilayah desa pakraman pelestarian tanah-tanah Palemahan yang berfungsi sebagai pengikat karma, dinggap sebagai palemahan.
            Pemahaman dan pemaknaan tri hita karana hanya sebatas pengertian tersebut di atas telah mengecilkan eksistensi dan esensi, universalitas dan keluhurannya. Tri hita karana sesungguhnya bukan saja bersifat universal, tetapi sekaligus totalitas meliputi alam semesta (bhuwana agung, makrokosmos), dan tidak kehilangan makna untuk sebuah pulau, satu wilayah, satu desa, satu pekarangan, satu bangunan, satu ruangan, bahkan untuk diri manusia.
            Ketiga unsur tri hita karana dalam makrokosmos (bhuwana agung) meliputi jiwa alam (Brahman/Tuhan Yang Maha Esa), manusia yang memiliki tri pramana (bayu, sabda, idep) sebagai pengelola dan penggerak alam, dan fisik alam selaku tubuh kasar alam semesta. Dalam mikrokosmos (bhuwana alit,diri manusia), ketiga unsur tri hita karana itu adalah meliputi jiwa/spirit sebagai zat penghidup manusia (ātma), energi yang dapat mengaktifkan pikiran dan badan fisik manusia.
            Oleh karena itu, ketiga faktor atau lapisan tersebut yaitu, parhyangan adalah meliputi nilai-nilai atau lapisan spiritual, pawongan yaitu meliputi lapisan sosiokultural, dan palemahan adalah meliputi lingkungan fisik-alamiah. Ketiga unsur dan nilai tersebut dapat juga diidentifikasi sebagai integrasi yang harmoni dari jiwa, tenaga/energi, dan fisik.
            Aspek parhyangan menyangkut harmonisasi hubungan antar manusia dengan Tuhan (lingkungan/lapisan spiritual/teologis), pawongan berkaitan dengan harmonisasi hubungan manusia dengan manusia (lingkungan/lapisan sosial/sosio-kultural), dan palemahan adalah harmonisasi hubungan manusia dengan lingkungan alam (ekologis).
            Hakikat dari filosofi tri hita karana adalah mengajarkan sikap hidup yang seimbang antara sradha kepada Tuhan, menghormati, mengasihi atau melayani antar sesama, dan menjaga kelestarian lingkungan alam, sesuai dengan swadharma masing-masing.
            Filosofi tri hita karana tersebut mengajarkan kepada kita tentang keseimbangan hubungan yang bersifat timbal balik antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesamanya, dan manusia dengan alam atau lingkungannya. Jadi, penghayatan dan pengamalan yang terpadu secara seimbang dari ketiga unsur tri hita karana ini akan mengantarkan pada keseimbangan, keselarasan, dan keserasian hidup yang memberi kebahagiaan lahir batin baik dalam dunia ini maupun nantinya setelah di alam sana sebagaimana yang menjadi cita-cita kehidupan.         
       

PARHYANGAN (Hubungan Manusia Dengan Tuhan)

             Hubungan manusia dengan Tuhan adalah hubungan dalam posisi vertikal antara ciptaan (sang jiwa individu) dengan Sang Penciptanya (Jiwa Agung Jiwa Kosmis). Hubungan ini merupakan hubungan yang bersifat spiritual dan sangat pribadi sekali sehingga  wujudnya sangat abstrak (niskala). Untuk dapat memahami sifat hubungan ini, kita memerlukan bantuan pengetahuan khusus tentang manusia dan Tuhan.
            Pertama-tama, yang disebut manusia adalah mahluk yang terdiri dari kombinasi badan, pikiran, dan ātma. Ketiga perangkat ini bersama-sama merupakan jenjang  bagi manusia untuk mendaki ke tingkat tertinggi.
1.    Tubuh manusia merupakan alat untuk melakukan kegiatan.
2.    Pikiran berhubungan dengan fungsi pengenalan.
3.    Àtma, kenyataan yang tidak berubah dan permanen, merupakan aspek ketuhanan dalam diri  manusia.
            Keberadaan (sang ātma), kegiatan (fungsi badan), dan pemahaman (fungsi dari pikiran), merupakan manifestasi rangkap tiga dari kepribadian manusia. Walaupun badan, pikiran, dan ātma memiliki nama dan karakteristik yang berbeda, penyelerasan dan penyatuan ketiga hal itu menolong manusia mangangkat dirinya dari tingkat manusiawi (Manawa) ke tingkat Tuhan (Madhawa). Sebaliknya, keterpisahan ketiga hal ini merendahkan manusia ke taraf hewani.
            Sifat dasar manusia adalah yang berkaitan dengan ketuhanan dan bukan dengan tubuh serta anggotanya. Bila manusia dalam hidupnya menghabiskan banyak waktu, usaha dan uang hanya untuk memelihara tubuh yang bersifat sementara, dan ia melupakan ātma  yang sejati, yang langgeng dan sadar, kehidupannya adalah sia-sia. Dalam kitab Kathopanisad, badan manusia dibandingkan dengan kereta, indera dibandingkan dengan kuda, pikiran merupakan kendali, dan buddhi adalah saisnya.

        “Ātmānam rathinam viddhi, śarīram ratham eva tu;
        buddhim tu sāradhim viddhi, mana pragraham eva ca.
        Indriyāni hayān āhur visayāms tesu gocarān,
        Ātmendriya-mano-yuktam bhoktety āhur manīsinah.”
                                                                                    (Kathopanisad I.3.3-4)
Terjemahannya :
        ‘Ketahuilah ātma sebagai penguasa dari kereta dan badan sesungguhnya adalah kereta
        dan ketahuilah buddhi sebagai kusir (sais) kereta dan pikiran sesungguhnya adalah kendalinya.
        Indria-indria kata mereka adalah kudanya; objek-objek indria adalah jalannya (yang akan mereka lalui);
        (ātman) yang berhubungan dengan raga, indria-indria dan pikiran, adalah penikmat, kata orang bijak’ (Radhakrishnan, 1989 : 342-343).

            Dari ayat Kathopanisad di atas diketahui bahwa pikiran terletak di antara indera dan buddhi. Jika pikiran mengikuti perintah buddhi, ia akan selamat. Sebaliknya, jika ia mengikuti segala keinginan dan angan-angan indera, ia akan menjadi budak indera dan menjadi korban kesedihan serta penderitaan yang tiada akhirnya.
            Pikiran adalah merupakan peralatan batin (antahkarana) yang terdiri dari empat aspek, yaitu :
1)    manas ‘proses pemikiran’;
2)    buddhi ‘intelek’;
3)    citta ‘daya ingat’; dan,
4)    ahamkara ‘ego, rasa keakuan’.
            Ketiga hal yang disebutkan terakhir adalah merupakan aspek manas yang halus. Nama khusus ini diberikan berdasarkan fungsi yang dilakukan.
1)    Jika pikiran sedang sibuk dalam proses pemikiran, ia disebut manas.
2)    Bila sedang sibuk dalam proses penyelidikan batin dan membeda-bedakan antara yang benar dan yang salah, ia disebut buddhi ‘intelek’.
3)    Bila berfungsi sebagai penyimpan ingatan, ia disebut citta.
4)    Bila menyamakan diri dengan badan jasmani dan merasa melakukan berbagai kegiatan, ia disebut ahamkara ‘ego’.
            Dengan demikian tampaklah bahwa pikiran itu walau sebenarnya satu, memperlihatkan berbagai bentuk semacam ini karena perbedaan peran yang diambilnya. Sesungguhnya hanya pikiranlah yang menyebabkan segala hal. Kitab-kitab suci menyatakan manomulam idam jagat ‘seluruh alam semesta ini tidak lain adalah proyeksi pikiran’.
            Oleh karena manusia berpikir dirinya adalah badan, maka berkaitan dengan tubuhnya, manusia cenderung salah paham dalam tiga hal, yaitu sebagai berikut.
1)    Menafsirkan dirinya sebagai sesuatu yang bukan dirinya yang sejati.
2)    Menganggap orang atau benda bukan miliknya sebagai miliknya.
3)    Menganggap hal yang sementara sebagai yang abadi.
Selama manusia masih berpikir bahwa tubuhnya dianggap sebagai dirinya yang sejati, ia akan selalu terbelenggu dalam keterikatan dan keterkekangan.
            Mengupayakan kebebasan dan bukannya keterkekangan adalah hak asasi manusia.  Jiwa manusia adalah kekal abadi, sempurna dan tak terbatas dan kematian hanya berarti perubahan dari satu badan ke badan yang lain.  Manusia dapat menjadikan dirinya layak untuk memproleh keabadian adalah dengan melewati serangkaian kelahiran dan kematian. Keadaannya sekarang ditentukan oleh perbuatannya pada masa lalu, dan keadaannya pada masa yang akan datang ditentukan oleh perbuatannya yang sekarang.  Jiwa terus muncul dari satu kelahiran dan ke kelahiran lain dan dari kematian ke kematian lain. Perubahan badan jasmani tersebut bukan berarti terjadinya perubahan pada sang roh (ātma, jiwa)
        Oleh karena itu, usaha yang harus dilakukan oleh manusia untuk dapat mencapai kesadaran ātman adalah dengan mengendalikan indrianya dan mengusahakan agar pikirannya selalu  tenang. Kitab-kitab suci menyatakan bahwa pikiran adalah merupakan satu-satunya kendala yang paling besar pada jalan penghayatan akan Tuhan.
Pikiran penuh dengan ego, ia menyukai kesenangan dan sombong. Ia lupa bahwa keberadaannya di dunia ini tidak lebih dari sekedar busa yang dapat pecah setiap saat, bahwa tubuh yang membungkus akhirnya akan musnah.
            Dikatakan bahwa seluruh dunia dengan suka dukanya, sifat baik dan buruk, benar dan tidak benar, adil serta tidak adil dan sebagainya, semua itu hanya ada di dalam pikiran.  Pikiran yang menciptakan bentuk dunia seseorang, seperti pernyataan dalam kitab suci demikian.  “Mana eva manushyānām kāranam bandha mokshayoh”,  ‘bagi manusia, manaslah yang menyebabkan perbudakan atau pun menganugerahkan kebebasan.
            Mengendalikan dan melatih pikiran adalah sangat penting bagi manusia. Dalam Bhagawadgita disebutkan bahwa, selama pikiran seseorang masih tertarik ke bawah menuju panca indera, ia adalah musuh, dan jika ia mulai meninggalkan panca  indera dan pulang ke rumah asalnya, yaitu yaitu menyatu ke dalam kesadaran ātma, maka pikiran akan menjadi teman bagi dirinya sendiri.  Oleh karena itu, bagi orang yang belum mengerti sedikit pun tentang kehidupan rohani, pikiran menjadi musuhnya karena ia sepenuhnya ada di bawah pengaruh panca indera.
            Seperti penjelasan di atas, bahwa pikiranlah yang menciptakan bentuk dunia seseorang. Pikiran adalah inti dari setiap tindakan seseorang; setiap gerakan timbul dari buah pikiran. Terkait dengan usaha untuk mengubah sikap hidup melalui pikiran,  maka berikut ini adalah satu metode untuk melatih pikiran melalui kemampuan olah mental berdasarkan pada pengetahuan.
            Sebelum seseorang  dapat memahami pikirannya, maka melalui bantuan pengetahuan kitab-kitab suci, seseorang  harus mulai menghayati bahwa dirinya yang sejati adalah ātma (jiwa, mahluk spiritual). Sang ātma (jiwa) berwujud setitik cahaya kesadaran atau energi spiritual yang bersemayam di dalam badan, dengan sifat-sifatnya yang alami yaitu, damai, bahagia, suci, kuat, cinta kasih, belas kasih, dan sifat-sifat luhur lainnya. Sang jiwa adalah merupakan pusat sumber segala inspirasi bagi pikiran.
            Selanjutnya untuk dapat memahami pikiran dalam hubungannya dengan kesadaran,  pengetahuan tentang hakikat pikiran perlu diketahui. Untuk lebih mudah dalam memahami pikiran, pikiran dapat diklasifikasikan menurut sumber dan jenisnya. Klasifikasi dari pikiran tersebut adalah sebagai berikut.
1)    Sumber pikiran.
        Sumber pikiran dibedakan menjadi dua, yaitu pikiran yang berasal dari luar diri dan dari dalam diri manusia.
        (1)   Sumber pikiran yang berasal dari luar adalah situasi di luar yang mempengaruhi kerja pikiran seseorang. Misalnya, seseorang melihat anjing liar di kejauhan sana, ia lalu mencari tempat yang aman; pikiran yang datang padanya  yaitu, anjing itu datang, saya harus mencari perlindungan. Ini adalah satu contoh pikiran yang datang dari luar, dan pikiran ini tidaklah penting.
        (2)   Pikiran yang datang dari dalam, biasanya berasal dari memori jiwa seseorang. Di samping itu pula, pikiran yang datang dari dalam ini bisa diciptakan secara sadar dan secara paksa; seseorang dapat memaksa dirinya  untuk menciptakan pola pikiran yang baik atau buruk.      
2)    Jenis-jenis pikiran.
        Ada beberapa jenis pikiran yang mampu diciptakan atau dihancurkan oleh seseorang. Beberapa jenis pikiran ini adalah merupakan sumber pikiran yang berasal dari dalam diri seseorang. Jenis-jenis pikiran tersebut adalah sebagai berikut.
        (1)   Pikiran perlu. Pikiran perlu adalah pikiran yang berkaitan dengan kebutuhan hidup sehari-hari. Sifatnya adalah netral, tidak posistif, juga tidak negatif. Contohnya : “Saya perlu tidur”, “Saya perlu istirahat”, “Saya perlu bekerja”, dan lain-lain.
        (2)   Pikiran sia-sia yaitu, pikiran yang tidak perlu. Contohnya yaitu pikiran tentang kekhawatiran, penyesalan, harapan-harapan, persaaan kurang nyaman, fanatik, dan lain sebagainya.
        (3)   Pikiran negatif yaitu, semua pikiran yang berlawanan dengan sifat-sifat jiwa, meliputi sad ripu yang terdiri dari : kama (hawa nafsu), lobha (tamak, rakus, serakah),  krodha (kemarahan), moha (kelekatan, kebingungan), mada (kesombongan), dan matsarya (iri hati).
        (4)   Pikiran positif yaitu, semua pikiran yang sesuai dengan sifat-sifat ātma (jiwa) seperti, berpikir tentang kedamaian, kesucian, kebahagiaan, cinta kasih, kekuatan, belas kasih, dan keselamatan.
            Dilihat dari jenis-jenis pikiran tersebut, maka keadaan ātma (jiwa) di dalam badan sesuai dengan jenis pikirannya dapat dibedakan menjadi dua.
1)    Orang yang masih hidup dalam tingkat kesadaran badan disebut dengan istilah papātma, dan keadaan pikirannya masih berada dalam golongan pikiran perlu, sia-sia, dan negatif.
2)    Orang yang telah berada dalam tingkat kesadaran ātma (jiwa), disebut dengan istilah devātma, keadaan pikirannya ada dalam golongan pikiran positif dan pikiran perlu. 
            Dari pengetahuan tentang sang diri dan hakikat tentang pikiran tersebut, seseorang mendapat masukan baru dalam pemahamnnya. Ia mulai menyadari kekeliruannya selama ini yang menganggap dirinya adalah badan. Di samping itu, ia juga dengan mudah mulai dapat mengetahui tentang kualifikasi dirinya. Berdasarkan pengetahuan tersebut, seseorang dapat mengecek keberadaannya. Bila pikirannya masih berkisar antara pikiran perlu, negatif, dan sia-sia, ia dapat dikategorikan masih berada dalam tingkatan papa ātma (hidup dalam berkesadaran badan), jika berada dalam kisaran pikiran perlu dan positif, maka dia sudah berada pada tingkatan deva ātma (hidup dalam berkesadaran ātma (diri sejati).
            Metode mengenai diri sejati dan hakikat dari pikiran sangat sederhana dan mudah dipahami. Hanya dengan menggunakan kekuatan intelek (akal budhi) untuk merenungkan pengetahuan tersebut, seseorang dengan segera dapat mengecek jenis dan kualitas pikirannya. Berdasarkan pengetahuan itu pula seseorang dapat dengan mudah mengubah pikirannya dengan mempraktekkan  cara-cara berpikir yang baru dan segar. Perubahan yang diciptakan dalam pola pikiran tersebut akan membawa pula perubahan pada sikap dan tingkah laku atau tindakan. 
            Jadi, agar seseorang dapat meluruskan atau mengatur pikirannya, ia harus memiliki mental yang jernih dan kualitas intelek (akal budhi) yang bagus atau berkesadaran ātma/jiwa. Dengan demikian,  ia akan dapat menyelidiki dengan jujur ke dalam dirinya sendiri untuk memeriksa atau mengecek pikirannya yang sia-sia, negatif, cacat atau berdosa yang mengendap, kemudian segera membuangnya dengan mengambil sikap pikiran positif dan perlu.
            Pengetahuan tentang jati diri maupun tentang sumber dan jenis-jenis pikiran, adalah merupakan tahapan pendahuluan untuk membuka pengertian atau pemahaman di dalam mental. Jika pengertian telah terbuka, maka kesadaran diri juga akan perlahan-lahan mulai timbul. Dengan tumbuhnya kesadaran dalam diri seseorang, maka kesadaran tersebut yang akan menjadi kekuatan utama dalam mengatur pikiran dan kegiatan .
            Jika sebelumnya seseorang menuruti alur pikirannya yang tak terkendali dan selalu terpencar ke sana ke mari, adalah karena pengertian dan kesadarannya masih tertutup. Seiring dengan terbukanya pengertian dan tumbuhnya kesadaran, maka kekuatan akal budhi atau kemampuan viveka seseorang mulai bangkit secara alamiah.  Dari itu, seseorang akan mulai mampu melihat ke dalam dirinya untuk mengecek atau melakukan introspeksi diri, dan menjadi saksi bagi pikiran maupun perasaannya sendiri.  Ketika seseorang mulai mampu menempatkan diri sebagai saksi bagi pikiran maupun perasaannya sendiri, hal tersebut menunjukkan bahwa kesadaran jiwa mulai bangkit.
            Karena diri sejati manusia adalah ātma (jiwa) yang suci, yang kaya dengan sifat-sifat luhur, dan merupakan sumber energi kehidupan di dalam diri, maka pengetahuan tentang pengenalan diri adalah untuk mengingatkan kembali sang diri tentang identitasnya yang sejati. Manusia kehilangan kekuatan kesucian dan sifat-sifat luhur yang merupakan sifatnya yang hakiki, karena ia telah lupa dan tidak menyadari dirinya yang sebenarnya. Dalam pada itu, pengetahuan adalah merupakan pedang tajam yang penuh dengan kekuatan, yang mampu membabat kealfaan yang membelenggu jiwa dan membangkitkan kembali kesadaran diri.
            Selanjutnya melalui disiplin rohani (yoga) seseorang harus melatih pikirannya dalam kesadaran diri sejati. Yoga merupakan satu usaha sistematis untuk mengendalikan pikiran dan mencapai kesempurnaan. Untuk menghilangkan kekaburan batin manusia,  karakternya perlu dirombak dengan pengetahuan mengenai diri sejati (ātma jñāna). Pertama-tama pembinaan fisik, mental, dan spiritual harus diarahkan untuk memperbaiki karakter. Manusia harus  melatih diri dalam cara-cara untuk memperoleh kedamaian dan kebahagiaan. Hal ini tidak tergantung pada dunia luar, dunia lahiriah, atau dunia objektif yang kasat mata. Manusia harus berlindung dalam ātma dan dalam merenungkan sifat-sifat ātma, atau dengan kata lain, manusia harus berlindung dalam diri sejati.  
             Kesadaran akan kenyataan sejati merupakan keadaan yang disebut mukti ‘kebebasan’. Jika ini dicapai, segala jenis kesusahan, kerja keras, kesangsian, dan kesulitan akan berakhir. Kemudian seseorang akan mengatasi dukacita, khayal, serta kecemasan, dan menetap dalam kedamaian yang suci. Selanjutnya dinyatakan bahwa kedamaian yang agung ini tidak perlu dicari di mana pun juga di luar diri karena ia memancar dalam antah karana yaitu ‘peralatan batin’ dalam diri sendiri. Kedamaian  suci ini merupakan landasan bagi dorongan untuk mencapai kebebasan (bersatunya kembali ātma/diri sejati dengan paramātma).
            Jika kebahagiaan dan kedamaian sejati adalah merupakan sifat alami sang ātma, lalu bagaimana peranan Tuhan dalam hubungannya dengan hal ini? Terkait dengan pertanyaan itu, Bhagawadgita menguraikan tentang pengetahuan Rāja Yoga yang semestinya diketahui oleh setiap orang agar ia dapat mencapai tujuan hidupnya. Bhagawadgita  melukiskan pengetahuan Rāja Yoga ini sebagai “rahasia tertinggi”, dan jalan menuju ke sana sebagai “jalan misteri tertinggi” atau rāja guhya yoga.
        “Rāja-vidyā rāja-guhyam
        pavitram idam uttamam,
        pratyaksāvagamam dharmyam
        su-sukham kartum avyayam.
                              (Bhagawadgita IX. 2)
Terjemahan :
        ‘Inilah raja ilmu pengetahuan, rahasia terbesar,
         mulia dan tinggi,
        mudah dimengerti, sesuai dengan dharma,
        baik dan menyenangkan untuk dilaksanakan dan kekal abadi’ (Pudja, 1999 : 222).

            Sebagai inti dari rājavidyā ini selanjutnya dalam Bhagawadgita disebutkan sebagai berikut.
        “Gatir bhartā prabhuh sāksī
        nivāsah śaranam suhrt,
        prabhavah pralayah sthānam
        nidhānam bījam avyayam.”
                                    (Bhagawadgita IX. 18)
Terjemahan :
        ‘Aku adalah tujuan, pengemban, penguasa, Aku adalah saksi,
         tempat kediaman, tempat perlindungan;
        Aku adalah kawan, asal mula, akhir kesudahan;
        Aku adalah dasar,  tempat penyimpanan, benih abadi’ (Pudja, 1999 : 234).
        “Ananyāś cintayanto mām
        ye janāh paryupāsate,
        tesām nityābhiyuktānām
        yoga-ksemam vahāmy aham.”
                                    (Bhagawadgita IX. 22)
Terjemahan :

        ‘Mereka yang hanya memuja-Ku saja,
        tanpa memikirkan yang lainnya lagi,
        yang senantiasa penuh pengabdian,
        kepada mereka Ku-bawakan segala apa yang mereka tidak punya dan Ku-lindungi segala apa yang mereka miliki’ (Pudja, 1999 : 236).

            Jika di atas telah dijelaskan secara singkat pengetahuan tentang manusia, maka selanjutnya pengetahuan tentang Tuhan,‘rājavidyā’ secara garis besar dijelaskan dalam Bhagawadgita. Inti dari rājavidyā  yang disebutkan dalam Bhagawadgita yaitu bahwa Tuhanlah sesungguhnya yang menjadi tujuan dari hidup dan kehidupan. Beliaulah satu-satunya Pengemban, Penguasa, Saksi, Tempat Kediaman, Tempat Perlindungan, Kawan, Asal Mula, Akhir Kesudahan, dan Yang Menjadi Dasar, Tempat Penyimpanan, Benih Abadi. Untuk dapat mencapai Tuhan sebagai tujuan hidup, maka cara yang ditunjukkan adalah sangat sederhana sekali yaitu, hanya dengan memuja satu Tuhan dan tanpa memikirkan yang lain. Manusia hanya memiliki satu kewajiban dalam hidupnya yaitu, hanya mengingat yang satu atau Tuhan.
            Tuhan adalah perwujudan  dari Sat-cit-anandam (Keberadaan, Kesadaran, dan Kebahagiaan). Beliau adalah Karuna-sagara ‘lautan cinta kasih’. Untuk dapat menarik cinta kasih Beliau, maka Beliau harus didekati dengan cinta kasih pula. Untuk mendapat kekuatan dari Beliau, maka seseorang harus memiliki  keberanian dan membebaskan diri dari segala kelemahan serta bangkit  dalam sifat-sifat ketuhanan yang memang telah menjadi sifat dasarnya.  Oleh karena itu, hanya melalui kesadaran ātma (jiwa)-lah seseorang dapat menyelaraskan sifat-sifatnya dengan Tuhan ‘paramātma’.  Sang ātma-lah yang dapat melakukan hubungan dengan paramātma, dan hanya sang ātma yang dapat memahami hubungan tersebut dalam kesadarannya.  Inilah yang dimaksud dengan yoga yang sebenarnya, yaitu terjadinya hubungan yang murni antara  ātma dengan paramātma.
            Pikiran hanya dapat diarahkan kepada Tuhan secara konstan adalah setelah pikiran sepenuhnya ada di bawah kendali ātman. Jika tidak demikian, atau seseorang masih ada dalam kesadaran badan, maka pikirannya tidak dapat menjadi stabil, karena masih terombang-ambing terseret di bawah pengaruh objek indera-indera fisik. Untuk itulah pikiran perlu dilatih dengan sadhana rohani yang konstan dan di arahkan agar ia selalu dapat difokuskan hanya kepada Tuhan, tidak dengan yang lainnya. Inilah hakekat atau tujuan yang dikehendaki oleh pelaksanaan dan penghayatan dari parhyangan.


PAWONGAN (Hubungan Manusia Dengan Manusia)

            Hubungan manusia dengan manusia adalah merupakan suatu hubungan horizontal yang sejajar. Adanya hubungan timbal balik yang harmonis antara sesama manusia, akan membangkitkan kasih universal yang mendatangkan kebahagiaan dan kedamaian bagi kehidupan manusia.
            Inti pandangan Weda yang universal adalah mengakui segala keaneka ragaman dalam bahasa dan upacara keagamaan. Tujuannya adalah untuk menciptakan kesatuan dalam kebhinekaan, dan bukan keseragaman.

            “Semoga bumi yang dihuni oleh orang yang menggunakan berbagai bahsa, dengan upacara agama yang beraneka ragam sesuai dengan tempat tinggal, berilah kami kekayaan yang berlimpah, laksana sapi perahan yang selalu memberi susu”  (Atharvaveda XII.1.45).

            Di tengah-tengah kehidupan yang pluralisme di dunia ini, kita juga  menemukan
banyak sabda suci Tuhan Yang Maha Esa yang mengamanatkan untuk menumbuhkembangkan kerukunan hidup, dan rasa saling menghargai terhadap sesama dengan tidak membedakan tentang agama, warna kulit, jenis kelamin, golongan, umur, dan lain sebagainya. Beberapa amanat tersebut adalah sebagai berikut.

            “Aku satukan pikiran dan langkahmu untuk mewujudkan kerukunan di antara kamu. Aku bimbing mereka yang berbuat salah menuju jalan yang benar” (Atharvaveda III. 6.5).

            “Wahai umat manusia! Bersatulah dan rukunlah kamu seperti menyatunya para dewata. Aku telah anugerahkan hal yang sama kepadamu, oleh karena itu ciptakanlah persatuan di antara kamu” (Atharvaveda III.30.4).

            “Wahai umat manusia! Hiduplah dalam harmoni dan kerukunan. Hendaklah bersatu dan bekerja sama. Berbicaralah dengan satu bahasa dan ambillah keputusan dengan satu pikiran. Seperti orang-orang suci di masa lalu yang telah melaksanakan kewajibannya, hendaklah kamu tidak goyah dalam melaksanakan kewajibanmu” (Rgveda X. 191.2).

            “Wahai umat manusia! Pikirkanlah bersama. Bermusyawarhlah bersama. Satukanlah hati dan pikiranmu satu dengan yang lain. Aku anugerahlan pikiran dan idea yang sama dan fasilitas yang sama pula untuk kerukunan hidupmu”  (Rgveda X. 191.3).

            Wahai umat manusia! Milikilah perhatian yang sama. Tumbuhkan saling pengertian di antara kamu di antara kamu. Dengan demikian engkau dapat mewujudkan kerukunan dan kesatuan”  (Rgveda X. 191.4).

            Di samping sabda Tuhan Yang Maha Esa seperti yang telah disebutkan di atas, banyak pula ajaran lainnya yang bersumber pada kitab-kitab suci yang menganjurkan untuk senantiasa hidup rukun antar sesama amnesia dan bahkan antar sesama ciptaan-Nya. Dalam doa puja sehari-hari  kita dipanjatkan pula mantra yang universal untuk kebahagiaan semua mahluk, “sarva prani hitangkarah”, ‘semoga semua mahluk (yang bernafas) senantiasa sejahtera, demikian pula Santhi mantram atau Subhasita dalam mantram berikut. “Sarve sukino bhavantu, sarve úantu niramayah, sarve bhadrani pasyantu, ma kacid duhkha bhag bhavet”, ‘ Semoga semuanya menjadi bahagia, semoga semuanya terbebas dari cacat, semoga semuanya mendapatkan keberuntungan, semoga tiada menderita suatu kesedihan’.
            Pandangan tersebut dilandasi oleh ajaran suci Weda yang menyatakan bahwa,  semua mahluk sesungguhnya bersaudara. “Vasudhaiwa kutumbakam”, ‘Seluruh dunia adalah keluarga besar’. Kesadaran terhadap persaudaraan dan persatuan semesta ini menuntut kepada umat manusia untuk senantiasa mengembangkan kerukunan hidup yang dinamis.
            Dengan pandangan kesatuan ini, ajaran agama Hindu menghendaki bahwa seseorang itu mampu memandang setiap manusia dan bahkan semua mahluk lainnya seperti dirinya sendiri, ia adalah saudara sendiri. Apa yang dijelaskan dalam mantram-mantram Weda di atas adalah merupakan inti dari konsep pawongan dari unsur tri hita karana.
            Unsur pawongan bertujuan menuntun seseorang dalam mengembangkan cinta kasih universal. Kasih yang universal adalah makanan yang menopang hidup. Kasih adalah nafas hidup manusia. Kemurahan hati adalah semangat yang memberikan keharuman hidup. Untuk tujuan tersebut, pada mulanya harus ada kesadaran bahwa ketuhanan itu ada dalam segala mahluk dan menguasai seluruh alam semesta. Karena untuk menangkap sifat ketuhanan, kesatuan yang termasuk dalam keanekaragaman harus dipahami. Sepanjang tiada pemahaman pada sifat ketuhanan, tak akan ada pengertian yang benar bahkan pada sifat-sifat kemanusiaan itu sendiri.



PALEMAHAN (Hubungan Manusia Dengan Alam Lingkungannya)

            Alam adalah manifestasi dari badan Tuhan. Alam adalah merupakan perwujudan dari sathyam ‘kebenaran’, sivam ‘kebajikan’ dan  sundaram ‘keindahan’, yang kasat mata dari keagungan Tuhan. Alam adalah secara langsung menopang kehidupan manusia dan mahluk hidup lainnya.   
            Hidup manusia adalah menyatu dengan alam. Hubungan manusia dengan alam adalah merupakan hubungan yang bersifat kekal abadi, karena manusia selalu akan hidup di alam semesta ini. Saling ketergantungan secara langsung antara manusia dengan alam sangat erat. Alam semesta, di samping merupakan tempat ajang latihan bagi manusia dalam meningkatkan kualitas hidup dan kehidupannya, alam juga merupakan sumber kehidupan yang menyediakan makanan dan berbagai macam fasilitas untuk kebutuhan dan kelangsungan hidup manusia.
            Oleh karena hidup manusia bergantung secara langsung dengan alam lingkungannya, maka manusia harus memelihara dan menjaga kelestarian alam dan lingkungannya. Dalam hubungan ini, kitab suci Weda menyatakan tentang berbagai manfaat yang diberikan oleh alam kepada mahluk hidup, sekaligus juga menghimbau agar umat manusia selalu menjaga kelestariannya demi kesejahteraan dan kebahagiaan manusia itu sendiri.

            “Para orang bijaksana mendapati bahwa ada tiga benda yang menutupi seluruh alam semesta. Mereka memiliki bentuk-bentuk yang berbeda-beda dan aspek-aspek yang berbeda-beda. Mereka mengamati segalanya. Mereka adalah air, udara, dan tanaman. Benda-benda ini disediakan untuk setiap dunia” (Atharvaveda XVIII.1.17).

            “Ada sebuah garis keliling dari sebuah bulatan (paridhi) di setiap dunia untuk umat manusia dan ada sebuah inti (antardhi) yang adalah sumber tenaga (energi) untuk alam semesta”  (Atharvaveda XII.2.44).

            “Siapa pun, apakah umat manusia ataukah binatang, hidup dengan selamat, di mana kebersihan atmosfir (Brahman) dipelihara dengan segala cara untuk tujuan hidup”  (Atharvaveda VIII.2.25).

            “Sang bumi menyediakan permukaan bumi bagi tumbuh-tumbuhan karena pengaruh green hause. Sang api menyediakan besi. Tumbuh-tumbuhan dan tanaman yang memiliki perpaduan dengan sinar matahari, menyediakan atmosfir yang menyenangkan untuk penciptaan” (Atharvaveda V.25.5).
            “Tanam-tanaman dan tumbuh-tumbuhan menghancurkan pengaruh atmosfir yang beracun” (Atharvaveda VIII.7.10).

            “Tanam-tanaman memiliki sifat-sifat semua para dewa. Mereka adalah para juru selamat kemanusiaan”  (Atharvaveda VIII.7.4).

            “Tanam-tanaman memberi makan dan melindungi alam semesta, oleh karenanya mereka disebut para ibu”  (Rgveda X.97.4).

            “Janganlah menebang pohon-pohon itu, karena mereka menyingkirkan pencemaran”  (Rgveda VI.48.17).

            “Janganlah mencemari air dan janganlah menyakiti atau menebang pohon-pohon itu”  (Yajurveda VI.22).

            “Janganlah mengganggu langit dan janganlah mencemari atmosfir”  (Yajurveda V.43).
           
            “Selalulah memperkuat dan memberi makan kepada bumi. Janganlah mencemarinya’  (Maitrayani samhita II.8.14).

            Di samping mantram-mantran yang telah disebutkan di atas, masih banyak lagi ada mantram yang berkaitan dengan manfaat yang diberikan alam kepada manusia dan himbauan yang mesti dilaksanakan oleh manusia untuk menjaga kelestariannya demi kepentingan manusia dan mahluk hidup di dalamnya. Oleh karena itu, manusia seharusnya selalu menjaga  keselarasan dengan alam, bukan ditundukkan oleh alam atau mengeksplotasi alam, seperti yang dikehendaki dalam Santhi mantram berikut ini.

            “Damai di langit, damai di angkasa, damai di bumi, damai di air, damai pada tetumbuhan, damai pada pepohonan, damai pada semua dewa, damai pada Brahman, damai dalam alam semesta, damai dalam kedamaian, semoga kami mendapat kedamaian itu” (Yajurveda XXXVI.17).

            Beberapa  uraian mantram-mantram di atas adalah merupakan inti dari konsep palemahan. Bhagawan Weda sesungguhnya telah mengisyaratkan segala sesuatu yang berkaitan dengan kebutuhan hidup manusia agar manusia dapat mencapai kebahagiaan dan kedamaian yang sejati. Namun demikian, kebanyakan umat manusia tertutup mata dan telinganya sehingga ia tidak lagi dapat melihat keindahan akan keagungan Tuhan yang mesti ia syukuri sebagai berkah yang tiada ternilai, dan tidak dapat mendengar merdunya suara senandung kehidupan, sekalipun ia berada di dalamnya.
            Dari beberapa poin yang telah diuraikan di atas, jelaslah tampak bahwa konsep tri hita karana mengandung makna yang sangat luas dan dalam. Untuk dapat menghayatinya, seseorang perlu melakukan perenungan yang mendalam. Yang pasti, Tuhan telah menyiapkan segala sesuatunya, sekarang manusia hanya tinggal yang menyikapinya.
           


PENUTUP
      
            Nilai filosofis dari konsep Tri Hita Karana sesungguhnya mengingatkan kepada kita tentang hubungan kesatuan yang abadi dan suci antara  prakrti (dunia yang terlihat) dengan manusia (jiwātma) dan Tuhan (Paramātma, Jiwa Tertinggi). Ini sangat erat berkaitan antara satu dengan yang lain. Ketiganya tidak terpisahkan. Hubungan antara Paramātma dan prakrti (Tuhan dan alam), adalah sama seperti hubungan ibu dan anak. Hubungan manusia dengan masyarakat adalah sama seperti lebah dan bungan. Sebagaimana seorang anak mendapat air susu ibunya, sebagaimana lebah mendapat madu dari bunga, manusia harus menikmati pemberian Alam.
            Manusia harus menganggap dirinya sebagai anggota masyarakat dan membantu dalam mensejahterakan masyarakat. Masyarakat  adalah bagian dari prakrti (alam) dan prakrti adalah bagian dari Paramātma/Jiwa Tertinggi. Jadi ada hubungan yang erat antara manusia dan Tuhan. Alam lebih maju dari pada manusia dan untuk melindungi alam, manusia harus mendayagunakannya dalam batas tertentu. Jika manusia merusak alam dengan serampangan, alam akan bereaksi secara bermusuhan dan kesulitan pun timbul. Untuk melindungi alam, manusia harus mempraktekkan pembatasan keinginan. Janganlah ia memicu segi negatif alam.                 




                       

HIDUP HARMONI DALAM BINGKAI TRI HITA KARANA
Oleh : Ni Nyoman Purnami, S.Ag., M.Ag.


FILISOFI TRI HITA KARANA

            Tujuan hidup dalam ajaran agama Hindu yaitu “Moksārtham jagaddhita ya ca iti dharma” yang artinya bahwa : tujuan hidup manusia  adalah untuk kebahagiaan di dunia ini dan kehidupan di alam sana dengan berlandaskan ajaran dharma
            Sarasamuscaya, 12, menyatakan :
“Pada hakekatnya, jika artha dan kama dituntut, maka seharusnya dharma hendaknya dilakukan lebih dulu, tak tersangsikan lagi, pasti akan diperoleh artha dan kama nanti, tidak akan ada artinya, jika artha dan kama itu diperoleh menyimpang dari dharma”.
            Dari uraian tersebut diketahui bahwa konsepsi Catur Purusa-artha, adalah jabaran “tujuan hidup” menurut ajaran Hindu, sedangkan konsepsi Catur Àsrama adalah merupakan tahapan pencapaian dari tujuan tersebut, dan konsepsi Tri Hita Karana adalah sebagai landasan untuk mewujudkan tujuan tersebut.
            Berbicara tentang tri hita karana atau tiga unsur atau lapisan penyebab timbulnya kebahagiaan atau tiga faktor untuk mewujudkan kesejahteraan/kebahagiaan hidup lahir batin, dalam berbagai wacana kerapkali terdengar penyempitan pemaknaan terhadap konsep yang bernilai universal ini. Masih banyak yang beranggapan bahwa tri hita karana tersebut hanya semata-mata mencakup pemberdayaan urusan fisik teritorial desa adat/pakraman seperti :
i)     menjaga kesucian pura serta optimalisasi fungsi pura dalam mengimbangai tingkat pekembangan umat dan perubahan masyarakat, dianggap sebagai parhyangan;
ii)    meningkatkan pemahaman dan pendalaman ajaran Hindu bagi krama dan prajuru atau peningkatan kemampuan sosial control dari pemuka desa, dianggap sebagai pawongan; dan,
iii)   mempertahankan kesucian wilayah desa pakraman pelestarian tanah-tanah Palemahan yang berfungsi sebagai pengikat karma, dinggap sebagai palemahan.
            Pemahaman dan pemaknaan tri hita karana hanya sebatas pengertian tersebut di atas telah mengecilkan eksistensi dan esensi, universalitas dan keluhurannya. Tri hita karana sesungguhnya bukan saja bersifat universal, tetapi sekaligus totalitas meliputi alam semesta (bhuwana agung, makrokosmos), dan tidak kehilangan makna untuk sebuah pulau, satu wilayah, satu desa, satu pekarangan, satu bangunan, satu ruangan, bahkan untuk diri manusia.
            Ketiga unsur tri hita karana dalam makrokosmos (bhuwana agung) meliputi jiwa alam (Brahman/Tuhan Yang Maha Esa), manusia yang memiliki tri pramana (bayu, sabda, idep) sebagai pengelola dan penggerak alam, dan fisik alam selaku tubuh kasar alam semesta. Dalam mikrokosmos (bhuwana alit,diri manusia), ketiga unsur tri hita karana itu adalah meliputi jiwa/spirit sebagai zat penghidup manusia (ātma), energi yang dapat mengaktifkan pikiran dan badan fisik manusia.
            Oleh karena itu, ketiga faktor atau lapisan tersebut yaitu, parhyangan adalah meliputi nilai-nilai atau lapisan spiritual, pawongan yaitu meliputi lapisan sosiokultural, dan palemahan adalah meliputi lingkungan fisik-alamiah. Ketiga unsur dan nilai tersebut dapat juga diidentifikasi sebagai integrasi yang harmoni dari jiwa, tenaga/energi, dan fisik.
            Aspek parhyangan menyangkut harmonisasi hubungan antar manusia dengan Tuhan (lingkungan/lapisan spiritual/teologis), pawongan berkaitan dengan harmonisasi hubungan manusia dengan manusia (lingkungan/lapisan sosial/sosio-kultural), dan palemahan adalah harmonisasi hubungan manusia dengan lingkungan alam (ekologis).
            Hakikat dari filosofi tri hita karana adalah mengajarkan sikap hidup yang seimbang antara sradha kepada Tuhan, menghormati, mengasihi atau melayani antar sesama, dan menjaga kelestarian lingkungan alam, sesuai dengan swadharma masing-masing.
            Filosofi tri hita karana tersebut mengajarkan kepada kita tentang keseimbangan hubungan yang bersifat timbal balik antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesamanya, dan manusia dengan alam atau lingkungannya. Jadi, penghayatan dan pengamalan yang terpadu secara seimbang dari ketiga unsur tri hita karana ini akan mengantarkan pada keseimbangan, keselarasan, dan keserasian hidup yang memberi kebahagiaan lahir batin baik dalam dunia ini maupun nantinya setelah di alam sana sebagaimana yang menjadi cita-cita kehidupan.         
       

PARHYANGAN (Hubungan Manusia Dengan Tuhan)

             Hubungan manusia dengan Tuhan adalah hubungan dalam posisi vertikal antara ciptaan (sang jiwa individu) dengan Sang Penciptanya (Jiwa Agung Jiwa Kosmis). Hubungan ini merupakan hubungan yang bersifat spiritual dan sangat pribadi sekali sehingga  wujudnya sangat abstrak (niskala). Untuk dapat memahami sifat hubungan ini, kita memerlukan bantuan pengetahuan khusus tentang manusia dan Tuhan.
            Pertama-tama, yang disebut manusia adalah mahluk yang terdiri dari kombinasi badan, pikiran, dan ātma. Ketiga perangkat ini bersama-sama merupakan jenjang  bagi manusia untuk mendaki ke tingkat tertinggi.
1.    Tubuh manusia merupakan alat untuk melakukan kegiatan.
2.    Pikiran berhubungan dengan fungsi pengenalan.
3.    Àtma, kenyataan yang tidak berubah dan permanen, merupakan aspek ketuhanan dalam diri  manusia.
            Keberadaan (sang ātma), kegiatan (fungsi badan), dan pemahaman (fungsi dari pikiran), merupakan manifestasi rangkap tiga dari kepribadian manusia. Walaupun badan, pikiran, dan ātma memiliki nama dan karakteristik yang berbeda, penyelerasan dan penyatuan ketiga hal itu menolong manusia mangangkat dirinya dari tingkat manusiawi (Manawa) ke tingkat Tuhan (Madhawa). Sebaliknya, keterpisahan ketiga hal ini merendahkan manusia ke taraf hewani.
            Sifat dasar manusia adalah yang berkaitan dengan ketuhanan dan bukan dengan tubuh serta anggotanya. Bila manusia dalam hidupnya menghabiskan banyak waktu, usaha dan uang hanya untuk memelihara tubuh yang bersifat sementara, dan ia melupakan ātma  yang sejati, yang langgeng dan sadar, kehidupannya adalah sia-sia. Dalam kitab Kathopanisad, badan manusia dibandingkan dengan kereta, indera dibandingkan dengan kuda, pikiran merupakan kendali, dan buddhi adalah saisnya.

        “Ātmānam rathinam viddhi, śarīram ratham eva tu;
        buddhim tu sāradhim viddhi, mana pragraham eva ca.
        Indriyāni hayān āhur visayāms tesu gocarān,
        Ātmendriya-mano-yuktam bhoktety āhur manīsinah.”
                                                                                    (Kathopanisad I.3.3-4)
Terjemahannya :
        ‘Ketahuilah ātma sebagai penguasa dari kereta dan badan sesungguhnya adalah kereta
        dan ketahuilah buddhi sebagai kusir (sais) kereta dan pikiran sesungguhnya adalah kendalinya.
        Indria-indria kata mereka adalah kudanya; objek-objek indria adalah jalannya (yang akan mereka lalui);
        (ātman) yang berhubungan dengan raga, indria-indria dan pikiran, adalah penikmat, kata orang bijak’ (Radhakrishnan, 1989 : 342-343).

            Dari ayat Kathopanisad di atas diketahui bahwa pikiran terletak di antara indera dan buddhi. Jika pikiran mengikuti perintah buddhi, ia akan selamat. Sebaliknya, jika ia mengikuti segala keinginan dan angan-angan indera, ia akan menjadi budak indera dan menjadi korban kesedihan serta penderitaan yang tiada akhirnya.
            Pikiran adalah merupakan peralatan batin (antahkarana) yang terdiri dari empat aspek, yaitu :
1)    manas ‘proses pemikiran’;
2)    buddhi ‘intelek’;
3)    citta ‘daya ingat’; dan,
4)    ahamkara ‘ego, rasa keakuan’.
            Ketiga hal yang disebutkan terakhir adalah merupakan aspek manas yang halus. Nama khusus ini diberikan berdasarkan fungsi yang dilakukan.
1)    Jika pikiran sedang sibuk dalam proses pemikiran, ia disebut manas.
2)    Bila sedang sibuk dalam proses penyelidikan batin dan membeda-bedakan antara yang benar dan yang salah, ia disebut buddhi ‘intelek’.
3)    Bila berfungsi sebagai penyimpan ingatan, ia disebut citta.
4)    Bila menyamakan diri dengan badan jasmani dan merasa melakukan berbagai kegiatan, ia disebut ahamkara ‘ego’.
            Dengan demikian tampaklah bahwa pikiran itu walau sebenarnya satu, memperlihatkan berbagai bentuk semacam ini karena perbedaan peran yang diambilnya. Sesungguhnya hanya pikiranlah yang menyebabkan segala hal. Kitab-kitab suci menyatakan manomulam idam jagat ‘seluruh alam semesta ini tidak lain adalah proyeksi pikiran’.
            Oleh karena manusia berpikir dirinya adalah badan, maka berkaitan dengan tubuhnya, manusia cenderung salah paham dalam tiga hal, yaitu sebagai berikut.
1)    Menafsirkan dirinya sebagai sesuatu yang bukan dirinya yang sejati.
2)    Menganggap orang atau benda bukan miliknya sebagai miliknya.
3)    Menganggap hal yang sementara sebagai yang abadi.
Selama manusia masih berpikir bahwa tubuhnya dianggap sebagai dirinya yang sejati, ia akan selalu terbelenggu dalam keterikatan dan keterkekangan.
            Mengupayakan kebebasan dan bukannya keterkekangan adalah hak asasi manusia.  Jiwa manusia adalah kekal abadi, sempurna dan tak terbatas dan kematian hanya berarti perubahan dari satu badan ke badan yang lain.  Manusia dapat menjadikan dirinya layak untuk memproleh keabadian adalah dengan melewati serangkaian kelahiran dan kematian. Keadaannya sekarang ditentukan oleh perbuatannya pada masa lalu, dan keadaannya pada masa yang akan datang ditentukan oleh perbuatannya yang sekarang.  Jiwa terus muncul dari satu kelahiran dan ke kelahiran lain dan dari kematian ke kematian lain. Perubahan badan jasmani tersebut bukan berarti terjadinya perubahan pada sang roh (ātma, jiwa)
        Oleh karena itu, usaha yang harus dilakukan oleh manusia untuk dapat mencapai kesadaran ātman adalah dengan mengendalikan indrianya dan mengusahakan agar pikirannya selalu  tenang. Kitab-kitab suci menyatakan bahwa pikiran adalah merupakan satu-satunya kendala yang paling besar pada jalan penghayatan akan Tuhan.
Pikiran penuh dengan ego, ia menyukai kesenangan dan sombong. Ia lupa bahwa keberadaannya di dunia ini tidak lebih dari sekedar busa yang dapat pecah setiap saat, bahwa tubuh yang membungkus akhirnya akan musnah.
            Dikatakan bahwa seluruh dunia dengan suka dukanya, sifat baik dan buruk, benar dan tidak benar, adil serta tidak adil dan sebagainya, semua itu hanya ada di dalam pikiran.  Pikiran yang menciptakan bentuk dunia seseorang, seperti pernyataan dalam kitab suci demikian.  “Mana eva manushyānām kāranam bandha mokshayoh”,  ‘bagi manusia, manaslah yang menyebabkan perbudakan atau pun menganugerahkan kebebasan.
            Mengendalikan dan melatih pikiran adalah sangat penting bagi manusia. Dalam Bhagawadgita disebutkan bahwa, selama pikiran seseorang masih tertarik ke bawah menuju panca indera, ia adalah musuh, dan jika ia mulai meninggalkan panca  indera dan pulang ke rumah asalnya, yaitu yaitu menyatu ke dalam kesadaran ātma, maka pikiran akan menjadi teman bagi dirinya sendiri.  Oleh karena itu, bagi orang yang belum mengerti sedikit pun tentang kehidupan rohani, pikiran menjadi musuhnya karena ia sepenuhnya ada di bawah pengaruh panca indera.
            Seperti penjelasan di atas, bahwa pikiranlah yang menciptakan bentuk dunia seseorang. Pikiran adalah inti dari setiap tindakan seseorang; setiap gerakan timbul dari buah pikiran. Terkait dengan usaha untuk mengubah sikap hidup melalui pikiran,  maka berikut ini adalah satu metode untuk melatih pikiran melalui kemampuan olah mental berdasarkan pada pengetahuan.
            Sebelum seseorang  dapat memahami pikirannya, maka melalui bantuan pengetahuan kitab-kitab suci, seseorang  harus mulai menghayati bahwa dirinya yang sejati adalah ātma (jiwa, mahluk spiritual). Sang ātma (jiwa) berwujud setitik cahaya kesadaran atau energi spiritual yang bersemayam di dalam badan, dengan sifat-sifatnya yang alami yaitu, damai, bahagia, suci, kuat, cinta kasih, belas kasih, dan sifat-sifat luhur lainnya. Sang jiwa adalah merupakan pusat sumber segala inspirasi bagi pikiran.
            Selanjutnya untuk dapat memahami pikiran dalam hubungannya dengan kesadaran,  pengetahuan tentang hakikat pikiran perlu diketahui. Untuk lebih mudah dalam memahami pikiran, pikiran dapat diklasifikasikan menurut sumber dan jenisnya. Klasifikasi dari pikiran tersebut adalah sebagai berikut.
1)    Sumber pikiran.
        Sumber pikiran dibedakan menjadi dua, yaitu pikiran yang berasal dari luar diri dan dari dalam diri manusia.
        (1)   Sumber pikiran yang berasal dari luar adalah situasi di luar yang mempengaruhi kerja pikiran seseorang. Misalnya, seseorang melihat anjing liar di kejauhan sana, ia lalu mencari tempat yang aman; pikiran yang datang padanya  yaitu, anjing itu datang, saya harus mencari perlindungan. Ini adalah satu contoh pikiran yang datang dari luar, dan pikiran ini tidaklah penting.
        (2)   Pikiran yang datang dari dalam, biasanya berasal dari memori jiwa seseorang. Di samping itu pula, pikiran yang datang dari dalam ini bisa diciptakan secara sadar dan secara paksa; seseorang dapat memaksa dirinya  untuk menciptakan pola pikiran yang baik atau buruk.      
2)    Jenis-jenis pikiran.
        Ada beberapa jenis pikiran yang mampu diciptakan atau dihancurkan oleh seseorang. Beberapa jenis pikiran ini adalah merupakan sumber pikiran yang berasal dari dalam diri seseorang. Jenis-jenis pikiran tersebut adalah sebagai berikut.
        (1)   Pikiran perlu. Pikiran perlu adalah pikiran yang berkaitan dengan kebutuhan hidup sehari-hari. Sifatnya adalah netral, tidak posistif, juga tidak negatif. Contohnya : “Saya perlu tidur”, “Saya perlu istirahat”, “Saya perlu bekerja”, dan lain-lain.
        (2)   Pikiran sia-sia yaitu, pikiran yang tidak perlu. Contohnya yaitu pikiran tentang kekhawatiran, penyesalan, harapan-harapan, persaaan kurang nyaman, fanatik, dan lain sebagainya.
        (3)   Pikiran negatif yaitu, semua pikiran yang berlawanan dengan sifat-sifat jiwa, meliputi sad ripu yang terdiri dari : kama (hawa nafsu), lobha (tamak, rakus, serakah),  krodha (kemarahan), moha (kelekatan, kebingungan), mada (kesombongan), dan matsarya (iri hati).
        (4)   Pikiran positif yaitu, semua pikiran yang sesuai dengan sifat-sifat ātma (jiwa) seperti, berpikir tentang kedamaian, kesucian, kebahagiaan, cinta kasih, kekuatan, belas kasih, dan keselamatan.
            Dilihat dari jenis-jenis pikiran tersebut, maka keadaan ātma (jiwa) di dalam badan sesuai dengan jenis pikirannya dapat dibedakan menjadi dua.
1)    Orang yang masih hidup dalam tingkat kesadaran badan disebut dengan istilah papātma, dan keadaan pikirannya masih berada dalam golongan pikiran perlu, sia-sia, dan negatif.
2)    Orang yang telah berada dalam tingkat kesadaran ātma (jiwa), disebut dengan istilah devātma, keadaan pikirannya ada dalam golongan pikiran positif dan pikiran perlu. 
            Dari pengetahuan tentang sang diri dan hakikat tentang pikiran tersebut, seseorang mendapat masukan baru dalam pemahamnnya. Ia mulai menyadari kekeliruannya selama ini yang menganggap dirinya adalah badan. Di samping itu, ia juga dengan mudah mulai dapat mengetahui tentang kualifikasi dirinya. Berdasarkan pengetahuan tersebut, seseorang dapat mengecek keberadaannya. Bila pikirannya masih berkisar antara pikiran perlu, negatif, dan sia-sia, ia dapat dikategorikan masih berada dalam tingkatan papa ātma (hidup dalam berkesadaran badan), jika berada dalam kisaran pikiran perlu dan positif, maka dia sudah berada pada tingkatan deva ātma (hidup dalam berkesadaran ātma (diri sejati).
            Metode mengenai diri sejati dan hakikat dari pikiran sangat sederhana dan mudah dipahami. Hanya dengan menggunakan kekuatan intelek (akal budhi) untuk merenungkan pengetahuan tersebut, seseorang dengan segera dapat mengecek jenis dan kualitas pikirannya. Berdasarkan pengetahuan itu pula seseorang dapat dengan mudah mengubah pikirannya dengan mempraktekkan  cara-cara berpikir yang baru dan segar. Perubahan yang diciptakan dalam pola pikiran tersebut akan membawa pula perubahan pada sikap dan tingkah laku atau tindakan. 
            Jadi, agar seseorang dapat meluruskan atau mengatur pikirannya, ia harus memiliki mental yang jernih dan kualitas intelek (akal budhi) yang bagus atau berkesadaran ātma/jiwa. Dengan demikian,  ia akan dapat menyelidiki dengan jujur ke dalam dirinya sendiri untuk memeriksa atau mengecek pikirannya yang sia-sia, negatif, cacat atau berdosa yang mengendap, kemudian segera membuangnya dengan mengambil sikap pikiran positif dan perlu.
            Pengetahuan tentang jati diri maupun tentang sumber dan jenis-jenis pikiran, adalah merupakan tahapan pendahuluan untuk membuka pengertian atau pemahaman di dalam mental. Jika pengertian telah terbuka, maka kesadaran diri juga akan perlahan-lahan mulai timbul. Dengan tumbuhnya kesadaran dalam diri seseorang, maka kesadaran tersebut yang akan menjadi kekuatan utama dalam mengatur pikiran dan kegiatan .
            Jika sebelumnya seseorang menuruti alur pikirannya yang tak terkendali dan selalu terpencar ke sana ke mari, adalah karena pengertian dan kesadarannya masih tertutup. Seiring dengan terbukanya pengertian dan tumbuhnya kesadaran, maka kekuatan akal budhi atau kemampuan viveka seseorang mulai bangkit secara alamiah.  Dari itu, seseorang akan mulai mampu melihat ke dalam dirinya untuk mengecek atau melakukan introspeksi diri, dan menjadi saksi bagi pikiran maupun perasaannya sendiri.  Ketika seseorang mulai mampu menempatkan diri sebagai saksi bagi pikiran maupun perasaannya sendiri, hal tersebut menunjukkan bahwa kesadaran jiwa mulai bangkit.
            Karena diri sejati manusia adalah ātma (jiwa) yang suci, yang kaya dengan sifat-sifat luhur, dan merupakan sumber energi kehidupan di dalam diri, maka pengetahuan tentang pengenalan diri adalah untuk mengingatkan kembali sang diri tentang identitasnya yang sejati. Manusia kehilangan kekuatan kesucian dan sifat-sifat luhur yang merupakan sifatnya yang hakiki, karena ia telah lupa dan tidak menyadari dirinya yang sebenarnya. Dalam pada itu, pengetahuan adalah merupakan pedang tajam yang penuh dengan kekuatan, yang mampu membabat kealfaan yang membelenggu jiwa dan membangkitkan kembali kesadaran diri.
            Selanjutnya melalui disiplin rohani (yoga) seseorang harus melatih pikirannya dalam kesadaran diri sejati. Yoga merupakan satu usaha sistematis untuk mengendalikan pikiran dan mencapai kesempurnaan. Untuk menghilangkan kekaburan batin manusia,  karakternya perlu dirombak dengan pengetahuan mengenai diri sejati (ātma jñāna). Pertama-tama pembinaan fisik, mental, dan spiritual harus diarahkan untuk memperbaiki karakter. Manusia harus  melatih diri dalam cara-cara untuk memperoleh kedamaian dan kebahagiaan. Hal ini tidak tergantung pada dunia luar, dunia lahiriah, atau dunia objektif yang kasat mata. Manusia harus berlindung dalam ātma dan dalam merenungkan sifat-sifat ātma, atau dengan kata lain, manusia harus berlindung dalam diri sejati.  
             Kesadaran akan kenyataan sejati merupakan keadaan yang disebut mukti ‘kebebasan’. Jika ini dicapai, segala jenis kesusahan, kerja keras, kesangsian, dan kesulitan akan berakhir. Kemudian seseorang akan mengatasi dukacita, khayal, serta kecemasan, dan menetap dalam kedamaian yang suci. Selanjutnya dinyatakan bahwa kedamaian yang agung ini tidak perlu dicari di mana pun juga di luar diri karena ia memancar dalam antah karana yaitu ‘peralatan batin’ dalam diri sendiri. Kedamaian  suci ini merupakan landasan bagi dorongan untuk mencapai kebebasan (bersatunya kembali ātma/diri sejati dengan paramātma).
            Jika kebahagiaan dan kedamaian sejati adalah merupakan sifat alami sang ātma, lalu bagaimana peranan Tuhan dalam hubungannya dengan hal ini? Terkait dengan pertanyaan itu, Bhagawadgita menguraikan tentang pengetahuan Rāja Yoga yang semestinya diketahui oleh setiap orang agar ia dapat mencapai tujuan hidupnya. Bhagawadgita  melukiskan pengetahuan Rāja Yoga ini sebagai “rahasia tertinggi”, dan jalan menuju ke sana sebagai “jalan misteri tertinggi” atau rāja guhya yoga.
        “Rāja-vidyā rāja-guhyam
        pavitram idam uttamam,
        pratyaksāvagamam dharmyam
        su-sukham kartum avyayam.
                              (Bhagawadgita IX. 2)
Terjemahan :
        ‘Inilah raja ilmu pengetahuan, rahasia terbesar,
         mulia dan tinggi,
        mudah dimengerti, sesuai dengan dharma,
        baik dan menyenangkan untuk dilaksanakan dan kekal abadi’ (Pudja, 1999 : 222).

            Sebagai inti dari rājavidyā ini selanjutnya dalam Bhagawadgita disebutkan sebagai berikut.
        “Gatir bhartā prabhuh sāksī
        nivāsah śaranam suhrt,
        prabhavah pralayah sthānam
        nidhānam bījam avyayam.”
                                    (Bhagawadgita IX. 18)
Terjemahan :
        ‘Aku adalah tujuan, pengemban, penguasa, Aku adalah saksi,
         tempat kediaman, tempat perlindungan;
        Aku adalah kawan, asal mula, akhir kesudahan;
        Aku adalah dasar,  tempat penyimpanan, benih abadi’ (Pudja, 1999 : 234).
        “Ananyāś cintayanto mām
        ye janāh paryupāsate,
        tesām nityābhiyuktānām
        yoga-ksemam vahāmy aham.”
                                    (Bhagawadgita IX. 22)
Terjemahan :

        ‘Mereka yang hanya memuja-Ku saja,
        tanpa memikirkan yang lainnya lagi,
        yang senantiasa penuh pengabdian,
        kepada mereka Ku-bawakan segala apa yang mereka tidak punya dan Ku-lindungi segala apa yang mereka miliki’ (Pudja, 1999 : 236).

            Jika di atas telah dijelaskan secara singkat pengetahuan tentang manusia, maka selanjutnya pengetahuan tentang Tuhan,‘rājavidyā’ secara garis besar dijelaskan dalam Bhagawadgita. Inti dari rājavidyā  yang disebutkan dalam Bhagawadgita yaitu bahwa Tuhanlah sesungguhnya yang menjadi tujuan dari hidup dan kehidupan. Beliaulah satu-satunya Pengemban, Penguasa, Saksi, Tempat Kediaman, Tempat Perlindungan, Kawan, Asal Mula, Akhir Kesudahan, dan Yang Menjadi Dasar, Tempat Penyimpanan, Benih Abadi. Untuk dapat mencapai Tuhan sebagai tujuan hidup, maka cara yang ditunjukkan adalah sangat sederhana sekali yaitu, hanya dengan memuja satu Tuhan dan tanpa memikirkan yang lain. Manusia hanya memiliki satu kewajiban dalam hidupnya yaitu, hanya mengingat yang satu atau Tuhan.
            Tuhan adalah perwujudan  dari Sat-cit-anandam (Keberadaan, Kesadaran, dan Kebahagiaan). Beliau adalah Karuna-sagara ‘lautan cinta kasih’. Untuk dapat menarik cinta kasih Beliau, maka Beliau harus didekati dengan cinta kasih pula. Untuk mendapat kekuatan dari Beliau, maka seseorang harus memiliki  keberanian dan membebaskan diri dari segala kelemahan serta bangkit  dalam sifat-sifat ketuhanan yang memang telah menjadi sifat dasarnya.  Oleh karena itu, hanya melalui kesadaran ātma (jiwa)-lah seseorang dapat menyelaraskan sifat-sifatnya dengan Tuhan ‘paramātma’.  Sang ātma-lah yang dapat melakukan hubungan dengan paramātma, dan hanya sang ātma yang dapat memahami hubungan tersebut dalam kesadarannya.  Inilah yang dimaksud dengan yoga yang sebenarnya, yaitu terjadinya hubungan yang murni antara  ātma dengan paramātma.
            Pikiran hanya dapat diarahkan kepada Tuhan secara konstan adalah setelah pikiran sepenuhnya ada di bawah kendali ātman. Jika tidak demikian, atau seseorang masih ada dalam kesadaran badan, maka pikirannya tidak dapat menjadi stabil, karena masih terombang-ambing terseret di bawah pengaruh objek indera-indera fisik. Untuk itulah pikiran perlu dilatih dengan sadhana rohani yang konstan dan di arahkan agar ia selalu dapat difokuskan hanya kepada Tuhan, tidak dengan yang lainnya. Inilah hakekat atau tujuan yang dikehendaki oleh pelaksanaan dan penghayatan dari parhyangan.


PAWONGAN (Hubungan Manusia Dengan Manusia)

            Hubungan manusia dengan manusia adalah merupakan suatu hubungan horizontal yang sejajar. Adanya hubungan timbal balik yang harmonis antara sesama manusia, akan membangkitkan kasih universal yang mendatangkan kebahagiaan dan kedamaian bagi kehidupan manusia.
            Inti pandangan Weda yang universal adalah mengakui segala keaneka ragaman dalam bahasa dan upacara keagamaan. Tujuannya adalah untuk menciptakan kesatuan dalam kebhinekaan, dan bukan keseragaman.

            “Semoga bumi yang dihuni oleh orang yang menggunakan berbagai bahsa, dengan upacara agama yang beraneka ragam sesuai dengan tempat tinggal, berilah kami kekayaan yang berlimpah, laksana sapi perahan yang selalu memberi susu”  (Atharvaveda XII.1.45).

            Di tengah-tengah kehidupan yang pluralisme di dunia ini, kita juga  menemukan
banyak sabda suci Tuhan Yang Maha Esa yang mengamanatkan untuk menumbuhkembangkan kerukunan hidup, dan rasa saling menghargai terhadap sesama dengan tidak membedakan tentang agama, warna kulit, jenis kelamin, golongan, umur, dan lain sebagainya. Beberapa amanat tersebut adalah sebagai berikut.

            “Aku satukan pikiran dan langkahmu untuk mewujudkan kerukunan di antara kamu. Aku bimbing mereka yang berbuat salah menuju jalan yang benar” (Atharvaveda III. 6.5).

            “Wahai umat manusia! Bersatulah dan rukunlah kamu seperti menyatunya para dewata. Aku telah anugerahkan hal yang sama kepadamu, oleh karena itu ciptakanlah persatuan di antara kamu” (Atharvaveda III.30.4).

            “Wahai umat manusia! Hiduplah dalam harmoni dan kerukunan. Hendaklah bersatu dan bekerja sama. Berbicaralah dengan satu bahasa dan ambillah keputusan dengan satu pikiran. Seperti orang-orang suci di masa lalu yang telah melaksanakan kewajibannya, hendaklah kamu tidak goyah dalam melaksanakan kewajibanmu” (Rgveda X. 191.2).

            “Wahai umat manusia! Pikirkanlah bersama. Bermusyawarhlah bersama. Satukanlah hati dan pikiranmu satu dengan yang lain. Aku anugerahlan pikiran dan idea yang sama dan fasilitas yang sama pula untuk kerukunan hidupmu”  (Rgveda X. 191.3).

            Wahai umat manusia! Milikilah perhatian yang sama. Tumbuhkan saling pengertian di antara kamu di antara kamu. Dengan demikian engkau dapat mewujudkan kerukunan dan kesatuan”  (Rgveda X. 191.4).

            Di samping sabda Tuhan Yang Maha Esa seperti yang telah disebutkan di atas, banyak pula ajaran lainnya yang bersumber pada kitab-kitab suci yang menganjurkan untuk senantiasa hidup rukun antar sesama amnesia dan bahkan antar sesama ciptaan-Nya. Dalam doa puja sehari-hari  kita dipanjatkan pula mantra yang universal untuk kebahagiaan semua mahluk, “sarva prani hitangkarah”, ‘semoga semua mahluk (yang bernafas) senantiasa sejahtera, demikian pula Santhi mantram atau Subhasita dalam mantram berikut. “Sarve sukino bhavantu, sarve úantu niramayah, sarve bhadrani pasyantu, ma kacid duhkha bhag bhavet”, ‘ Semoga semuanya menjadi bahagia, semoga semuanya terbebas dari cacat, semoga semuanya mendapatkan keberuntungan, semoga tiada menderita suatu kesedihan’.
            Pandangan tersebut dilandasi oleh ajaran suci Weda yang menyatakan bahwa,  semua mahluk sesungguhnya bersaudara. “Vasudhaiwa kutumbakam”, ‘Seluruh dunia adalah keluarga besar’. Kesadaran terhadap persaudaraan dan persatuan semesta ini menuntut kepada umat manusia untuk senantiasa mengembangkan kerukunan hidup yang dinamis.
            Dengan pandangan kesatuan ini, ajaran agama Hindu menghendaki bahwa seseorang itu mampu memandang setiap manusia dan bahkan semua mahluk lainnya seperti dirinya sendiri, ia adalah saudara sendiri. Apa yang dijelaskan dalam mantram-mantram Weda di atas adalah merupakan inti dari konsep pawongan dari unsur tri hita karana.
            Unsur pawongan bertujuan menuntun seseorang dalam mengembangkan cinta kasih universal. Kasih yang universal adalah makanan yang menopang hidup. Kasih adalah nafas hidup manusia. Kemurahan hati adalah semangat yang memberikan keharuman hidup. Untuk tujuan tersebut, pada mulanya harus ada kesadaran bahwa ketuhanan itu ada dalam segala mahluk dan menguasai seluruh alam semesta. Karena untuk menangkap sifat ketuhanan, kesatuan yang termasuk dalam keanekaragaman harus dipahami. Sepanjang tiada pemahaman pada sifat ketuhanan, tak akan ada pengertian yang benar bahkan pada sifat-sifat kemanusiaan itu sendiri.



PALEMAHAN (Hubungan Manusia Dengan Alam Lingkungannya)

            Alam adalah manifestasi dari badan Tuhan. Alam adalah merupakan perwujudan dari sathyam ‘kebenaran’, sivam ‘kebajikan’ dan  sundaram ‘keindahan’, yang kasat mata dari keagungan Tuhan. Alam adalah secara langsung menopang kehidupan manusia dan mahluk hidup lainnya.   
            Hidup manusia adalah menyatu dengan alam. Hubungan manusia dengan alam adalah merupakan hubungan yang bersifat kekal abadi, karena manusia selalu akan hidup di alam semesta ini. Saling ketergantungan secara langsung antara manusia dengan alam sangat erat. Alam semesta, di samping merupakan tempat ajang latihan bagi manusia dalam meningkatkan kualitas hidup dan kehidupannya, alam juga merupakan sumber kehidupan yang menyediakan makanan dan berbagai macam fasilitas untuk kebutuhan dan kelangsungan hidup manusia.
            Oleh karena hidup manusia bergantung secara langsung dengan alam lingkungannya, maka manusia harus memelihara dan menjaga kelestarian alam dan lingkungannya. Dalam hubungan ini, kitab suci Weda menyatakan tentang berbagai manfaat yang diberikan oleh alam kepada mahluk hidup, sekaligus juga menghimbau agar umat manusia selalu menjaga kelestariannya demi kesejahteraan dan kebahagiaan manusia itu sendiri.

            “Para orang bijaksana mendapati bahwa ada tiga benda yang menutupi seluruh alam semesta. Mereka memiliki bentuk-bentuk yang berbeda-beda dan aspek-aspek yang berbeda-beda. Mereka mengamati segalanya. Mereka adalah air, udara, dan tanaman. Benda-benda ini disediakan untuk setiap dunia” (Atharvaveda XVIII.1.17).

            “Ada sebuah garis keliling dari sebuah bulatan (paridhi) di setiap dunia untuk umat manusia dan ada sebuah inti (antardhi) yang adalah sumber tenaga (energi) untuk alam semesta”  (Atharvaveda XII.2.44).

            “Siapa pun, apakah umat manusia ataukah binatang, hidup dengan selamat, di mana kebersihan atmosfir (Brahman) dipelihara dengan segala cara untuk tujuan hidup”  (Atharvaveda VIII.2.25).

            “Sang bumi menyediakan permukaan bumi bagi tumbuh-tumbuhan karena pengaruh green hause. Sang api menyediakan besi. Tumbuh-tumbuhan dan tanaman yang memiliki perpaduan dengan sinar matahari, menyediakan atmosfir yang menyenangkan untuk penciptaan” (Atharvaveda V.25.5).
            “Tanam-tanaman dan tumbuh-tumbuhan menghancurkan pengaruh atmosfir yang beracun” (Atharvaveda VIII.7.10).

            “Tanam-tanaman memiliki sifat-sifat semua para dewa. Mereka adalah para juru selamat kemanusiaan”  (Atharvaveda VIII.7.4).

            “Tanam-tanaman memberi makan dan melindungi alam semesta, oleh karenanya mereka disebut para ibu”  (Rgveda X.97.4).

            “Janganlah menebang pohon-pohon itu, karena mereka menyingkirkan pencemaran”  (Rgveda VI.48.17).

            “Janganlah mencemari air dan janganlah menyakiti atau menebang pohon-pohon itu”  (Yajurveda VI.22).

            “Janganlah mengganggu langit dan janganlah mencemari atmosfir”  (Yajurveda V.43).
           
            “Selalulah memperkuat dan memberi makan kepada bumi. Janganlah mencemarinya’  (Maitrayani samhita II.8.14).

            Di samping mantram-mantran yang telah disebutkan di atas, masih banyak lagi ada mantram yang berkaitan dengan manfaat yang diberikan alam kepada manusia dan himbauan yang mesti dilaksanakan oleh manusia untuk menjaga kelestariannya demi kepentingan manusia dan mahluk hidup di dalamnya. Oleh karena itu, manusia seharusnya selalu menjaga  keselarasan dengan alam, bukan ditundukkan oleh alam atau mengeksplotasi alam, seperti yang dikehendaki dalam Santhi mantram berikut ini.

            “Damai di langit, damai di angkasa, damai di bumi, damai di air, damai pada tetumbuhan, damai pada pepohonan, damai pada semua dewa, damai pada Brahman, damai dalam alam semesta, damai dalam kedamaian, semoga kami mendapat kedamaian itu” (Yajurveda XXXVI.17).

            Beberapa  uraian mantram-mantram di atas adalah merupakan inti dari konsep palemahan. Bhagawan Weda sesungguhnya telah mengisyaratkan segala sesuatu yang berkaitan dengan kebutuhan hidup manusia agar manusia dapat mencapai kebahagiaan dan kedamaian yang sejati. Namun demikian, kebanyakan umat manusia tertutup mata dan telinganya sehingga ia tidak lagi dapat melihat keindahan akan keagungan Tuhan yang mesti ia syukuri sebagai berkah yang tiada ternilai, dan tidak dapat mendengar merdunya suara senandung kehidupan, sekalipun ia berada di dalamnya.
            Dari beberapa poin yang telah diuraikan di atas, jelaslah tampak bahwa konsep tri hita karana mengandung makna yang sangat luas dan dalam. Untuk dapat menghayatinya, seseorang perlu melakukan perenungan yang mendalam. Yang pasti, Tuhan telah menyiapkan segala sesuatunya, sekarang manusia hanya tinggal yang menyikapinya.
           


PENUTUP
      
            Nilai filosofis dari konsep Tri Hita Karana sesungguhnya mengingatkan kepada kita tentang hubungan kesatuan yang abadi dan suci antara  prakrti (dunia yang terlihat) dengan manusia (jiwātma) dan Tuhan (Paramātma, Jiwa Tertinggi). Ini sangat erat berkaitan antara satu dengan yang lain. Ketiganya tidak terpisahkan. Hubungan antara Paramātma dan prakrti (Tuhan dan alam), adalah sama seperti hubungan ibu dan anak. Hubungan manusia dengan masyarakat adalah sama seperti lebah dan bungan. Sebagaimana seorang anak mendapat air susu ibunya, sebagaimana lebah mendapat madu dari bunga, manusia harus menikmati pemberian Alam.
            Manusia harus menganggap dirinya sebagai anggota masyarakat dan membantu dalam mensejahterakan masyarakat. Masyarakat  adalah bagian dari prakrti (alam) dan prakrti adalah bagian dari Paramātma/Jiwa Tertinggi. Jadi ada hubungan yang erat antara manusia dan Tuhan. Alam lebih maju dari pada manusia dan untuk melindungi alam, manusia harus mendayagunakannya dalam batas tertentu. Jika manusia merusak alam dengan serampangan, alam akan bereaksi secara bermusuhan dan kesulitan pun timbul. Untuk melindungi alam, manusia harus mempraktekkan pembatasan keinginan. Janganlah ia memicu segi negatif alam.                 




                       

1 komentar:

  1. Kambi | The best online casino in the world, Kambi
    Kambi is a casino in 온카지노 역사 Kambi, India that offers sports betting, slots, live casino, poker games and live dealer games, Live Poker games and much

    BalasHapus